Terdakwa terbukti ikut melakukan korupsi pengadaan "Backbone Coastal Surveillance System"
Jakarta (ANTARA) - Mantan Ketua Unit Layanan Pengadaan (ULP) di Badan Keamanan Laut (Bakamla) Republik Indonesia Leni Marlena divonis 2 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan.

Majelis hakim menyatakan terdakwa terbukti ikut melakukan korupsi pengadaan "Backbone Coastal Surveillance System" (BCSS) yang terintegrasi dengan "Bakamla Integrated Information System" (BIIS) tahun anggaran 2016 yang merugikan keuangan negara senilai Rp63,829 miliar.

"Menyatakan terdakwa Leni Marlena terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 2 tahun dan pidana denda sebesar Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan," kata ketua majelis hakim Susanti, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.

Majelis hakim juga mewajibkan Leni untuk membayar uang pengganti sebesar Rp3 juta.

"Menjatuhkan pidana tambahan terhadap terdakwa Leni Marlena membayar uang pengganti sejumlah Rp3 juta selambat-lambatnya 1 bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap," ujar hakim.

Jika dalam jangka waktu tersebut Leni tidak membayar uang pengganti, maka harta bendanya disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut dan bila harta benda tidak mencukupi maka dipidana penjara selama 1 bulan.

Vonis tersebut lebih rendah dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang meminta agar Leni divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan.

Selain Leni, majelis hakim juga menjatuhkan vonis kepada Koordinator Unit Layanan Pengadaan (ULP) Juli Amar Maruf dalam perkara yang sama.

"Menyatakan terdakwa Juli Amar Maruf terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 2 tahun dan pidana denda sebesar Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan," kata hakim Susanti.

Majelis hakim juga mewajibkan Juli Amar Maruf untuk membayar uang pengganti sebesar Rp4 juta yang bila tidak dibayar akan diganti pidana badan selama 1 bulan.

Keduanya terbukti melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan dakwaan pertama dari Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Hukuman minimal Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor adalah selama 4 tahun, namun hakim mengatakan bahwa Leni maupun Juli tidak mendapatkan keuntungan besar.

"Alasan terdakwa saat itu menjadi Ketua ULP dan menghadap Kepala Bakamla mengatakan merasa tidak mampu menjadi Ketua ULP, tetapi oleh Kabakamla tetap diperintahkan. Terdakwa saat pembahasan hanya mendapat uang transportasi Rp3 juta, jauh lebih kecil dibanding pihak-pihak yang mendapat uang miliaran rupiah. Menimbang karena alasan tersebut, majelis hakim akan menjatuhkan vonis ringan sebagaimana amar putusan," ungkap hakim Susanti.

Dalam perkara ini, Leni Marlena selaku Ketua ULP di Bakamla bersama-sama dengan Juli Amar Maruf selaku anggota (Koordinator) ULP Bakamla, Bambang Udoyo selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Rahardjo Pratjihno selaku Direktur Utama PT CMI Teknologi juga telah memperkaya Rahardjo Pratjihno sebesar Rp60,32 miliar, Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi selaku Staf Ahli Kepala Bakamla sebesar Rp3,5 miliar, sehingga menyebabkan kerugian keuangan negara seluruhnya Rp63,929 miliar.

Leni awalnya ditunjuk sebagai Ketua ULP dan Juli Amar sebagai anggota (Koordinator) ULP pada 16 Juni 2016. Setelah keduanya ditunjuk, Leni dipanggil Ali Fahmi selaku Staf Khusus Kepala Bakamla Arie Soedewo untuk menyampaikan pengadaan BCSS dan akan dibantu oleh Juli Amar.
Baca juga: Eks ketua pengadaan di Bakamla dituntut 4 tahun penjara
Baca juga: Eks ketua pengadaan Bakamla didakwa rugikan negara Rp63,829 miliar


Leni berpedoman untuk Harga Perkiraan Sendiri (HPS) senilai Rp399,805 miliar yang berasal dari "file" yang dibuat PT CMI Teknologi. HPS juga dibuat tanpa PPK, karena Bambang Udoyo baru ditunjuk sebagai PPK pada 22 Agustus 2017.

PT CMI Teknologi lalu melakukan subkontrak dan pembelian sejumlah barang yang termasuk pekerjaan utama ke 11 perusahaan.

Pada akhir Oktober 2016 di daerah Menteng Jakarta Pusat, Rahardjo Pratjihno memberikan selembar cek Bank Mandiri kepada Hardy Stefanus senilai Rp3,5 miliar untuk diberikan kepada Ali Fahmi sebagai realisasi komitmen fee atas diperolehnya proyek backbone di Bakamla.

Pada November 2016, Leni bersama Juli Amar dan anggota ULP serta tim teknis Bakamla mengikuti kegiatan rapat 'factory acceptance test' di Kantor PT CMIM Bandung yang dibiayai PT CMI Teknologi meliputi akomodasi, biaya Hotel Ibis TSM, dan makan siang serta snack.

Selain itu, PT CMI Teknologi juga memberikan uang saku kepada Leni dan Juli Amar Ma'ruf masing-masing sebesar Rp1 juta serta untuk anggota ULP dan tim teknis masing-masing sebesar Rp500 ribu.

PT CMI kemudian menerima pembayaran Rp134,416 miliar yang dibayarkan secara bertahap pada 7 November-8 Desember 2016, padahal Panitia Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP) Bakamla tidak pernah melakukan pengecekan di lapangan, namun hanya berdasar dokumen PT CMI Teknologi.

Dari Rp134,416 miliar yang dibayarkan, ternyata untuk pembiayaan pekerjaan hanya Rp70,587 miliar, sehingga terdapat selisih sebesar Rp63,829 miliar yang merupakan keuntungan Rahardjo Pratjihno selaku pemilik PT CMI Teknologi. Adapun keuntungan tersebut dikurangi pemberian kepada Ali Fahmi sebesar Rp3,5 miliar, sehingga Rahardjo mendapat penambahan kekayaan sebesar Rp60,329 miliar.

Terhadap putusan itu, Leni Marlena dan Juli Amar Maruf langsung menyatakan menerima, sedangkan JPU KPK menyatakan pikir-pikir.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2021