Jakarta (ANTARA News) - Joko Widodo (Jokowi) barangkali merasa tugasnya belum selesai untuk mengurus republik ini.

Menggelar puluhan km jalan tol hingga membentangkan jalur tol laut di sekeliling kepulauan nusantara rupanya butuh waktu lebih dari lima tahun.

Hanya ia sendiri yang tahu alasan sejati mengapa harus bertahan. Baik untuk menyelesaikan tugas yang belum juga rampung atau untuk alasan yang lain.

Namun yang pasti, pria berdarah asli Solo itu kini sedang berada di tepian Padang Kurusetra, menjelang perang besar Baratayudha ala Indonesia, Pilpres 2019 yang dalam hitungan beberapa bulan akan tiba.

Ia pun menghadapi pekan-pekan yang pastilah amat berat ketika lawan politiknya dapat secara fokus untuk mencari strategi mengalahkannya, Jokowi harus membagi dirinya untuk mengabdi pada negeri di sisi lain mencari cara menghadapi lawan politiknya.

Mantan Gubernur DKI Jakarta itu harus menelan pil pahit beragam tuduhan dan kontroversi terkait penyalahgunaan wewenang termasuk menggunakan istana untuk kepentingan politik praktis.

Bisa jadi ia amat terganggu dengan berita itu meskipun telinganya telah dibuatnya semakin "tebal" dengan kabar buruk apapun yang dikatakan orang tentangnya dalam tiga tahun terakhir.

Maka ia tersenyum, ketika Mantan Presiden SBY berempati padanya, menyampaikan di sebuah forum besar yang dituanrumahinya bahwa ia paham apa yang sedang dirasakan oleh penerusnya itu.

SBY mengaku pernah mengalami hal serupa 1 dekade lalu atas apa yang kini sedang dihadapi Jokowi.

Siapa tak senang untuk dimengerti, Jokowi pun manusia yang berharap untuk bisa dipahami, hingga keduanya pun saling mengirimkan sinyal untuk bersinergi.

Ia pun mengaku dirinya demokrat kepada SBY, sebuah sinyal yang amat sangat kuat, sinyal yang menginginkan partai berlambang bintang mercy itu mendukung langkah politiknya ke depan.

Namun, peta politik bukan seperti peta bumi yang statis. Dinamika politik tak mengenal hitungan hari, tetapi sekejap mata pun menentukan langkah dan sebuah masa depan.

Maka wajar sebuah koalisi antara keduanya pun tak sesederhana membalik telapak tangan.



Mencairkan Dendam

Sejatinya, Jokowi banyak belajar dalam tiga tahun terakhir. Dari seorang politisi yang benar-benar "anak bawang" hingga kini mulai paham betul melangkahkan bidak catur yang paling menguntungkan posisinya.

Wajar jika kemudian, elektabilitasnya di kalangan masyarakat tak beranjak turun, bahkan meningkat terdukung prestasi dan bukti pembangunan infrastruktur di sana sini.

Banyak partai pun berlomba-lomba mengusungnya menjadi calon presiden untuk periode kedua.

Bahkan PDI Perjuangan yang awalnya amat hati-hati dalam melangkah untuk menghadapi Pilpres 2019, akhirnya malu-malu mengumumkan pencapresan Jokowi dalam Rakernas 3-nya di Bali beberapa waktu lalu.

Pengumuman pencapresan itu disebarkan pertama melalui media sosial oleh Pramono Anung sebagai salah satu kader PDI Perjuangan yang juga Sekretaris Kabinet.

Pramono mengaku langkah itu diambil lantaran partainya akan menggunakan strategi optimalisasi media sosial untuk pemenangan pemilu presiden 2019.

Padahal sebelum ini terjadi, jauh sebelumnya, Jokowi diwacanakan untuk menjadi Ketua Umum Partai Golkar yang ketika itu diketuai oleh Setya Novanto yang tersandung kasus korupsi KTP elektronik.

Tetapi peta politik dinilainya tak terlampau menguntungkan jika ia harus melangkahi aturan yang pernah dibuat dan dijanjikannya sendiri soal rangkap jabatan kepada rakyat.

Namun Jokowi berkepentingan terhadap partai berlambang pohon beringin itu, maka ia ingin Golkar tetap berada pada posisi yang aman di tangan Airlangga Hartarto dan Idrus Marham.

Sejujurnya posisi Jokowi saat ini berada di tengah kegalauan Megawati dan SBY yang kesumat dendam masa lalu.

Jika dendam itu berhasil luruh, penyatuan dua partai besar PDI Perjuangan dan Demokrat bukan tidak mungkin terjadi.

Maka peran Jokowi-lah yang diharapkan mampu mencairkan penyumbat keharmonisan dua partai beda warna itu.



Poros Tengah

Kurusetra 2019 di Indonesia diprediksikan menjadi "padang pertempuran" perebutan kursi RI1 yang amat sengit.

Pakar komunikasi politik Effendy Gozali menilai memenangi Pilpres 2019 tidak semata bersandar pada kekuatan partai pengusung melainkan penerimaan masyarakat sebagai pemegang hak suara terhadap calon.

Effendy menekankan bahwa elektabilitas suara tidak bisa dilihat dari sisi dalam partai. Oleh karena itu, hanya calon-calon yang telah matang dengan sisi penerimaan masyarakat yang tinggi saja yang akan berpeluang menang pada pertempuran besar 2019.

Kubu Gerindra yang dipastikan akan mengusung calon lama mereka Prabowo Subianto akan memainkan peran tersendiri.

Sementara kubu Cikeas masih menanti perkembangan peta politik hingga terbentuk kesetimbangan baru yang paling menguntungkan.

Namun jika ego PDI Perjuangan tak juga turun bukan tidak mungkin kubu poros tengah akan terlahir.

Masyarakat yang selama ini menjadi swing voter yang sudah lelah dengan tarik ulur pihak incumbent dan oposan boleh jadi akan menentukan pilihan pada sang kuda hitam.

Maka poros tengah pun merupakan pilihan yang potensial bagi SBY yang menawarkan sosok muda dan gagah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Cikeas tidak akan kehilangan banyak hal dengan dua pilihan itu bergabung dengan salah satu kubu atau membuat kubu baru.

Keduanya merupakan investasi yang baik bagi SBY untuk Pilpres 2024, menanti AHY yang digadang-gadangkannya semakin matang untuk menjadi pemimpin bangsa.

Namun berbeda dengan Jokowi, pilihan yang ada di hadapannya benar-benar menentukan langkahnya apakah akan berlanjut atau berhenti sampai di sini saja.

Maka 2019, inilah Kurusetra yang paling menentukan baginya, sebuah perang akbar yang akan menjadi titik kesudahan atau titik keberlanjutan bagi Jokowi untuk negeri ini.

Pewarta: Hanni Sofia
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2018