Jakarta (ANTARA News) - Kamis 21 Mei 1998 menjadi salah satu hari paling bersejarah bagi bangsa Indonesia dan menjadi momentum bagi perbaikan perjalanan bangsa ini ke masa-masa setelahnya.

Pagi itu sekitar pukul 09.00 WIB di Ruang Credential, Istana Merdeka, Jakarta, Presiden Soeharto menyampaikan pidato terakhir sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan yang telah dipegangnya selama 32 tahun.

"Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998," kata Sang Jenderal Besar dengan nada datar.

Spontan para mahasiswa yang telah beberapa hari menduduki Gedung MPR/DPR RI di Senayan, bersorak riang gembira. Sebagian dari mereka bahkan menceburkan diri ke dalam kolam, menyambut euforia reformasi yang telah berhasil membuat Bapak Pembangunan itu lengser alias "mandeg pandito" atau berhenti dari pucuk kekuasaan di negeri ini.

Bangsa Indonesia pun memasuki sejarah baru dalam era Reformasi, sebagai bentuk koreksi atas rezim Orde Baru yang sentralistik, bahkan tak jarang disebut-sebut sebagai pemerintahan otoriter, terutama oleh lawan-lawan politiknya.

Enam agenda awal reformasi pun menggema: adili Soeharto dan kroni-kroninya, pemberantasan KKN, amendemen UUD 1945, penghapusan dwifungsi ABRI, penegakan supremasi hukum, dan pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya.

Soeharto sudah menjalani proses untuk diadili namun para dokter yang menanganinya menilai bahwa dia mengalami kerusakan otak permanen sehingga tidak akan bisa memberikan keterangan di pengadilan, pemberantasan KKN marak dilakukan bahkan hingga kini, amendemen UUD 1945 sudah empat kali, dwifungsi ABRI tinggal sejarah, penegakan hukum berlangsung terus, dan daerah memiliki otonomi yang luas bahkan Aceh dan Papua mendapat otonomi khusus.

Hingga 20 tahun, reformasi memang masih terus berlangsung dan belum tuntas menyentuh seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Perbaikan demi perbaikan terus dilakukan dari pemerintahan yang silih berganti setelah Soeharto lengser, baik semasa pemerintahan BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan kini Jokowi Widodo.

Pernah ada masa ketika reformasi tak berjalan sebagaimana dicita-citakan, lalu muncul berbagai tulisan dan gambar bertuliskan "Piye kabare, enak zamanku toh" dan bergambar Soeharto sedang tersenyum. Gambar Soeharto senyum pun masih bisa terlihat dalam lembaran uang Rp50.000 versi lama yang masih berlaku.

Bahkan banyak kalangan yang menginginkan "kembali" kepada suasana era Soeharto. Wacana untuk menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tak jarang dipolitisasi sebagai semangat masa lalu, bahkan partai-partai yang terkait langsung dengan Keluarga Cendana, alias keluarga Soeharto, pun pernah bermunculan seperti Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) yang dideklarasikan oleh Mbak Tutut (Siti Hardiyanti) untuk Pemilu 2004 dan Pemilu 2009.

Untuk Pemilu 2019 mendatang, ada Partai Berkarya yang dipimpin oleh Hutomo Mandala Putra dan partai ini memang menghidupkan kembali kisah Soeharto selama memimpin Orde Baru.

Anak Soeharto yang lain, Siti Hediati Hariyadi alias Titiek Soeharto, masih aktif sebagai politisi dan memegang jabatan sebagai Bendahara DPP Partai Golkar dan anggota DPR RI.


Pemimpin Besar

Terlepas dari kontroversi, Soeharto adalah salah seorang pemimpin besar di negeri ini.

Dari waktu ke waktu, banyak pihak yang ingin terus mengenang kebesarannya dalam memberikan pengaruh dalam perjalanan bangsa ini.

Salah satu kegiatan untuk mengenang Soeharto adalah peresmian patung Soeharto yang terpajang di lobi utama Universitas Trilogi, Jakarta.

Universitas yang didirikan oleh Yappindo (Yayasan Pengembangan Pendidikan Indonesia) ini juga dikelola oleh sejumlah mantan menteri era Soeharto seperti Subiakto Tjakrawerdaja sebagai Ketua Yappindo, Haryono Suyono, termasuk Titiek Soeharto sebagai Ketua Dewan Pembina Yappindo

Subiakto yang juga mantan Menteri Koperasi dan UKM mengingatkan fakta-fakta kisah sukses Soeharto yang perlu dipahami generasi kekinian.

Ia menggambarkan Soeharto dalam usia 28 tahun berhasil memimpin pasukan merebut Yogyakarta dari Belanda, dikenal sebagai Peristiwa Serangan Umum 1 Maret, memimpin operasi Trikora untuk pembebasan Irian Barat (1961), penumpasan pengkhianatan G30S/PKI (1965) dan hingga terbitlah Supersemar menjadi awal kepemimpinannya sebagai Presiden RI hingga 32 tahun.

Dalam kepemimpinannya, Soeharto juga mendapatkan pengakuan internasional dengan lima piagam penghargaan, salah satu dari Badan Pangan PBB yakni FAO karena Indonesia sukses swasembada beras, hingga akhir Pelita VI (1997).

Haryono Suyono yang pernah menjadi Menko Kesra/Kepala BKKBN juga mengingatkan Program Keluarga Berencana yang diakui PBB sebagai program kesuksesan pemerintahan Orde Baru.

Lalu apa yang sudah dipersiapkan pemerintah dengan pengembangan SDM terampil saat Indonesia mendapatkan bonus demografi yang akan dialami Indonesia pada tahun 2020-2030 jika tanpa perencanaan yang terarah, terukur dan berkelanjutan, tanya Haryono.

Titiek Soeharto menginginkan karya dan prestasi Soeharto bisa menjadi inspirasi seluruh kalangan untuk dapat meneruskan perjuangannya.

Ketua Dewan Pembina Yappindo ini juga mewanti-wanti kepada lulusan dan alumni Universitas Trilogi mewarisi semangat kepemimpinan Soeharto seperti semangat kepemimpinan, "ing ngarso sung tulodo", "ing madyo mangun karso", dan "tut wuri handayani", yang mampu menghadirkan kualitas kepemimpinan Pancasila yang cerdas sehingga dapat beradaptasi dengan perubahan zaman namun tetap santun dan rendah hati.

Sebagai sesama anak bangsa juga harus "fair" jika kebijakan yang sudah dilakukan pemerintahan Soeharto lewat Trilogi Pembangunan sebagai kompasnya pengejawantahan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat waktu itu untuk kebaikan bangsa ini juga perlu ditiru, dijalankan kembali oleh elite negeri agar rakyat sejahtera.

Titiek bahkan menyebutkan bahwa berbagai kebijakan Soeharto dalam memajukan kesejahteraan rakyat masih relevan untuk diterapkan oleh pemerintah pada masa sekarang ini.

"Tak perlu gengsi-gengsian. Lah wong, untuk kebaikan, nggak perlu gengsi. Kalau hanya karena nggak suka Pak Harto, cukup diganti saja namanya," katanya.

Ia juga mencontohkan Vietnam yang terpuruk akibat perang tak berkesudahan pada masa lalu, kini telah bangkit. Negeri itu belajar pertanian dari Indonesia waktu zaman Soeharto, kini malah berswasembada beras, sedangkan Indonesia malah impor beras dari Vietnam.

Soeharto telah membawa bangsa ini maju pada masanya tetapi juga terpuruk pada akhir masa pemerintahannya.

Soeharto dalam pidato saat menyatakan berhenti dari jabatannya pun mengaku sangat sulit bagi dia untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik.

Masa Soeharto memang telah lewat dan kita bisa mengenangnya dengan mengambil hikmah terbaik bagi perjalanan bangsa ini ke depan. Jayalah Republik Indonesia.

Pewarta: Budi Setiawanto
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018