Jakarta (ANTARA News) - Akhirnya Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin memenuhi keinginan masyarakat yang menghendaki daftar nama-nama penceramah agama Islam yang layak diundang mengisi siraman rohani di masjid-masjid, terutama di masjid besar di Tanah Air.

Sebanyak 200 nama penceramah versi Kementerian Agama telah diumumkan. Motivasi utama pengumuman nama-nama penceramah yang direkomendasikan Kementerian Agama (Kemenag) itu adalah mencegah mewabahnya ceramah-ceramah agama yang bertendensi menyebarluaskan paham radikal dan ekstrem, yang dinilai menjadi ruh terorisme.

Sebagai langkah awal, penentuan 200 nama itu jelas memadai meskipun harus terus ditambahkan jumlahnya seiring dengan semakin bertambahnya dai-dai yang berkompeten yang dilahirkan oleh berbagai institusi pendidikan keagamaan di Tanah Air.

Tak bisa dimungkiri bahwa penerbitan daftar nama orang yang didasarkan pada aspek kompetensi selalu mengundang polemik. Ingatkah daftar nama orang terkenal yang pernah dikeluarkan oleh Tabloid Monitor yang mengakibatkan Arswendo Atmowiloto, pemimpin redaksi tabloid yang mengagungkan sensasi itu, masuk penjara?

Terlepas dari kontroversi atas pengumuman 200 nama penceramah yang dikeluarkan Kemenag, apa yang dilakukan Lukman Hakim Saifudin layak diapresiasi.

Tujuannya memberikan panduan bagi masyarakat untuk mendengarkan dai-dai yang menyejukkan dalam berceramah di era reformasi ini tak perlu dipandang sebagai pembungkaman terhadap suara-suara kritis terhadap pemerintah.

Di era Orde Baru, ketika politik represif dijalankan penguasa, daftar nama dai yang layak diundang untuk berceramah di masjid-masjid memang tak pernah diumumkan. Namun, Orde Baru menyimpan daftar nama-nama pendakwah yang kritis terhadapnya dan dimata-matai ketika sedang berceramah.

Toni Ardi, salah seorang dai terkemuka yang menjadi favorit mahasiswa Universitas Indonesia (UI) di awal dekade 1980-an, yang sering berceramah di Masjid Arif Rahman Hakim Salemba, Jakarta Pusat, termasuk pendakwah yang kritis terhadap sepak terjang otokrat di masa itu.

Hampir 90 persen khotbah-khotbah Toni Ardi di hadapan jemaah Shalat Jumat bermuatan politik. Bagi kalangan mahasiswa saat itu, mendengar uraian ceramah Toni dirasa lebih relevan dan memunuhi kebutuhan mereka, dibandingkan dengan khotbah yang melulu berisi siraman rohani.

Apalagi, di masa itu suara kritis seperti yang dikumandangkan Toni sangat langka. Sebagian besar dai dirundung rasa takut untuk menyampaikan kesewenang-wenangan penguasa yang eksistensinya didukung kekuatan militer.

Ruang-ruang publik yang semestinya bisa digunakan untuk mengkritik penguasa seperti media massa justru hampa kritik yang disampaikan secara lugas.

Media massa hanya sanggup mengkritik dengan eufemisme. Toni Ardilah yang memberikan pilihan alternatif bagi publik untuk mendengar serangan-serangan kritisnya kepada pemerintah. Karena tokoh-tokoh oposan dari kalangan partai politik bersuara sekadar untuk mengukuhkan kebijakan pemerintah.

Dalam konteks politik pascareformasi, saat politikus oposan punya kemerdekaan melontarkan kritik-kritiknya kepada pemerintah, saat media massa bebas menampung opini dari pengamat yang kritis terhadap kekuasaan, langkah Menteri Agama menjadikan rumah ibadah sebagai tempat menyampaikan siraman rohani yang menyejukkan, tanpa dicemari oleh kepentingan politis agaknya tak bisa dianggap sebagai upaya mengekang kemerdekaan berpendapat.

Langkah itu justru sejalan dengan keniscayaan dalam berdemokrasi yang sehat bahwa politik dan agama harus dihindarkan. Politisasi agama, apalagi agamaisasi politik, adalah tindakan yang tak direkomendasikan dalam praktik berdemokrasi.

Barangkali yang perlu ditindaklanjuti oleh Kemenag adalah melanjutkan penambahan jumlah dai yang bisa dimasukkan dalam daftar penceramah yang direkomendasikan untuk diundang berdakwah di masjid-masjid.

Kemenag tentu perlu menginstruksikan jajarannya di daerah untuk membuat daftar nama-nama dai di daerah yang kompeten dan moderat untuk dijadikan pegangan pengurus masjid di daerah dalam mengundang penceramah.

Pada dasarnya motivasi utama umat Islam atau umat beragama lainnya datang ke tempat ibadah, selain menjalankan ritual keagamaan, adalah untuk mendapat siraman rohani yang berdimensi spiritual bukan politis. Dengan mendengarkan dai yang menyejukkan, pendengar mendapatkan nasihat-nasihat yang menyentuh, menyejukkan dan mendamaikan bagi kalbu.

Sangat ironis jika ceramah agama itu justru mengakibatkan timbulnya emosi amarah atau kebencian terhadap sesama maupun terhadap pemerintah. Mekanisme demokrasi sudah mengatur bagaimana pemerintah yang tak amanah perlu diganti, yakni lewat pemilihan umum.

Itu sebabnya, pengelola rumah ibadah yang tercerahkan perlu mengundang dai yang sanggup menghadirkan suasana damai yang menjadi ruh tiap agama, yang dalam teologi Islam di kenal dengan istilah rahmat bagi alam semesta. Bukan kasih sayang hanya kepada manusia, tapi juga hewan, tumbuhan bahkan bumi dan seisinya.

Dai yang kontekstual akan meningkatkan komampuannya dengan menguasai pengetahuan saintifik sehingga dalam ceramahnya yang menyejukkan itu juga berisi ajakan untuk mencegah semakin tercemarnya sungai-sungai, longsornya lembah-lembah dan berbagai kejahatan terhadap alam lainnya.

Untuk memperoleh pandangan kritis mengenai perpolitikan, umat beragama bisa mencarinya di media massa, di tayang bincang, ruang seminar atau diskusi atau siaran parlementaria.

Dengan adanya spesifikasi ini, umat beragama tak akan kecele. Ketika dia datang ke rumah ibadah untuk memperoleh siraman rohani, dia mendapatkan apa yang dicarinya.

Dalam kehidupan yang kian kompleks dengan berbagai masalah di ranah privat, penceramah agama yang memberikan siraman rohani dapat memberikan penguatan mental bagi umat dalam memecahkan problem-problem privat mereka. Di stulah makna dan urgensi ceramah-ceramah yang menjejukkan.

Pewarta: Mulyo Sunyoto
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2018