Jakarta (ANTARA News) - Vonis mantan anggota Komisi VII dari Fraksi Partai Hanura Dewie Yasin Limpo diperberat menjadi 8 tahun penjara ditambah pencabutan hak politik karena terbukti menerima suap sebesar 177.700 dolar Singapura untuk mengupayakan anggaran pembangunan pembangkit listrik di Kabupaten Deiyai, Papua.

"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Hj Dewi Aryalinza alias Dewie Yasin Limpo pidana penjara selama 8 tahun dan terdakwa II Bambang Wahyuhadi dengan pidana penjara selama 6 tahun dan pidana denda masing-masing sebesar Rp200 juta dengan ketentuan apabila terdakwa tidak membayar denda tersebut diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan," demikian bunyi putusan Pengadilan Tinggi Jakarta DKI Jakarta Nomor 46/Pid.Sus-TPK/2016/PT.DKI Tahun 1970 yang diakses dari laman http://putusan.mahkamahagung.go.id.

Putusan itu lebih berat dibanding vonis di tingkat pengadilan pertama yang dijatuhkan pada 9 Mei 2016 lalu yaitu divonis 6 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan tanpa pencabutan hak politik.

Padahal jaksa penuntut umum KPK meminta agar hakim menghukum Dewie dan Bambang yang merupakan staf ahli Dewie masing-masing selama 9 tahun penjara ditambah denda sebesar Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan dan khusus untuk Dewie dikenakan pencabutan hak untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik selama 12 tahun.

"Menjatuhkan pidana tambahan kepada terdakwa I berupa pencabutan hak memilih dan dipilih dalam pemilihan jabatan publik/jabatan politik selama 3 tahun dihitung setelah terdakwa I selesai menjalani pidana pokoknya," demikian tertulis dalam petikan putusan PT DKI Jakarta.

Vonis diputuskan oleh majelis hakim Elang Prakoso Wibowo, Humuntal Pane, Siswandriyono, Jeldi Ramadhan dan Rusydi.

Dewie bersama Bambang Wahyuhadi dan Rinelda Bandaso yang merupakan asisten administrasi Dewie, menerima uang sejumlah 177.700 dolar Singapura dari Kepala Dinas ESDM kabupaten Deiyai, Papua Irenius Adii dan pengusaha pemilik PT Abdi Bumi Cendrawasih Setiadi Jusuf.

Ia mengenal Irenius melalui Rinelda pada 30 Maret 2015. Pada saat itu Irenius meminta agar Dewie menyampaikan permintaan untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga mikrohidro sehingga pada 30 Maret 2015 setelah Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi VII DPR dengan Kementerian ESDM. Pada rapat itu juga Dewie menyampaikan kabupaten Deiyai sangat membutuhkan listrik, sehingga Menteri ESDM Sudirman Said menyarankan agar Irenius memasukkan proposal ke Kementerian ESDM.

Dewie kemudian meminta Rinelda agar Irenius menyerahkan Laporan Hasil Survey Rencana Pembangunan Jaringan Distribusi dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro di Kabupaten Deiyai untuk selanjutnya diserahkan kepada Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir. Dewie pun meminta agar Rinelda aktif menanyakan tindak lanjut proposal itu kepada Kementerian ESDM.

Pada 18 Oktober 2015 di Restoran Bebek Tepi Sawah Pondok Indah Mall 2 Jakarta dilakukan pertemuan antara Dewie Limpo, Bambang, Irenius, Setiady dan Stefanus Harry Jusuf rekan Setiady dan disepakati Dewie akan menerima dana pengawalan 7 persen dari anggaran yang diusulkan dan meminta Setiady menyerahkan setengah dari dana pengawalan sebelum pengesahan APBN 2016 ke Ine.

Rinelda pun menjelaskan bahwa Dewie sudah menyampaikan proposal ke Bangar dan setelah mendengar penjelasan, Setiadi sepakat menyerahkan setengah dana pengawalan sebesar Rp1,7 miliar dalam bentuk dolar Singapura.

Uang pun diserahkan pada 20 Oktober di Resto Baji Pamai Mal Kelapa Gading Jakarta Utara dari Irenius dan Setiady kepada Rinelda yaitu 177.700 dolar Singapura dan sebagai jaminan yang ditandatangani oleh Rinelda mewakili Dewie dan Jemmie Dephiyanto Pathibang mewakili Setiadi serta Irenius sebagai saksi.

Isi surat adalah uang akan dikembalikan apabila Setiady gagal menjadi pelaksana pekerjaan. Rinelda pun menerima 1.000 dolar Singapura dari Setiady karena membantu pengurusan proyek tersebut.

Sedangkan Bambang dinilai mengatur kegiatan Dewie Yasin Limpo sebagai anggota DPR.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016