Jakarta (ANTARA) - Sebagai perempuan pengukir, Sumiah (75) tampak lihai membentuk aneka motif ukiran kayu dengan berbagai alat ukir yang menciptakan suara-suara ketukan berirama, layaknya musik.

Tradisi mengukir bagi perempuan di Jepara, Jawa Tengah, adalah warisan turun-temurun dari Ratu Kaliyamat, sekitar lima abad silam dan masih bertahan hingga sekarang.

"Kalau masih sehat dan masih hidup, selamanya saya akan melestarikan tradisi ukir sebagai pekerjaan yang menopang ekonomi," ujar Sumiah, dalam lokakarya bertajuk Perempuan Jepara Mengukir yang digelar di Pondok Pesantren Hasyim Asy'ari, Jepara, Jawa Tengah, Kamis (24/11/2022).

Keahlian seni ukir merupakan kemampuan yang hadir secara alamiah, terkhusus bagi perempuan-perempuan di Jepara. Tradisi yang berlangsung selama ratusan tahun itulah yang menjadi fundamental keahlian tersebut.

Sementara itu, orang luar Jepara yang ingin memiliki kemampuan mengukir setidaknya harus belajar selama enam bulan.

Pada 2020, Pemerintah Kabupaten Jepara mencatat jumlah usaha besar dari sektor ukiran dikelola oleh 387 eksportir, sedangkan skala kecil hingga menengah mencapai 3.438 unit usaha yang berkontribusi terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) rata-rata berkisar 34,5 persen.

Munangsri (65), pengukir lainnya, mengaku telah mengukir sejak muda sekitar tahun 1980-an. Ia mengukir untuk menghasilkan uang agar dapat membeli berbagai kebutuhan hidup.

Munangsri memiliki lima anak dan hanya dua orang yang ikut terjun menjadi perempuan pengukir di Jepara. Adapun Sumiah hanya punya satu anak yang kini berprofesi sebagai tukang kayu.

Di Jepara, perempuan mengukir dan pria menjadi tukang kayu. Ini adalah simbiosis mutualisme yang saling melengkapi dan menguntungkan satu sama lain.

Dalam sehari, perajin bisa mendapatkan upah puluhan ribu sampai ratusan ribu rupiah melalui keahlian seninya. Aneka produk yang dihasilkan, mulai dari gantungan kunci, bingkai foto, meja dan kursi, hingga pintu dan jendela.

Nilai produk ukiran khas Jepara tergantung dari jenis kayu dan teknik ukir dari perajin. Harga-harga medium ke bawah menggunakan jati kampung, sedangkan jati TPK harganya terbilang mahal.

Sementara itu, semakin dalam bentuk ukiran dari produk tersebut membuat harga jualnya juga semakin tinggi.


Tanpa bias gender

Para perempuan pengukir di Jepara bekerja tanpa bias gender. Tidak ada perbedaan upah antara perempuan dengan laki-laki. Mereka semua mendapatkan bayaran yang setara.

Gaji mereka disesuaikan dengan produk yang dihasilkan. Misalnya satu produk dihargai Rp10 ribu, jika mereka bisa mengukir hingga 10 produk per hari, maka upah yang mereka peroleh sebesar Rp100 ribu.

Hanya intensitas dan ketekunan perajin yang menentukan besaran upah yang mereka terima, sebab jenis ukiran di Jepara sangat banyak, mulai dari kerawangan yang harus menggunakan bobok, ada lemahan yang harus diukir, ada relief, masing-masing itu ada juga pengukir dari kaum perempuan.
Perajin mengukir ornamen kayu dalam lokakarya bertajuk Perempuan Jepara Mengukir di Pondok Pesantren Hasyim Asy'ari, Jepara, Jawa Tengah, Kamis (24/11/2022). (ANTARA/Sugiharto purnama)

Pemilik Sanggar Rumah Belajar Ilalang, Den Hasan, menuturkan perempuan bukan lapis kedua dalam tradisi mengukir di Jepara.

Pekerjaan mengukir menempatkan perempuan pada posisi yang tepat, karena, selain menghasilkan uang, kegiatan mengukir membuat mereka dapat merawat keluarga dan mengurus rumah.

Industri rumahan di Jawa Tengah, terkhusus ukiran Jepara, membuat para perempuan tidak perlu meninggalkan rumah untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Mereka bisa istirahat seharian tanpa mengukir, hanya untuk merawat rumah atau mengasuh anak.

Mengukir bagi orang Jepara adalah pekerjaan yang bisa dilakukan di rumah tanpa harus keluar rumah dan di rumah ibu-ibu juga bisa, sekalian merawat anak.

Pilihan fleksibel itulah yang membuat industri rumahan, khususnya seni ukir di Jepara, menjadi sangat ramah terhadap perempuan.

Industri rumahan telah memberdayakan perempuan untuk bekerja tanpa harus meninggalkan kewajiban mereka sebagai ibu yang menjadi "madrasah" pertama bagi anak-anak mereka.

Saat ini, para perempuan di Jepara mewarisi karakter tangguh dari tiga sosok perempuan yang tertuang dalam berbagai catatan sejarah, yakni Ratu Shima, Ratu Kalinyamat dan Raden Adjeng Kartini.


Butuh penerus

Dahulu perempuan melakukan kegiatan mengukir karena tidak ada pilihan pekerjaan lain, sedangkan kini, generasi muda punya beragam pilihan pekerjaan.

Apalagi setelah banyak pabrik dari kota besar merangsek masuk ke daerah menyebabkan generasi muda enggan belajar dan menekuni seni mengukir. Usai lulus sekolah, anak-anak muda di Jepara langsung mendaftar untuk bekerja di pabrik dengan gaji yang sudah ditentukan oleh perusahaan.

Kondisi itu menjadi tantangan bagi industri rumahan mebel yang memproduksi berbagai produk ukiran di Jepara.

Meski demikian, tradisi mengukir diyakini tidak akan hilang dari Jepara karena selama orang-orang masih memesan mebel, maka tradisi ukir akan tetap ada dalam diri masyarakat di Jepara.
Sejumlah perempuan mengukir ornamen kayu dalam lokakarya bertajuk Perempuan Jepara Mengukir di Pondok Pesantren Hasyim Asy'ari, Jepara, Jawa Tengah, Kamis (24/11/2022). (ANTARA/Sugiharto purnama)

Saat ini, sekolah vokasi SMK 2 Negeri Jepara fokus terhadap kesenian, mulai dari ukir, batik, hingga desain produk. Bahkan, perguruan tinggi di sana telah menyediakan pembelajaran tentang desain produk, khususnya kayu dan ukiran.

Beberapa sangar juga sudah membuka kelas-kelas untuk siapa saja yang tertarik belajar mengukir.

Pemerintah daerah setempat secara rutin menggelar berbagai perlombaan mengukir sebagai upaya mewariskan tradisi itu kepada generasi muda, termasuk memberikan beragam fasilitas kepada asosiasi-asosiasi dan pelaku industri mebel.

Pada April 2019, Museum Rekor Dunia-Indonesia (MURI) menobatkan rekor perempuan mengukir terbanyak atas kegiatan mengukir yang dilakukan oleh 507 perempuan Jepara.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022