Jakarta (ANTARA) - Pada 26 Mei 2010 Indonesia dan Norwegia menandatangani Surat Pernyataan Kehendak (Letter of Intent/LoI) tentang kerja sama dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+).

Upacara berlangsung di Oslo, ibukota Norwegia, dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Jens Stoltenberg.

Penandatangan LoI enam halaman adalah Erik Solheim, menteri lingkungan hidup dan pembangunan internasional Kerajaan Norwegia, dan R.M. Marty M. Natalegawa, Menteri Luar Negeri RI saat itu.

Tidak diduga bahwa 11 tahun kemudian, pada 10 September 2021, Indonesia mengambil keputusan sepihak untuk mengoperasikan Pasal XIII huruf b LoI: “Surat Pernyataan Kehendak ini dapat diakhiri sewaktu-waktu oleh salah satu Pihak, dengan pemberitahuan tertulis, melalui saluran diplomatik.”

Benar, Kementerian Luar Negeri di Taman Pejambon mengirim nota diplomatik ke Kedutaan Norwegia di Menara Rajawali di Kuningan, Jakarta Selatan, guna menyampaikan bahwa RI mengakhiri berlakunya LoI tersebut.

Alasan utama pemerintah menonaktifkan LoI ialah karena “tidak adanya kemajuan konkret dalam implementasi kewajiban pemerintah Norwegia untuk merealisasikan pembayaran berdasarkan hasil (Result Based Payment /RBP) atas realisasi pengurangan emisi Indonesia sebesar 11,2 juta ton CO2eq pada tahun 2016/2017, yang telah diverifikasi oleh lembaga internasional.” Demikian siaran pers Kemlu 10 September.

Inti LoI ialah mufakat Norwegia memberi hibah tunai sampai 1 miliar dolar AS bagi Indonesia bila Indonesia berhasil secara terbukti menurunkan emisi karbon akibat deforestasi dan degradasi hutan.

Moratorium

Pencapaian LoI adalah berdasarkan perundingan maraton di Oslo 12-13 Mei 2010. Perunding RI adalah Agus Purnomo, staf khusus presiden bidang iklim. Lawan bicaranya Hans Brattskar, direktur Prakarsa Iklim dan Kehutanan, pemerintah Norwegia. Tukar menukar konsesi berlangsung dalam negosiasi bertolak dari draf LoI yang dibawa Tim RI.

Pihak Norwegia minta komitmen tambahan. Agus, atas amanah Presiden SBY, mengungkap Indonesia merencanakan moratorium dua tahun atas izin baru untuk menggunakan hutan primer dan lahan gambut. Norwegia terima komitmen itu.

Perunding Norwegia juga setuju dengan pencantuman eksplisit angka 1 miliar dolar AS janji hibah dalam teks LoI. Semula Norwegia hanya mau menyatakan jumlah itu secara lisan saja karena kuatir dipertanyakan DPR negerinya.

Kalau tidak dicantumkan, Agus berargumen, DPR RI juga mempersoalkan mengapa memberi komitmen tanpa imbalan nyata. Demikian buku Pros-Cons Policy of Moratorium on Forests and Peatlands 2012, Agus Purnomo, KPG.

Sepuluh tahun kemudian, pada 21 Mei 2020 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan Indonesia akan menerima 56 juta dolar AS berdasarkan RBP sebagai hibah pertama REDD+ dari Norwegia.

Dalam pernyataan terpisah pada tanggal yang sama, Duta Besar Norwegia Vegard Kaale menyatakan selamat kepada pemerintah Indonesia atas hasil positif skema REDD ini.

MRV

Berdasarkan proses verifikasi yng disetujui pemerintah Norwegia, reduksi emisi yang dicapai Indonesia dalam periode 2016-2017 sebanyak 11,2 juta ton CO2 eqivalen. Ini lebih banyak dari 4,8 juta ton CO2eq yang semula diperhitungkan. Laporan MRV (measuring, reporting, verifying) menjadi dasar RBP.

Bank Dunia menetapkan harga 5 dolar AS untuk satu ton CO2eq. Dengan demikian, hibah perolehan Indonesia terhitung sebesar 56 juta dolar AS.

Semula uang hibah akan mulai diserahkan secara bertahap Juni 2020. Tapi sampai September 2021, uang itu belum juga cair. Karena itu, nota diplomatik melayang.

Wakil Menteri LHK Alue Dohong mengatakan pihak Norwegia mengajukan persyaratan baru sebelum uang ditransfer. Mereka minta dokumentasi uang hibah itu akan dipakai untuk apa, kata wamen kepada Jakarta Post. 13 September.

Mediasi

“Bila pihak pemerintah Norwegia mempersulit pencairan dana, maka melakukan bilateral engagement dan mediasi adalah cara yang elegan untuk tetap jalan bersama,” kata seorang pengamat yang mengetahui skema REDD+.

Bila pihak pemerintah Indonesia yang belum melengkapi informasi untuk pencairan dana, maka proses pengumpulan informasi dan pembuatan laporan adalah hal yang paling logis dan mudah dilakukan.

Yang harus dihindari adalah perceraian. Hanya dengan bersatu dan berjalan bersama, warga planet bumi dapat mencegah memburuknya akumulasi gas rumah kaca di atmosfir.

Baca juga: Norwegia tetap dukung Indonesia pascapemutusan REDD+

Baca juga: Indonesia akhiri kerja sama REDD+ dengan Norwegia


Berhasil

Terlepas dari mencair tidaknya uang hibah, Indonesia telah melakukan berbagai upaya REDD+ sehingga emisi karbon turun di sektor hutan dan alih guna lahan. Beberapa upaya ini adalah:

Pertama, Moratorium penerbitan izin menggunakan hutan primer dan lahan gambut. Moratorium ini diperpanjang setiap dua tahun dimulai dengan Instruksi Presiden No 10 / 2011.

Kedua, fatwa Mahkamah Konstitusi 26 Maret 2013 yang mengamandemen UU Kehutanan 1999 untuk mengakui hutan adat adalah hutan di daerah masyarakat adat dan sekaligus menguatkan dasar hukum masyarakat adat.

Ketiga, pembentukan Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim sebagai National Focal Point UNFCCC setelah DNPI, BP REDD+, KLH dan Kementerian Kehutanan dilebur menjadi KLHK 26 Januari 2015.

Keempat, penetapan target penurunan emisi 26 persen pada 2030 dan 41 persen dengan bantuan internasional dalam rencana aksi iklim nasional (Nationally Determined Contribution/NDC).

Baca juga: Indonesia berpeluang terima 110 juta dolar AS dari REDD+ di Kaltim

Tantangan

Namun Indonesia masih harus menghadapi sejumlah tantangan. Satu ialah mempertahankan laju penurunan deforestasi saat pandemi COVID-19 membuat masyarakat tani didorong untuk mengalihkan lahan gambut menjadi kebun kelapa sawit yang menguntungkan. Peningkatan kesejahteraan masyarakat di kawasan hutan dan gambut tanpa merusak lingkungan adalah salah satu segi plus dalam REDD+.

Segi plus lain REDD+ ialah pelestarian hutan bernilai tinggi (high conservation value/HCV) dalam mana keanekaaragam hayati juga dilindungi.

Perhatian lain ialah pemeliharaan hak asasi masyarakat hutan seperti penegakan konsep FPIC/PADIATAPA (free prior and informed consent/persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan).

PADIATAPA ini prinsip yang memungkinkan masyarakat adat/lokal untuk menjalankan hak-hak dasarnya untuk menyatakan apakah mereka setuju atau tidak setuju terhadap sebuah aktivitas, proyek, atau kebijakan tanpa ada paksaan dari pihak manapun.

Tanpa LoI sekalipun, Indonesia sudah bisa jalan. Tapi untuk berjalan ke tujuan lebih jauh, layaknya Indonesia berjalan bersama-sama mitra.

Kalau ingin lari cepat, larilah sendiri. Kalau ingin berjalan jauh, maka kebersamaan dalam perjalanan adalah kuncinya. Demikian kata bijak orang di Afrika.

Baca juga: DPD ajak Pemerintah berkolaborasi siapkan RUU Perubahan Iklim

Baca juga: Menteri LHK paparkan prestasi Indonesia dalam REDD+


*) Warief Djajanto Basorie adalah wartawan senior dan pengajar di Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS)

Copyright © ANTARA 2021