Partisipasi yang diharapkan adalah seluas mungkin
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyebutkan seri monolog “Di Tepi Sejarah” disiarkan di kanal budaya Indonesiana.

“Seri monolog ini sangat sesuai dengan upaya kita yang sejalan dengan UU Pemajuan Kebudayaan,” ujar Direktur Perfilman, Musik dan Media Baru Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek, Ahmad Mahendra, dalam taklimat budaya secara daring yang dipantau di Jakarta, Senin.

Sebelumnya, seri monolog tersebut tayang di kanal Youtube Budaya Saya pada 18 Agustus hingga dengan 25 Agustus 2021. Seri monolog itu mengangkat empat judul monolog; “Nusa Yang Hilang”, “Radio Ibu”, “Sepinya Sepi”, dan “Amir, Akhir Sebuah Syair”, yang keempatnya mewakili keanekaragaman wilayah dan melibatkan orang-orang di seluruh pelosok Indonesia.

Kanal Indonesiana merupakan kanal media khusus budaya yang diinisiasi oleh Kemendikbudristek. Kanal media itu bertujuan untuk mewadahi, mengintegrasikan, serta mempromosikan karya dan ekspresi budaya masyarakat Indonesia. Kanal budaya Indonesiana hadir karena belum adanya media resmi dari Indonesia yang menjadi wadah diplomasi budaya secara internasional.

Kanal Indonesiana. Kanal dapat diakses melalui siaran televisi jaringan Indihome saluran 200 (SD) dan 916 (HD) atau laman https://www.useetv.com/livetv/indonesiana atau indonesiana.tv.

Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan Kemendikbudristek, Hilmar Farid, berharap publik dapat berpartisipasi dalam mengembangkan dan memanfaatkan Kanal Indonesiana.

Baca juga: Kemendikbudristek gelar pameran temporer lukisan Basoeki Abdullah

Baca juga: Kemendikbudristek dorong kreativitas anak muda dalam majukan budaya


“Partisipasi yang diharapkan adalah seluas mungkin, di semua kanal. Kita betul-betul ingin melihat karya dan ekspresi dan mencari produksi yang keren-keren di seluruh daerah, salah satu contohnya dengan upaya mementaskan Monolog Di Tepi Sejarah ini” ujar Hilmar.

Hilmar berharap karya Monolog itu dapat diakses oleh lebih banyak penonton. Selain itu, Hilmar juga menjelaskan bahwa rangkaian monolog ini merupakan inisiatif kecil yang dapat memberi makna baru bagi perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan.

“Sudut pandang lain dalam melihat peristiwa sejarah yang ditawarkan dalam seri monolog ini menunjukkan bahwa kontribusi sekecil apapun dalam perjuangan kemerdekaan juga begitu berarti. Tokoh-tokoh yang diangkat dalam pentas ini mewakili semangat perjuangan seluruh komponen rakyat Indonesia kala itu untuk keluar dari penjajahan. Semangat yang sangat dibutuhkan hari ini ketika Indonesia tengah berjuang melawan pandemi,” katanya.

Seri Monolog “Di Tepi Sejarah” itu diprakarsai oleh Happy Salma dan Yulia Evina Bhara selaku produser dari Titimangsa Foundation dan KawanKawan Media. Pentas itu juga merupakan kerja bersama dengan Direktorat Perfilman, Musik dan Media Baru Kemendikbudristek.

Produser dari Titimangsa Foundation, Happy Salma, menambahkan bahwa ide awal seri monolog "Di Tepi Sejarah" tercetuskan ketika ia sedang menggarap monolog “Aku Istri Munir” yang berkisah tentang Suciwati Munir dan naskahnya ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma.

“Monolog ‘Aku Istri Munir’ kala itu saya mainkan di ruang yang kecil, sebuah kamar dalam sebuah rumah. Memang niat awalnya pentas ini merupakan persembahan kecil saja bagi perjuangan Suciwati Munir. Tapi banyak sekali yang setelah menonton pentas itu menjadi menemukan jalan lain untuk merawat ingatan.

Baca juga: Sineas muda tetap kreatif pada saat PPKM

Baca juga: Pemerhati dorong kebijakan Kemendikbudristek sentuh seniman


Pewarta: Indriani
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021