Jakarta (ANTARA) - Vonis Pengadilan Tinggi DKI Jakarta terhadap jaksa Pinangki Sirna Malasari menunjukkan adanya kemunduran dalam upaya memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia, kata Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Borobudur Prof. Faisal Santiago.

Menurut dia, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi harusnya memahami bahwa pelaku korupsi yang berasal dari kalangan penegak hukum dan pejabat pemerintah perlu mendapat hukuman maksimal agar ada efek jera.

"Ini merupakan suatu kemunduran dalam penegakan hukum terkait tindak pidana korupsi di Indonesia. (Pelaku, red) harus dihukum setinggi-tingginya agar ada efek jera kepada para penegak hukum atau pejabat di Indonesia," tutur Faisal mengomentari putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta saat dihubungi di Jakarta, Selasa.

Alasan para pelaku korupsi yang berasal dari kelompok penegak hukum harus diberi hukuman lebih berat, karena mereka mengemban amanah untuk jadi contoh/teladan bagi masyarakat, ujar Santiago, Ketua Program Doktor Hukum Universitas Borobudur.

"Jaksa sebagai penegak hukum diharapkan dapat memberi contoh kepada masyarakat untuk berperilaku baik. Penegak hukum tidak sepantasnya melakukan perbuatan yang dilakukan dia (Pinangki, red)," ucap Santiago.

Ia berpendapat banyak pihak berharap putusan Pinangki di Pengadilan Tinggi dapat lebih berat atau minimal sama dengan yang diputus oleh Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

"Putusan di PT harusnya paling tidak sama dengan di Tipikor, karena Pinangki adalah seorang jaksa dan penegak hukum," kata Faisal menegaskan.

Oleh karena itu, ia mendorong hakim lainnya di Pengadilan Tinggi agar menjadikan putusan itu sebagai bahan pembelajaran dan koreksi.

Baca juga: Jubir: Terkait vonis Pinangki, KY berwenang untuk analisis putusan

Baca juga: Jaksa Pinangki Sirna Malasari divonis 10 tahun penjara


Tidak hanya itu, ia juga mendorong Komisi Yudisial (KY) menjalankan peran dan fungsi pengawasannya terhadap kinerja hakim. "KY harus mengawasi dan mempertanyakan putusan tersebut," kata Faisal.

Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Senin (14/6), memvonis Pinangki penjara selama empat tahun dan denda Rp600 juta atau kurungan enam bulan.

Putusan itu mengurangi masa hukuman terhadap Pinangki sebagaimana divonis oleh Majelis Hakim Tipikor selama 10 tahun penjara untuk kasus penerimaan suap, pemufakatan jahat, dan pencucian uang.

Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang mengurangi hukuman terhadap Pinangki, yaitu Hakim Ketua Muhammad Yusuf, serta Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akar, dan Renny Halida Ilham Malik sebagai anggota.

Terkait pengurangan masa hukuman itu, Majelis Hakim menerangkan Pinangki telah mengaku bersalah dan menerima pemecatan terhadap dirinya. Tidak hanya itu, Majelis Hakim juga mempertimbangkan kondisi Pinangki sebagai seorang ibu dari anak berusia empat tahun.

"(Terdakwa, red) layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhannya," kata Majelis Hakim.

Majelis Hakim juga menilai perbuatan Pinangki tidak terlepas dari keterlibatan pihak lain sehingga itu mempengaruhi pengurangan masa hukuman.

Baca juga: MAKI desak Kejagung ajukan kasasi terkait kasus Pinangki

Majelis Hakim, baik di tingkat pertama dan kedua, menetapkan Pinangki bersalah karena terbukti menerima suap 500 dolar AS, melakukan pencucian uang, dan pemufakatan jahat terkait perkara Djoko Tjandra.

Djoko Tjandra merupakan terpidana kasus "cessie" Bank Bali yang sempat buron ke luar negeri.

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021