Penyandang disabilitas saat menjadi korban kejahatan jarang melaporkan perkaranya karena merasa takut orang-orang tidak memercayai mereka.
Jakarta (ANTARA) - Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung Niken Savitri mengatakan penyandang disabilitas di Indonesia memiliki kecenderungan 4 sampai 10 kali lebih rentan mengalami kejahatan daripada nondisablilitas.

"Sebagai korban kejahatan, penyandang disabilitas itu memiliki kecenderungan 4 sampai 10 kali lebih tinggi berpotensi menjadi korban kejahatan dibandingkan nondisibilitas," ucap Niken Savitri.

Hal itu dikemukakan Niken Savitri ketika tampil sebagai narasumber dalam webinar nasional Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan bertajuk Urgensi Hukum bagi Individu dengan Disabilitas Intelektual dan Perkembangan yang disiarkan secara langsung dalam kanal YouTube Fakultas Hukum UNPAR, dipantau dari Jakarta, Sabtu.

Risiko tersebut, lanjut Niken, makin rentan pada penyandang disabilitas berjenis kelamin perempuan dan mereka yang masih berusia anak-anak.

Ia lantas menyebutkan beberapa bentuk kekerasan yang sering mereka alami adalah kekerasan fisik, psikologis, seksual, dan finansial.

Ada pula kekerasan beban ganda yang kerap dialami oleh wanita. Misalnya, mengerjakan tanggung jawab secara berlebihan, padahal dapat membagi tugas antara laki-laki dan perempuan.

Niken Savitri juga memaparkan beberapa fakta di lapangan yang menunjukkan kerentanan penyandang disabilitas untuk mengalami kejahatan. Pertama, penyandang disabilitas memang mudah menjadi target kejahatan.

"Jadi, orang-orang yang mau melakukan kejahatan itu menargetkan memang pada rekan-rekan kita yang disabilitas ini, baik disabilitas fisik maupun intelektul dan mental," kata Niken.

Kedua, penyandang disabilitas saat menjadi korban kejahatan jarang melaporkan perkaranya karena merasa takut orang-orang tidak memercayai mereka.

Ketiga, penyandang disabilitas mudah dipengaruhi dan justru berpikiran hal yang dialaminya adalah wajar sehingga mereka tidak sadar bahwa dirinya adalah korban kejahatan.

Penyandang disabilitas pun, lanjut dia, dapat berpikir bahwa pelaku adalah temannya. Mereka bisa pula tidak menyadari dirinya sedang berada dalam situasi berbahaya dan kerap dianggap tidak cakap hukum untuk menjadi saksi.

Dari fakta-fakta yang ditemukan itu, Niken Savitri menyarankan agar aparat penegak hukum dapat memenuhi beberapa kebutuhan bagi penyandang disabilitas saat berhadapan dengan peradilan, khususnya disabilitas intelektual, baik sebagai pelaku maupun korban.

Pertama, diperlukan pengadilan inklusif, yaitu pengadilan yang memastikan adanya kesetaraan dan penghargaan atas perbedaan sebagai bagian dari keberagaman serta melihat penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum sebagai manusia yang bermartabat.

"Artinya, hakim dan aparat penegak hukum lainnya itu harus memilik perspektif disabilitas," lanjut Niken.

Dibutuhkan pula pendamping, penerjemah, ataupun ahli yang disesuaikan dengan keadaan penyandang disabilitas terkait. Dengan demikian, kata dia, keadilan hukum untuk para penyandang disabilitas dapat terpenuhi.

Baca juga: Komnas HAM: Perlindungan hukum penyandang disabilitas belum optimal

Baca juga: Peparnas Papua ubah paradigma terhadap penyandang disabilitas


Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021