Jakarta (ANTARA) - PPP meminta pihak terkait bekerja sama untuk menyelidiki sampai tuntas dan transparan kasus kebocoran data 2 juta nasabah asuransi BRI Life.

Anggota Komisi I DPR RI sekaligus Sekretaris Fraksi PPP MPR RI Muhammad Iqbal dalam keterangannya diterima di Jakarta, Sabtu, mengatakan PPP kembali menyesalkan adanya data 2 juta nasabah asuransi BRI Life bocor dan dijual secara daring (online). Dia menjelaskan pelaku peretas atau hacker mengaku memiliki data 2 juta nasabah BRI Life, 463.000 dokumen, dan meminta uang tebusan sebesar 7.000 dolar AS atau setara dengan Rp101,5 juta (dengan kurs rupiah Rp14.500 per dolar AS).

"Mengapa hal itu bisa kembali terjadi. Kami meminta Kominfo, Badan Cyber Crime Polri, serta Badan Siber dan Sandi Negara bekerja sama untuk menyelidiki sampai tuntas dan transparan kasus kebocoran data tersebut. Pelaku-nya harus diberi hukuman agar memberikan efek jera," katanya menegaskan. Menurut dia, kasus sebelumnya, pada Mei 2021 lalu juga terjadi kebocoran data pribadi 279 juta penduduk Indonesia, yang diduga data dari BPJS Kesehatan.

"Belum ada laporan yang memadai, kali ini kembali terjadi. Oleh karena itu, kami meminta Kominfo untuk memberikan laporan kepada masyarakat luas terhadap kasus kebocoran data pribadi 279 juta penduduk Indonesia dari BPJS Kesehatan dan kasus terbaru kebocoran 2 juta data nasabah BRI Life," ucap-nya.

Baca juga: Pengamat: pengelola data perusahaan dapat manfaatkan "bounty hunter"

Baca juga: Pengamat apresiasi langkah cepat BRI Life tangani kebocoran data
Menurut perusahaan keamanan siber Hudson Rock, kebocoran data di BRI Life itu disebabkan komputer milik karyawan BRI dan BRI Life disusupi. Mereka mengaku telah mengidentifikasi beberapa komputer yang dimaksud di dua perusahaan tersebut.

Kebocoran data itu bisa jadi karena keteledoran karyawan, misalnya, membuka atau menyimpan file dari email atau situs yang tidak dikenal atau tidak terpercaya. "Belajar dari kasus ini, PPP mendorong diadakan pelatihan untuk mendidik karyawan kementerian/lembaga pemerintahan dan bahkan perusahaan BUMN mengenai dasar-dasar keamanan dan hal-hal yang perlu dan tidak perlu dilakukan saat berhubungan dengan perangkat digital kantor," kata dia.

Selain itu, Muhammad Iqbal menilai pertahanan untuk menjaga keamanan data kementerian/lembaga dan perusahaan BUMN juga harus diperkuat. Selain dua kasus itu, menurut dia sejak 2020 kasus kebocoran data pribadi yang terekspos media sudah lima kali terjadi. Tingginya jumlah kasus tersebut menunjukkan bahwa Indonesia saat ini sedang mengalami darurat perlindungan data pribadi.

"PPP mendorong pembahasan dan pengesahan RUU Perlindungan Data Pribadi. RUU PDP ini sangat penting, apalagi banyaknya masyarakat yang terhubung dengan berbagai layanan online dan aplikasi. Kami mendorong DPR dan Pemerintah agar mengesahkan RUU PDP tahun ini," ujarnya.

Baca juga: Peretasan kian marak belum gugah pembuat UU percepat bahas RUU PDP

Baca juga: Pengamat minta pemerintah transparan untuk atasi kebocoran data

Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021