Semarang (ANTARA) - Pakar hukum Universitas Borobudur (Unbor) Jakarta Faisal Santiago mengatakan pasal penodaan terhadap bendera negara, khususnya mengibarkan bendera Merah Putih yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam, sebaiknya tidak perlu ada di dalam RUU KUHP.

"Bisa dibayangkan seseorang karena ketidakmampuan membeli bendera baru apakah harus dipidana, padahal yang bersangkutan sangat ingin mengibarkan bendera Merah Putih, misalnya pada Hari Kemerdekaan 17 Agustus," kata Prof Dr H Faisal Santiago menjawab pertanyaan ANTARA di Semarang, Rabu pagi.

Akan tetapi, kata Prof Faisal, apabila menodai bendera Merah Putih dengan cara menginjak-injak dengan sengaja, membakar, dan menodai dengan hal-hal yang bertentangan dengan hukum, wajib dipidana.

Ia mengemukakan hal itu terkait dengan pemidanaan terhadap setiap orang yang mengibarkan bendera negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam, sebagaimana termaktub dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Pasal 235 Huruf b.

Baca juga: Eva: Pasal penodaan bendera negara jangan sumbat nasionalisme seniman
Baca juga: Tidak usah terburu-buru bahas RUU KUHP tetapi target harus jelas
Baca juga: Pakar hukum: Rumusan pasal santet perlu dihapus dari RUU KUHP


Bagi pelanggar ketentuan itu terancam pidana denda paling banyak Rp10 juta. Pasal ini juga mengancam pidana denda terhadap pemakai bendera negara untuk reklame atau iklan komersial.

Selain itu, mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain atau memasang lencana atau benda apa pun pada bendera negara juga terancam pidana denda.

Pidana denda juga mengancam setiap orang yang memakai bendera negara untuk langit-langit, atap, pembungkus barang, dan tutup barang yang dapat menurunkan kehormatan bendera negara.

Ketua Prodi Doktor Hukum Unbor Prof Faisal juga memandang penting ada ketentuan pemberatan pidana terhadap pejabat negara yang melakukan tindak pidana terkait dengan pasal-pasal penodaan terhadap bendera negara.

"Pejabat negara adalah panutan atau menjadi teladan bagi masyarakat untuk mengikutinya, bukan mencontohkan hal-hal yang tidak baik," katanya.

Prof Faisal lantas mencontohkan Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang terjerat kasus korupsi terkait dengan kepengurusan fatwa di Mahkamah Agung (MA). Hukuman terhadap Jaksa Pinangki ini seharusnya diperberat, bukan malah sebaliknya.

Majelis Banding Pengadilan Tinggi Jakarta pada tanggal 14 Juni 2021, kata Prof Faisal, malah mengurangi putusan Jaksa Pinangki menjadi 4 tahun dan denda sebesar Rp600 juta subsider 6 bulan kurungan.

Sebelumnya, vonis Majelis Hakim Tipikor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 8 Februari 2021 memvonis Jaksa Pinangki pidana penjara selama 10 tahun penjara ditambah denda Rp600 juta subsider 6 bulan kurungan.

"Pemberatan pidana terhadap pejabat negara yang terbukti melanggar pasal-pasal penodaan terhadap bendera negara perlu ada dalam UU KUHP baru," kata Guru Besar Hukum Unbor Faisal Santiago.

Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021