perlu ada mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan kerja
Yogyakarta (ANTARA News) - Jaringan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (JPPRT) menuntut segera disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga sebagai landasan hukum untuk mewujudkan perlindungan dan pemenuhan hak pekerja rumah tangga.

"Pada 2010, Rancangan Undang-Undang (RUU) Pekerja Rumah Tangga (PRT) sudah masuk dalam prolegnas, namun kandas dan tidak jadi disahkan. Pada tahun berikutnya, RUU PRT kembali masuk ke prolegnas dan kembali tidak jadi disahkan," kata Koordinator Jaringan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (JPPRT) Aminah di sela-sela aksi peringatan Hari PRT Nasional di Yogyakarta, Jumat.

Menurut dia, masih banyak persoalan yang dialami PRT di antaranya upah yang rendah, jam kerja lebih dari delapan jam sehari, tidak adanya jaminan kesehatan dan sosial dan masih banyak PRT yang berusia kurang dari 18 tahun atau masih termasuk anak-anak.

Persoalan yang dialami PRT tersebut, lanjut dia, dilandasi oleh status kerja PRT yang belum diakui oleh pemerintah dan masyarakat sebagai pekerja.

"Selama ini, PRT masih dianggap sebagai pembantu rumah tangga yang akhirnya membuaat PRT kehilangan haknya sebagai pekerja," katanya.

Oleh karena itu, lanjut dia, JPPRT pun menuntut agar RUU PRT segera disahkan dengan delapan hal pokok yang harus tercantum di dalamnya yaitu pengakuan PRT sebagai pekerja karena unsur pekerja sudah terpenuhi dengan adanya hubungan kerja antara pemberi kerja dengan PRT serta adanya upah dan pekerjaan.

PRT juga memiliki beban kerja dan waktu kerja yang melebihi pekerja pada umumnya, sehingga perlu diatur waktu kerja, beban kerja dan kategori pekerjaan rumah tangga.

Di dalam RUU PRT juga diatur tentang perjanjian kerja, upah, tunjangan hari raya (THR), waktu kerja, istirahat, cuti, jaminan sosial, pendidikan dan pelatihan serta usia kerja.

"Usia kerja ini menjadi perdebatan menarik karena faktanya masih banyak anak-anak yang bekerja di sektor ini. Karenanya, banyak anak yang tidak terpenuhi hak pendidikannya dan rentan menjai sasaran kekerasan karena usianya belum dewasa," katanya.

Selain itu, RUU tersebut juga mengatur penyelesaian perselisihan antara PRT dengan pengguna jasa karena seringkali hanya diselesaikan secara kekeluargaan sehingga posisi tawar PRT tidak terlalu kuat.

"Karenanya, perlu ada mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan kerja yang tidak hanya dengan musyawarah namun juga bisa dengan merevisi UU Perselisihan Hubungan Industrial," katanya.

PRT juga sama dengan pekerja lain sehingga memiliki hak untuk mendirikan serikat, bergabung menjadi anggota atau pengurus serikat tanpa intimidasi dari pihak manapun.

"Kami juga mendorong Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk ikut melakukan pengawasan terhadap hubungan kerja PRT dan pengguna jasa agar ada jaminan perlindungan terhadap PRT," katanya.

JPPRT juga berharap agar Balai Latihan Kerja (BLK) setempat menyediakan informasi kerja secara berkala dan mendorong penghapusan agen penyedia jasa.

"Jika ada agen penyedia jasa, maka tidak diperbolehkan melakukan perekrutan, pendidikan dan penempatan. Hal ini dilakukan untuk menghindari praktik perdagangan manusia," katanya.

Meskipun demikian, JPPRT menilai komitmen Pemerintah DIY dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak PRT sudah lebih maju dibanding daerah lain karena sudah memiliki Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2010 tentang Perlindungan PRT.

"Sayangnya belum ada aturan tentang sanksi bagi pengguna jasa yang tidak mematuhinya," katanya.

Dalam aksinya, para aktivis JPPRT menggunakan berbagai peralatan rumah tangga seperti wajan dan tampah yang bertuliskan berbagai tuntutan seperti jam kerja dan cuti.
(E013)

Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2013