Ilmuwan memanfaatkan EAR untuk melakukan riset terkait konveksi atmosfer
Jakarta (ANTARA) - Dinamika atmosfer menyimpan informasi penting terutama untuk memprediksi cuaca dan memahami perubahan iklim yang dapat digunakan untuk memperkuat mitigasi bencana hidrometeorologi.

Wilayah Pasifik bagian barat yang disebut Kepulauan Indonesia merupakan pusat pergerakan atmosfer yang intens dan perubahan atmosfer global. Namun, mekanisme perubahan dan fluktuasi atmosfer masih belum jelas dipahami dengan baik karena jarangnya data pengamatan di wilayah tersebut.

Pengamatan atmosfer yang tidak memadai akan berujung pada kurangnya pemahaman dan pengetahuan tentang aktivitas dan proses yang terjadi di atmosfer. Sementara, data pergerakan atmosfer yang komprehensif menjadi penting untuk dianalisa, salah satunya untuk prakiraan cuaca dan iklim.

Oleh karena itu, diperlukan infrastruktur riset bidang sains atmosfer yang dapat berguna untuk memantau proses dan dinamika di atmosfer. Fasilitas riset tersebut adalah Radar Atmosfer Khatulistiwa atau Equatorial Atmosphere Radar (EAR).

Radar Atmosfer Khatulistiwa dibangun oleh Research Institute for Sustainable Humanosphere (RISH) Universitas Kyoto di Jepang di dataran tinggi Kototabang, Kecamatan Agam, di ketinggian 900 meter, di pinggiran kota Bukittinggi dekat khatulistiwa di Provinsi Sumatera Barat. EAR terletak di tengah Samudra Pasifik dan Samudra Hindia.

Tepat berlokasi di area khatulistiwa, radar atmosfer itu menjadi salah satu yang terbesar dan memiliki performa tinggi. Kemampuan EAR tidak terbatas pada studi El-Nino. EAR akan sangat berguna untuk mitigasi kebencanaan dengan memprediksi perubahan lingkungan iklim global.

EAR adalah radar atmosfer yang dioperasikan pada frekuensi tengah sebesar 47 MHz dan merupakan radar atmosfer mutakhir yang dilengkapi dengan himpunan fasa aktif.

EAR dapat mengukur kecepatan angin dan turbulensi vertikal dan horizontal di troposfer dan stratosfer bawah hingga ketinggian 20 km dengan resolusi waktu dan ketinggian tinggi masing-masing kurang dari 1 menit dan 150 meter.

EAR memulai pengamatan atmosfer khatulistiwa secara terus-menerus sejak Juni 2001 dan mampu mengamati ketidakteraturan ionosfer seperti gelembung plasma di atas ketinggian sekitar 90 km.

Radar atmosfer tersebut juga dapat mengamati perilaku gelombang gravitasi, generasi turbulensi, dan gerakan angin di troposfer dan stratosfer bawah.

EAR dioperasikan berdasarkan pada nota kesepahaman antara RISH dan Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), yang sebelumnya bernama Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).

Kolaborasi ilmiah antara Indonesia dan Jepang dalam studi atmosfer khatulistiwa dimulai pada pertengahan 1980-an. RISH Universitas Kyoto dan Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa BRIN memulai kerja sama ilmiah pada pertengahan 1980 dengan merencanakan Radar Khatulistiwa atau Equatorial Radar yang merupakan radar raksasa yang ditempatkan tepat di atas khatulistiwa.

Konstruksi EAR dimulai pada Juni 2000. RISH Universitas Kyoto juga bekerja sama dengan banyak penduduk setempat untuk mengatasi berbagai kesulitan dalam proses pembangunan EAR di lapangan, membangun mata air, dan akhirnya proyek selesai pada Maret 2001.

Di fasilitas riset EAR, sebanyak 560 antena dibangun di situs melingkar yang setara dengan Sadion Koshien, suatu stadion bola kasti di Hyogo, Jepang.

Pemancar dan penerima kecil terpasang di tiap antena. Dengan mengendalikannya menggunakan komputer, sangat mungkin untuk interpretasi sebagai fenomena atmosfer.

Antena memancarkan pulsa gelombang radio dengan perubahan arah berbasis antarpulsa dengan kecepatan hingga 5.000 kali per detik. EAR mengamati angin dengan menerima pantulan lemah yang disebabkan oleh turbulensi atmosfer.

Dengan teknologi pemrosesan data tercanggih, memungkinkan untuk mengukur pergerakan atmoser hingga ketinggian 20 kilometer (km).

Baca juga: BRIN-Universitas Kyoto lanjutkan kolaborasi pengamatan atmosfer

Baca juga: Radar Atmosfer perkuat mitigasi bencana hidrometeorologi


Dipancarkan

Sebelum beroperasi penuh dari Juni 2001, gelombang radio pertama dipancarkan vertikal ke atmosfer hingga mencapai 20 km, saat tengah hari pada 23 Maret 2001.

Dengan demikian, Radar Atmosfer Khatulistiwa layak berperan penting sebagai pusat penjaringan observasi internasional untuk dinamika atmosfer khususnya di wilayah khatulistiwa.

Kepala BRIN Laksana Tri Handoko mengatakan infrastruktur riset EAR akan menjadi platform global untuk pemantauan dinamika atmosfer.

Infrastruktur riset yang dikelola di bawah BRIN itu akan dapat digunakan oleh berbagai pihak, sehingga tidak terbatas pada seluruh peneliti yang tergabung di BRIN, tapi juga bisa dari kementerian/lembaga lain, universitas, dunia swasta, dan global.

Pemanfaatan EAR akan terbuka seluas-luasnya untuk masyarakat ilmiah yang ingin melakukan berbagai riset yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, lingkungan dan pembangunan bangsa serta memperkaya ilmu pengetahuan.

Menurut Pelaksana tugas Kepala Kantor Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer BRIN Didi Satiadi, penelitian menggunakan EAR dan instrumen pendukung lainnya telah menghasilkan temuan baru dan meningkatkan pemahaman tentang dinamika dan proses atmosfer di wilayah khatulistiwa.

"Para ilmuwan atau peneliti memanfaatkan EAR untuk melakukan riset terkait konveksi atmosfer dan interaksinya dengan Osilasi Madden–Julian atau Madden Julian Oscillation (MJO) dan Monsun (Monsoon); gelombang gravitasi atmosfer yang dihasilkan oleh konveksi dalam; dan kopling dinamis antara atmosfer khatulistiwa dan ionosfer," katanya.

Hasil penelitian juga tentang lapisan tropopause tropis, ketidakstabilan dan pemecahan; pertukaran troposfer-stratosfer dan pengangkutan konstituen atmosfer; gelembung plasma ekuatorial dan ketidakteraturan ionosfer; interaksi ionosfer-mesosfer-termosfer; serta pemodelan atmosfer.

Pemahaman dari hasil riset tersebut penting untuk mengisi kesenjangan dalam ilmu atmosfer serta aplikasinya dalam pemodelan dan prediksi cuaca dan iklim.

Salah satu pencapaian utama dari EAR adalah penemuan modulasi gelombang Kelvin di wilayah tropopause oleh Fujiwara dan kawan-kawan (dkk) pada 2003 yang memberikan bukti langsung bahwa percampuran udara stratosfer dan udara troposfer terjadi oleh pemecahan gelombang Kelvin.

Selain itu, pengukuran resolusi tinggi angin dan turbulensi oleh EAR sangat berkontribusi untuk memperjelas mekanisme generasi konveksi deep cumulus yang selanjutnya membangkitkan gelombang gravitasi atmosfer berdasarkan hasil penelitian Ratnam dkk pada 2006.

Dari pengamatan ionosfer, pengukuran beam-scan pulse-to-pulse antenna oleh EAR mengungkapkan evolusi spasial gelembung plasma ekuator, yang menyebarkan dan mempengaruhi fenomena elektromagnetik di termosfer ekuator, menurut hasil penelitian Fukao dkk pada 2004.

Sementara itu, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa mengatakan pengetahuan tentang atmosfer sangat bermanfaat untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan dan mendukung aktvitas-aktivitas pembangunan di beragam sektor.

Sains atmosfer juga bersifat krusial untuk aksi penanganan perubahan iklim dan berkontribusi besar pada kehidupan di daratan. Hasil pemantauan atmosfer dapat mendukung beragam sektor antara lain usaha perikanan, pertanian, industri penerbangan, dan aktivitas perhubungan atau transportasi laut.

Pengetahuan terkait dinamika atmoser juga berperan penting dalam prakiraan cuaca terutama untuk kehidupan perkotaan dan memberikan informasi terkait level polusi di kota-kota sehingga pemerintah dapat memberikan dukungan yang tepat untuk menjaga kesehatan masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan.

Selain itu, banyak informasi tentang kondisi iklim yang sering berubah akan diperlukan untuk mendukung kegiatan atau model konservasi lanjutan seperti reforestasi, dan menciptakan ruang terbuka di daerah perkotaan.

Informasi terkait potensi gelombang tinggi dan badai besar di laut sangat penting untuk keperluan transportasi laut dan usaha perikanan sehingga mengurangi potensi kehilangan nyawa dan kerugian potensial terkait kerusakan fasilitas.

Oleh karena itu, fasilitas EAR memberikan kontribusi riil untuk kehidupan manusia terkait cuaca dan kondisi lingkungan serta ilmu pengetahuan tentang atmoster.

Dengan menggunakan EAR, proses dan dinamika atmosfer di Indonesia bisa dipahami dan dianalisa untuk mendukung kegiatan pembangunan sekaligus meningkatkan mitigasi dan adaptasi terkait bencana hidrometeorologi, degradasi lingkungan dan perubahan iklim.

Baca juga: Dinamika atmosfer tak stabil tingkatkan hujan Indonesia tengah-timur

Baca juga: Fenomena awan layaknya tsunami di Aceh akibat dinamika atmosfer

 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021