Karena itu, saya tidak setuju bioskop asing masuk ke Indonesia," kata Miing.
Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi X DPR RI, Dedy Suwandi Gumelar, mengatakan bahwa pemerintah belum memiliki kebijakan yang jelas untuk melindungi politik kebudayaan karena masih beranggapan sebagai komoditas. Tak pelak, muncul penjajahan gaya baru oleh investor asing yang masuk melalui usaha bioskop.

"Karena itu, saya tidak setuju bioskop asing masuk ke Indonesia," kata wakil rakyat dari Fraksi  PDI Perjuangan,  Tubagus Dedy Suwandi Gumelar, yang akrab disapa Miing, di Jakarta, Rabu.

Hal ini diungkapkan Miing saat diwawancarai berkaitan dengan akan dikeluarkannya usaha bioskop dari Daftar Negatif Investasi (DNI) Indonesia agar pengusaha asing bisa masuk.

Menurut Miing, pemerintah seharusnya mampu menyediakan regulasi dan infrastruktur yang bisa melindungi dan memajukan industri film nasional. Misalnya, kebijakan fiskal yang bisa memberikan insentif bagi tumbuhnya industri film nasional, atau membangun studio film agar tidak perlu pergi ke luar negeri.

"Regulasi kurang mendukung, infrastruktur lemah, ditambah lagi terbukanya pintu masuk bagi pengusaha bioskop asing, maka industri film nasional akan makin sulit berkembang," ucap Miing.

Miing mengatakan bahwa pemerintah dengan dalih untuk meningkatkan investasi akan membuka keran bagi masuknya bioskop asing merupakan alasan yang tidak mendasar. "Sebab, bioskop itu berbeda dengan sektor investasi lainnya," katanya menegaskan.

Dibandingkan dengan sektor manufaktur, lanjut Miing, Samsung, misalnya, membuka pabrik merupakan investasi yang menguntungkan masyarakat karena menyerap tenaga kerja.  Akan tetapi,  bioskop asing di tengah lemahnya regulasi yang memihak kepentingan nasional dan minimnya infrastruktur yang memadai, keuntungan apa yang bisa diperoleh.

Mantan anggota grup Bagito itu menilai kebijakan pemerintah selama ini tidak memihak kepentingan nasional. Sebut saja saja soal pajak meskipun akhirnya direvisi.  "Memungut pajak lebih tinggi untuk film nasional ketimbang film asing, jelas menjadi bukti ketidakberpihakan pemerintah pada industri film nasional, " kata Miing menandaskan.

Produksi film nasional belakangan ini memang jumlahnya meningkat meskipun masih jauh dari kebutuhan. P:eningkatan ini, kata Miing, bukan dari upaya pemerintah, tapi lebih disebabkan oleh semangat para sineas yang memang ingin berkarya bagi bangsa ini agar film nasional tidak tergerus film asing.

Sementara itu, pengamat Komunikasi dan Budaya Popular Universitas Paramadina A.G. Eka Wenats W. menilai rencana masuknya bioskop asing sebagai wujud berhentinya paradigma politik kebudayaan. Karena kebudayaan hanya dipahami dari sisi yang sifatnya material, bukan sebagai sebuah sistem.

Eka mengatakan bahwa film memang dipandang sebagai sebuah hiburan, dan di dalamnya ada ideologi bawaan. Sementara itu, selera penonton film domestik telah lama dibentuk atau dibingkai oleh film-film asing yang ditayangkan.

Tak pelak, kehadiran film asing akan makin menyuburkan selera penonton film yang jauh dari realitas budaya bangsa, atau film asing telah menjadi theatre of mind penonton yang kemudian berujung pada theatre spectacle (teater tontonan).

"Dengan kata lain, pada akhirnya industri film nasional hanya menjadi penonton atas gencarnya serbuan film asing," kata Eka.

Eka mengatakan bahwa rencana pemerintah yang akan mengeluarkan bioskop dari daftar negatif investasi sebagai wujud ketidakseriusan pemerintah untuk menata politik kebudayaan bangsa. "Masuknya bioskop asing merupakan ancaman konkret bagi perkembangan ekonomi kreatif Indonesia," kata Eka menegaskan. (H-CS)

Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2011