HTI menyampaikan ajaran-ajaran Islam dalam berbagai aspeknya. Aktivitas-aktivitasnya tidak keluar dari makna dakwah secara umum
Jakarta (ANTARA News) - Saksi ahli yang dihadirkan eks Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dalam sidang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Kamis, mengatakan bahwa kegiatan organisasi itu sepengetahuannya tidak keluar dari makna dakwah secara umum.

"Sejauh yang saya ketahui, dalam melakukan aktivitasnya, HTI menyampaikan ajaran-ajaran Islam dalam berbagai aspeknya. Aktivitas-aktivitasnya tidak keluar dari makna dakwah secara umum," kata Prof KH Didin Hafidhuddin MA saat menyampaikan keterangan sebagai saksi dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Ketua Tri Cahya Indra Permana.

Didin, yang juga Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia, mengemukakan bahwa secara umum dakwah adalah kegiatan mulia dan sangat penting bagi tegaknya ajaran Islam.

Ia menganggap kegiatan dakwah HTI bersifat umum antara lain berdasarkan dakwah tulisan di website dan buletin, dakwah lisan melalui ceramah, dan dakwah perbuatan dengan membantu langsung korban bencana, misalnya saat tsunami Aceh 2004 dan gempa di Yogyakarta 2006.

Didin menyatakan bahwa khilafah juga merupakan bagian dari ajaran Islam, dan menyerukan khilafah adalah kegiatan dakwah. Berdasarkan hal-hal itu, dia menyimpulkan bahwa aktivitas HTI adalah aktivitas dakwah Islam, dan dengan demikian HTI adalah organisasi dakwah Islam.

Secara terpisah juru bicara eks HTI Ismail Yusanto menilai penjelasan saksi ahli, dalam hal ini KH Didin Hafidhduddin, di persidangan menunjukkan bahwa pembubaran HTI adalah hal yang keliru.

"Beliau menyatakan HTI kelompok dakwah, menyebarkan agama Islam, dan menyerukan khilafah adalah bagian dari kegiatan dakwah," kata Ismail seusai persidangan.

Sementara kuasa hukum Menteri Hukum dan HAM I Wayan Sudirta menegaskan makna khilafah yang dipercaya oleh HTI tidak dapat disandingkan dengan NKRI, sebab dalam makna khilafah yang diyakini HTI, tidak ada pemimpin perempuan, menjadikan tatanan kehidupan menjadi diskriminatif.

"Khilafah yang disampaikan ahli tidak sama dengan khilafah dalam Rancangan Undang-Undang Dasar Daulah Islam yang menjadi referensi HTI," kata I Wayan seusai pesidangan.

I Wayan menekankan bahwa HTI menyandingkan makna khilafah sesuai dengan konsep yang ada dalam buku-buku karangan Taqiyuddin an Nabhani, yang menjadi referensi bagi HTI.

"Menurut HTI khilafah adalah kewajiban, sedangkan makna khilafah menurut ahli adalah sesuatu yang dapat didiskusikan dan menerima pluralisme," jelas I Wayan.

Dalam persidangan tersebut, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia selaku tergugat batal menghadirkan saksi. Rencananya saksi tergugat baru akan dihadirkan dalam sidang lanjutan Kamis (29/2) pekan depan.

HTI dibubarkan sesuai dengan surat keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU -30.AHA.01.08.2017 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-00282.60.10.2014 tentang Pengesahan Pendirian Perkumpulan HTI. Dalam persidangan ini HTI menggugat keputusan tersebut.

Baca juga: Kemenkumham: pencabutan status hukum HTI bukan keputusan sepihak

Pewarta: Rangga Pandu Asmara Jingga
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2018