Purwokerto (ANTARA) - Pakar hukum dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Hibnu Nugroho mengharapkan peringatan Hari Anti-Narkotika Internasional (HANI) setiap 26 Juni jangan sekadar seremoni saja, namun dijadikan sebagai ajang introspeksi bagi aparat penegak hukum.

"Yang namanya penegakan hukum itu kuncinya dari penegak hukum," kata Hibnu di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Selasa.

Oleh karena itu, kata dia, penegak hukum harus betul-betul tegas dan tanpa pandang bulu dalam pemberantasan narkotika maupun obat terlarang lainnya.

Ia mengatakan penegak hukum, khususnya Badan Narkotika Nasional (BNN), Kepolisian Republik Indonesia, dan sebagainya harus bersih dulu sebelum melakukan suatu penindakan.

Baca juga: Ketua KPK: Pelaku korupsi pengkhianat Pancasila

"Ini harus bersih dulu, jangan sampai ada istilah pagar makan tanaman. Yang jadi masalah sekarang ini kan pagar makan tanaman, oknum BNN atau oknum TNI atau oknum Polri dan sebagainya justru malah memperjualbelikan narkotika," katanya.

Terkait dengan hal itu, Hibnu mengatakan dalam rangka peringatan HANI, BNN dan aparat penegak hukum lainnya harus mengevaluasi diri, sehingga ke depannya masyarakat betul-betul percaya terhadap pemberantasan narkotika dan obat terlarang lainnya.

Setelah aparat penegak hukum khususnya pejabat di bidang pencegahan dan penindakan narkotika melakukan introspeksi diri, kata dia, baru melakukan penegakan hukum di masyarakat.

"Ini sebenarnya kalau kita lihat di era sekarang itu, Indonesia sebagai 'pasar' (peredaran gelap narkotika) karena penindakannya tidak tegas." katanya.

Dalam hal ini, dia mencontohkan banyak sekali vonis hukuman mati yang tidak segera dilaksanakan. Bahkan, kadang vonis tersebut akhirnya tidak jadi dieksekusi karena terpidananya mengajukan amnesti.

Baca juga: Ketua KPK sebut film turut berperan sosialisasikan pencegahan korupsi

"Kedua, harus introspeksi, apa salahnya, apakah karena faktor ekonomi? Karena hampir 70 persen lembaga pemasyarakatan itu isinya terpidana kasus narkotika, 70 persen napi itu kasus narkotika, berarti ada yang salah di dalam penegakan hukum di Indonesia, paling tidak harus ada yang dievaluasi," katanya.

Terkait dengan rehabilitasi terhadap penyalah guna narkotika, Hibnu menilai upaya tersebut memiliki spirit yang bagus.

Akan tetapi, kata dia, upaya itupun rupanya banyak "disalahgunakan" karena banyak yang tersangkut narkotika direhabilitasi, sehingga terlalu banyak anggaran negara yang terbuang untuk menangani narkotika.

"Sudah direhabilitasi, begitu rehabilitasi, ternyata masih melakukan. Ini artinya konsep rehabilitasi juga perlu ditinjau ulang. Ini saatnya peninjauan ulang terhadap penegakan hukum kasus narkotika, apakah itu penegakannya, apakah itu penindakannya, apakah itu pencegahannya, apakah itu rehabilitasinya, kalau enggak ya seperti ini terus sampai nantinya," kata Hibnu.

Baca juga: Firli: Bangun kesadaran masyarakat korupsi tak lagi dianggap budaya

Pewarta: Sumarwoto
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021