Bogor  (ANTARA News) - Sebanyak 200 peneliti dari sembilan negara di Asia Tenggara berkumpul di Bogor dalam konferensi internasional membahas biologi tropis dengan isu flora dan fauna lokal atau endemis negara tropis.

  Konferensi Internasional berlangsung di  Southeast Asian Ministers of Education Organization (SEAMEO) Biotrop Kota Bogor, Kamis, dan dibuka secara resmi oleh Kepala Pusat Peneliti dan Pengembangan Hutan, Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Kirstiati L Ginoga.

 "Hasil konferensi ini diperlukan pemerintah untuk kebaharuan informasi, kondisi konservasi flora dan fauna kita dari sisi ilmu pengetahuan maupun pengguna, sehingga bisa menghasilkan kebijakan baru yang tidak menghambat upaya konservasi," kata Kirstiati. 

  Menurutnya, sangat penting adanya pertukaran informasi dan ilmu pengetahuan antarpeneliti di Asia Tenggara, sehingga pemerintah mengetahui kondisi di lapangan terkait flora dan fauna adat yang dimiliki Indonesia maupun negara lainnya.

 Selain itu,  kebijakan ini diperlukan untuk menyelaraskan target-target global yang sudah ditetapkan oleh pemerintah dalam bidang konservasi seperti Sustainable Development Goals (SDGs), maupun Convention on Biological Diversity (CBD), dan lainnya.

"Bagaimana pemikiran yang ada di tataran ilmu pengetahuan ini bergerak bersama terintegrasi dengan komitmen global dengan kondisi yang ada di tingkat nasional maupun lokal," kata Kirstiati.

 Direktur SEAMEO Biotrop, Dr Indika Mansur menyebutkan Indonesia memiliki 270 ribu hektare lahan konservasi. Kawasan konservasi Indonesia sangat jauh lebih luas dari Singapura yang memiliki luas hanya 700 meter persegi, atau Brunei Darusallam yang hanya 5.000 km persegi.

  "Artinya kita yang memiliki kawasan konservasi lebih luas dari negara ini, tetapi kenapa mereka lebih kaya dari kita," katanya.

 Menurutnya, keanekaragaman hayati lokal Indonesia cukup besar, tetapi selama ini negara mengekspor sawit, karet dan cokelat yang bukan endemik Indonesia. Sementara beberapa tanaman endemik Indonesia seperti Cendana, Gaharu dan Meranti justru hampir habis.

 Sangat sulit ditemukan pabrik penyulingan cendana di Indonesia, tetapi Australia memiliki lahan pertanian cendana seluas 1.500 ha, dan memiliki pabrik penyulingan terbesar di dunia. "Padahal cendana endemik Indonesia," katanya. 

 Begitu juga dengan Rusa Timur yang pengembangbiakannya hanya sampai di penangkaran, belum meluas ke peternakan. Tetapi di Malaysia, Rusa Timur dijadikan peternakan dan dijual untuk kurban, katanya

Ia memaparkan, semua flora dan fauna lokal Indonesia justru berhasil dikembangkan oleh negara lain, dan memberikan nilai dampak ekonomi yang luas.

Karena itu melalui konferensi internasioanl ini penelitian yang dilakukan sejumlah peneliti di Asia Tenggara ini dapat saling disebarluaskan. 

 Dengan adanya konferensi ini, lanjut Indika, peneliti di Indonesia tidak perlu memulai penelitian dari dasar, tetapi dengan kerja sama antarpeneliti, bisa saling berbagi ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam hal konservasi dan bisa saling melanjutkan. 

"Misalnya kemenyan adanya di Sumatera Utara,  nilai ekspor per tahun Rp1 triliun, dan sampai sekarnag tidak ada peremajaan, butuh waktu 15 tahun untuk dapatkan getahnya. Untuk itu Biotrop bekerja sama dengan universitas Sumatera Utara melakukan penelitian bersama bagaimana mereka mengembangkan agroforestri untuk kemenyan," katanya.

  Deputi Direktur bidang Program SEAMEO Biotrop, Jesus Fernandes menambahkan, konferensi internasional SEAMEO Biotrop ini merupakan yang ketiga kalinya, membahas isu pelestarian, peningkatan, dan pemafaatan berkelanjutan dari flora dan fauna tropis adat.

  "Total ada 200 makalah dan poster yang kita terima, peserta para peneliti dari sembilan negara di antaranya Malaysia, Indoensia, Thailand, Filipina, Hongkong, Banglades, Pakistan, dan Timor Leste," katanya. 

 Ketua Acara Konferensi Internasional SEAMEO Biotrop, Maria Ulfa menambahkan poin utama dari konferensi ini adalah menyamakan persepsi tentang konservasi antara pemerintah, peneliti, pengusaha, dan masyarakat.

  "Intinya masyarakat satu bahasa dengan kita tentang apa itu penangkaran, sehingga muncul kepedulian, mau mengikuti aturan yang ada tentang pemanfaatan flora dan fauna yang kita miliki, demi keberlanjutan," kata Maria. 

Baca juga: Keragaman hayati menghilang lebih cepat dari laju alami
Baca juga: Kebun Raya Bogor jadi kantong keragaman hayati
 

Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018