Pengurangan ongkos energi akan terjadi, dengan syarat ada perhatian khusus untuk terlebih dahulu menyiapkan faktor-faktor penunjang inovasi teknologi radikal.
Jakarta (ANTARA News) - Pakar kimia fisika Universitas Cambridge sekaligus Utusan Khusus Luar Negeri Inggris untuk Perubahan Iklim, Sir David King, menyatakan inovasi teknologi radikal dapat mengurangi mahalnya ongkos produksi untuk mendapatkan energi.

"Pengurangan ongkos energi akan terjadi, dengan syarat ada perhatian khusus untuk terlebih dahulu menyiapkan faktor-faktor penunjang inovasi teknologi radikal," kata King saat memaparkan presentasi dalam diskusi perubahan iklim yang diselenggarakan Pusat Perubahan Iklim Indonesia (ICCC), di Jakarta, Kamis.

King menyebutkan salah satu kunci untuk menunjang inovasi teknologi adalah sistem penyimpanan dan distribusi energi. Selain itu, faktor penunjang memang harus dikembangkan beriringan dengan wujud inovasi teknologi tersebut.

Misalkan untuk contoh mendorong elektrifikasi kendaraan-kendaraan pribadi masyarakat, lanjut King, maka harus secara beriringan dibangun sarana-sarana pendukungnya, seperti stasiun pengisian baterai.

"Sebagaimana diketahui para produsen mobil juga tengah berkutat menciptakan sistem baterai isi ulang untuk mobil, yang harus diantisipasi dengan penyediaan titik-titik stasiun pengisian baterai di sepanjang jalan," katanya.

"Bahkan kalau memungkinkan sarana agar anda dapat mengisi ulang tenaga baterai mobil anda setiap kali parkir di tepian jalan atau di sarana parkir khusus," ujarnya menambahkan.

Sementara itu, ia juga menegaskan besarnya peranan masyarakat urban khususnya di negara-negara Asia dan Afrika, yang didominasi negara-negara berkembang.

"Kota-kota besar harus berada di garis terdepan dalam inovasi penggunaan energi rendah emisi. Diperkirakan populasi urban di Asia pada 2050 mencapai 3,3 milyar sedang di Afrika mencapai 1,3 milyar," ujarnya.

Di sisi lain ia menuturkan capaian Inggris setelah menyelesaikan tahap empat tahunan pertama kebijakan lingkungan, 2008-2012.

"Kami berhasil menurunkan emisi 10 ribu ton per tahun menjadi tujuh ribu ton per tahun. Pada 2030 kami ingin mengurangi tingkat emisi sebesar 50 persen," katanya.

King, dalam acara yang diselenggarakan ICCC bekerja sama dengan Kedutaan Besar Inggris di Indonesia itu, memaparkan presentasi bertajuk "Pengalaman Kebijakan Lingkungan Inggris: Aksi Menghadapi Perubahan Iklim, Investasi Hijau dan Reformasi Energi".

Ia juga membicarakan tentang perubahan iklim dan dampaknya termasuk banjir akibat luapan aliran Sungai Thames di sekitar London.

Sementara itu, Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim sekaligus Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), Rachmat Witoelar, mengatakan Indonesia dan Inggris memiliki tingkat kerentanan yang sama terhadap dampak perubahan iklim.

"Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim, begitu juga dengan yang dirasakan di Inggris," kata Rachmat saat menyampaikan sambutannya.

Oleh karena itu, Rachmat berharap Indonesia dapat mengambil banyak pelajaran atas segenap pengalaman yang dipaparkan King. (*)

Pewarta: Gilang Galiartha
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2014