Jakarta (ANTARA News) - Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyoroti permasalahan rantai distribusi komoditas beras di Tanah Air yang dinilai berdampak kepada fluktuasi harga beras yang diperjualbelikan di sejumlah daerah.

"Dalam setiap rantai distribusi, margin laba terbesar dinikmati oleh para tengkulak, pemilik penggilingan padi atau pedagang grosir," kata Kepala Penelitian CIPS Hizkia Respatiadi di Jakarta, Selasa.

Menurut Hizkia Respatiadi, situasi seperti itu dinilai menunjukkan keterlibatan pihak-pihak yang menikmati laba terbesar dalam rantai distribusi justru terjadi saat beras belum sampai di pasar eceran, termasuk pasar tradisional.

Untuk itu, ujar dia, pihaknya juga berargumen bahwa kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) tidak efektif.

Kebijakan itu, lanjutnya, memaksa para pedagang eceran untuk menurunkan harga jual beras, padahal mereka bukanlah pihak yang menyebabkan tingginya harga beras.

"Kebijakan ini juga membuat mereka rugi karena mereka membeli beras dengan harga yang lebih mahal dari HET dari para pedagang grosir," papar Hizkia.

Karena itu, ia mengingatkan bahayanya restriksi impor yang berlebihan terhadap beras, yang tidak diikuti dengan adanya pembenahan rantai distribusi dan sinkronisasi data pangan.

Padahal, menurut dia, pembenahan rantai distribusi sangat memengaruhi harga beras medium.

"Sementara dengan berbedanya data produksi beras antara satu institusi dengan institusi lain membuat keputusan untuk impor tidak bijaksana kalau didasarkan pada data pangan yang sudah ada," ucapnya.

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018