Jakarta (ANTARA) - Kanker payudara tahap lanjut masih menjadi persoalan kesehatan global yang membutuhkan perhatian dari seluruh masyarakat dan pengambil kebijakan.

Mengacu data Globocan, tahun 2020 terdapat 44,2 per 100.000 kasus baru per tahun. Di Indonesia, dari 260 juta penduduk Indonesia, ada sekitar 65.800 kasus kanker payudara.

Data Perhimpuan Ahli Bedah Onkologi Indonesia (PERABOI) menemukan, dari 10.000 kasus kanker payudara, sekitar 70 persen adalah stadium 3 dan 4. Untuk menekan kejadian kanker payudara tahap lanjut, dibutuhkan sebuah kebijakan nasional mulai dari pencegahan, deteksi dini, hingga tatalaksana yang baik dan berkelanjutan.

Sayangnya, belum semua negara, terutama di negara miskin dan berkembang, memiliki semua kebijakan ini. Kerjasama antar negara diharapkan bisa menjadi ajang berbagi pengalaman, bagaimana menangani kanker payudara secara komprehensif dan menyeluruh.
 
"Masalah yang dihadapi hampir semua komunitas kanker payudara di negara ASEAN, sebenarnya hampir sama. Misalnya pemahaman tentang penyakit kanker yang minim, kesadaran deteksi dini yang rendah, menunda terapi, akses ke fasilitas kesehatan yang terbatas, hingga kebijakan pemerintah yang masih harus terus ditingkatkan dalam penanganan pasien kanker," Linda Agum Gumelar, S.IP, Ketua Yayasan Kanker Payudara Indonesia (YKPI) dalam rilis resminya pada Jumat.

Baca juga: 98 persen kanker payudara bisa sembuh, jika...

Baca juga: YKPI : Deteksi dini perbesar kemungkinan kanker sembuh


Menurut Linda, meskipun persoalan yang dihadapi sama, namun terkadang penyelesaiannya berbeda.

"Kita banyak belajar dari berbagai komunitas di negara lain. Di Filipina misalnya, komunitas kanker payudara di sana berhasil memasukkan persetujuan dari parlemen bahwa pelayanan kanker payudara menjadi prioritas pemerintah," kata Linda.

Sebaliknya, komunitas di negara lain pun banyak belajar dari Indonesia. Misalnya, mereka belajar dari YKPI bagaimana memanfaatkan organisasi perempuan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia yaitu BKOW (Badan Kerjasama Organisasi Wanita) tingkat provinsi.

Kemudian tingkat kabupaten/kota ada GOW ( Gabungan Organisasi Wanita ). Melalui merekalah antara lain, YKPI melakukan sosialisasi atau edukasi tentang pentingnya skrining dan deteksi dini kanker payudara.

Selain itu, mobil mamografi milik YKPI sebagai sarana deteksi dini, adalah satu-satunya atau pertama di ASEAN yang menjadi contoh dan banyak diikuti negara lain.

Setelah kasus kanker ditemukan, penanganan selanjutnya menjadi tantangan besar. Menurut Ketua PERABOI, dr. Walta Gautama, Sp.B (K) Onk, ketika pasien merasa ada benjolan, untuk berani datang ke fasilitas kesehatan butuh waktu 1-3 bulan.

"Sampai ditangani dengan benar butuh waktu 9-15 bulan. Jadi walau kita menekankan pentingnya deteksi dini, kalau penatalaksanaan tidak diperbaiki maka hasilnya akan sama saja. Sebab penanganan kanker harus benar dari awal sampai akhir," kata dr. Walta.

Hal inilah yang menyebabkan selama 35 tahun terakhir, belum ada kemajuan yang signifikan dalam upaya menekan kejadian kanker payudara stadium 3 dan 4 di tanah air.

"Masalahnya masih sama, yaitu belum ada regulasi standar untuk alur rujukan kasus terduga kanker payudara dari fasilitas kesehatan primer, sekunder dan tersier. Padahal untuk kemajuan terapi kanker payudara, Indonesia tidak kalah bahkan unggul dibandingkan negara lain," ujar dr. Walta.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut YKPI ingin lebih merangkul banyak pihak dalam meningkatkan kepedulian terhadap kanker payudara tahap lanjut.

Salah satu bentuk kerja sama antarnegara di bidang kanker payudara adalah forum The Southeast Asia Breast Cancer Symposium (SEABCS). Tahun ini, SEABCS kelima akan diselenggarakan di Indonesia, di mana Yayasan Kanker Payudara Indonesia (YKPI) ditunjuk sebagai penyelenggara.

SEABCS adalah sebuah forum global berkumpulnya para tenaga medis profesional di bidang kanker payudara, komunitas-komunitas kanker payudara, pasien, penyintas, bidan, tenaga kesehatan, dan wakil pemerintah.

Jika sebelumnya pertemuan dilakukan secara luring, khusus tahun ini SEABCS mengadakan pertemuan secara daring mengingat pandemi COVID 19 yang masih melanda. SEABCS 2021 akan dihelat selama selama dua hari yaitu 31 Juli 2021- 1 Agustus 2021. Tema yang diambil adalah "Putting Patients to the Hearts of Cancers Control" atau menempatkan pasien sebagai yang utama dalam penanganan kanker.

Kerjasama Lintas Profesi di SEABCS Melalui SEABCS 2021, diharapkan simpul-simpul masalah penanganan kanker payudara di masing-masing negara bisa terurai dengan berbagi pengalaman.

Ning Anhar sebagai Wakil Ketua Penyelenggara, menjelaskan, melalui SEABCS ini, kerjasama dengan berbagai komunitas, para ahli, dan pengambil kebijakan diharapkan akan ditingkatkan.

"Harapannya melalui SEABCS akan lahir sebuah rekomendasi yang merupakan hasil pemikiran para ahli dan peserta, yang kemudian bisa dibawa ke pembuat kebijakan masing- masing negara," ujar Ning.

Baca juga: Linda Gumelar: Pentingnya edukasi generasi muda bahaya kanker payudara

Baca juga: Kanker payudara mulai menyasar generasi milenial

Baca juga: Dokter: Krim pelembab bantu atasi efek pengobatan kanker pada kulit

Pewarta: Maria Cicilia
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2021