Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah idealnya tak perlu menetapkan 1 Syawal atau Idul Fitri sebagaimana yang dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya, tetapi cukup menetapkan hari libur Idul Fitri, karena masih kuatnya perbedaan yang berkembang di kalangan umat Islam tentang penetapan 1 Syawal itu, kata Ketua Umum PP Muhamadiyah, Prof. Dr. Din Syamsuddin, di Jakarta, Kamis. Perbedaan di kalangan umat Islam tentang penetapan awal Ramadhan atau awal Puasa, menurut Din masih begitu kuat. Terlebih lagi soal penetapan 1 Syawal. Tetapi, biarlah perbedaan itu menjadi rahmat. Bagi Muhammadiyah, penetapan awal Ramadhan dilakukan dengan pendekatan ilmiah dan Quraniah, katanya. Pemerintah cukup menetapkan hari libur Idul Fitri saja, tak perlu menetapkan 1 Syawal atau hari Lebaran versi pemerintah, ujar Din Syamsuddin. Imbauan tersebut, menurut dia, didasari pertimbangan masih kuatnya perbedaan yang berkembang di kalangan umat Islam (NU dan Muhammadiyah, red). Pertimbangan lain adalah agar Pemerintah Indonesia terkesan tak netral dalam menghadapi persoalan ini. "Perintah memang harus netral," kata Din lagi. Perbedaan itu adalah masalah hilafiah. Sama halnya soal shalat tarawih ada yang 11 rakaat dan 23 rakaat. Jadi, masalahnya tak perlu dibesar-besarkan dan pemerintah harus netral, ujarnya. Persoalan ini, bagi Muhammadiyah bukan main-main. "Ini serius, karena menyangkut agama," ujarnya lagi. Tentang penetapan awal Ramadhan, Muhammadiyah menetapkan jatuh pada hari Ahad, 24 September 2006. Sedangkan 1 Syawal jatuh pada 23 September 2006. Keputusan tersebut diambil berdasarkan hisab hakiki wujudul hilal yang dipedomani oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Berkaitan dengan masuknya Ramadhan itu, Din dan segenap jajaran pimpinan Muhammadiyah mengimbau agar umat Muslim menyambut Ramadhan dapat menjalani puasa sesuai tuntunan Rasullallah SAW. Puasa hendaknya dapat dijadikan wahana penjernihan nurani, pencerdasan pikiran, perbaikan ahlaq. Diimbau kepada industri hiburan agar menjunjung tinggi nilai moral, tak menjual komoditi pornografi dan pornoaksi yang merusak akhlak dan tatatan bangsa, katanya. (*)

Copyright © ANTARA 2006