Ironisnya, Indonesia merupakan negara penghasil mikroplastik terbesar kedua di dunia setelah China. PR (pekerjaan rumah) terkait sampah plastik masih menjadi hal utama di Indonesia
Sebagai salah satu kota terpadat di dunia, Jakarta yang kini dihuni sekitar 11 juta orang, memiliki problematika sebagai dampak dari besarnya angka populasi. Jumlah penduduk yang tinggi serta statusnya sebagai pusat ekonomi, mendorong besarnya produksi sampah di ibukota.

Namun yang mengkhawatirkan ialah sampah anorganik yang terbuat dari plastik, yang kini menjadi sorotan komunitas pemerhati lingkungan di seluruh dunia karena mengancam kesehatan lingkungan secara dramatis.

Penemuan plastik lebih dari 100 tahun lalu merupakan kemajuan iptek yang sekarang sudah menjadi bagian peradaban yang tidak terpisahkan.

Meski begitu, sifat molekul plastik yang kuat membuatnya sulit untuk diurai oleh alam sehingga memerlukan waktu puluhan hingga ratusan tahun agar bisa benar-benar hilang ditelan bumi.

Menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Isnawa Adji saat ditemui dalam sebuah kesempatan, dalam satu hari Jakarta memproduksi sampah sekitar 7.000 ton, dengan 1.900 hingga 2.400 ton di antaranya merupakan sampah plastik.

Lalu ratusan ton di antaranya berada di perairan, baik di sungai-sungai hingga lautan, pungkas Adji menambahkan.

Keberadaan sampah plastik di perairan kerap tidak tertangani dengan baik, terutama di lautan karena terbawa arus hingga tengah laut sehingga tidak mungkin untuk diangkut tenaga kebersihan di darat. Selain itu, populasi sampah plastik di laut juga membahayakan biota laut.

Hewan laut bisa salah mengira bahwa plastik merupakan mangsa mereka, yang akhirnya dikonsumsi dan mengakibatkan kematian karena tidak dapat dicerna.

Bukti peristiwa semacam ini telah banyak terjadi, misalnya penyu yang memakan kantong plastik karena dikira sebagai ubur-ubur yang merupakan salah satu mangsa mereka.

Atau peristiwa yang menggemparkan dunia adalah kasus terdamparnya seekor ikan paus di Selatan Thailand pada bulan Juni, yang setelah diteliti ternyata ditemukan sekitar 80 kantong plastik di dalam perutnya. Bahaya lainnya dari sampah plastik ialah mikroplastik yang masuk ke dalam tubuh manusia.

Ketika berada di lautan dalam jangka waktu lama, plastik akan hancur menjadi partikel berukuran sangat kecil dan mencemari lautan.
Mikroplastik ini bisa masuk ke tubuh manusia melalui dua cara, yaitu dari konsumsi ikan yang terkontaminasi zat tersebut atau mikroplastik yang masuk ke dalam air tanah melalui penguapan air laut pada siklus pembentukan hujan.

"Ironisnya, Indonesia merupakan negara penghasil mikroplastik terbesar kedua di dunia setelah China. PR (pekerjaan rumah) terkait sampah plastik masih menjadi hal utama di Indonesia," kata Adji.

Membentuk Ecoranger

Dalam masalah ini, Kepulauan Seribu berperan sebagai penjaga gawang kawasan pesisir ibu kota.

Pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu, bekerja sama dengan sebuah perusahaan swasta di bidang cat dan pelapis tembok mengukuhkan pembentukan kelompok "Ecoranger" yang akan berperan aktif dalam bantuan penanganan sampah laut terutama plastik.

Sebanyak 15 nelayan lokal dikukuhkan menjadi Ecoranger, mereka berasal dari dua pulau yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Panggang.
Dalam menjalankan tugas mulianya, para Ecoranger tersebut akan mendapatkan pelatihan mulai dari teknik pengecatan menggunakan cat khusus serta pelatihan pengolahan sampah plastik agar memiliki nilai ekonomi dan menambah pemasukan para nelayan tersebut.

"Ecoranger ini akan dilatih sehingga bisa menyampaikan pentingnya menjaga lingkungan kepada masyarakat di Kepulauan Seribu," kata Adji menambahkan.

Ecoranger merupakan konsep kerja sama antara pemda, pihak swasta, dan masyarakat dengan tujuan menanggulangi masalah sampah yang berada di perairan.

Sebelum menjabat sebagai Ecoranger, sejumlah nelayan yang terlibat dalam program ini sudah merasakan dampak buruk dari sampah yang mengapung di laut tempat mereka mencari nafkah.

"Kalau saya yang sering alami itu ya saat cari ikan, sampahnya ikut masuk di jaring. Hasil tangkapan jadi kotor," tutur Yanto, salah seorang Ecoranger yang berasal dari Pulau Panggang, Kepulauan Seribu.

Selain itu, sampah yang bertebaran di perairan sekitar Kepulauan Seribu juga kerap menyebabkan baling-baling kapal nelayan macet akibat tersangkut sampah yang mengapung.

Situasi tersebut menyebabkan nelayan mengalami kerugian waktu dan juga tenaga untuk membuang sampah atau memperbaiki mesin kapal jika kerusakannya cukup parah, katanya menambahkan.

Sikap Bijak

Sebagai bentuk keprihatinan terhadap masalah ini, Adji dan jajarannya sudah berkoordinasi dengan pemerintah pusat untuk melaksanakan gerakan penyadaran akan bahaya sampah plastik.

Kampanye anti-plastik sudah disuarakan kepada masyarakat dengan imbauan tidak menggunakan plastik sekali pakai. Bahkan Pemprov DKI Jakarta ingin meniru Kota Balikpapan dan Banjarmasin yang sudah melarang penggunaan kantong plastik di toko-toko retail.

 "Bukan berarti plastik harus dimusuhi, tapi kita harus lebih bijak dalam penggunaannya," tutur Adji.
 
Bahkan di lingkungan kerjanya, Adji sudah menginstruksikan jajarannya untuk menggunakan botol minum atau tumbler yang bisa dipakai berulang-ulang, serta mengurangi penggunaan plastik pada kemasan makanan. Tidak ketinggalan pula upaya penanganan sampah di Kepulauan Seribu dengan dibangunnya instalasi pengelolaan.

Untuk kawasan Kepulauan Seribu, ada sekitar 40.000 ton sampah yang dihasilkan setiap harinya. Namun rasio terbesar sampah di Kepulauan Seribu justru merupakan sampah kiriman yang berasal dari laut, yang mencapai 60 persen. Sementara sisanya, berasal dari sampah masyarakat Kepulauan Seribu dan juga turis.

Sampah kayu dan plastik menjadi jenis sampah terbanyak di kawasan ini. Meski ada kapal yang unit kapal yang siaga untuk membawa sampah untuk dibawa ke daratan Jakarta, namun Kepulauan Seribu tidak ingin lepas tangan dalam penanganan sampah.
   
Dari sebanyak 23 RW yang ada di Kepulauan Seribu, sudah ada 13 bank sampah yang berfungsi mengelola sampah.
   
Namun menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kepulauan Seribu Yusen Hardiman, angka ini dianggap belum cukup.
"Kami mengejar target ada 20 lebih bank sampah, jadi paling tidak setiap RW punya satu unit pengelola. Tapi yang paling penting adalah mengubah perilaku warga, ini harus pelan-pelan dan sabar," ujar Yusen.

Daya pengelolaan sampah yang masih terbatas, mendorong dinas terkait untuk menyeleksi sampah-sampah yang akan diolah.
Yusen pun lebih menekankan pada upaya pencegahan dengan membangun pemahaman masyarakat.

Selain lebih murah jika dibandingkan dengan biaya operasional instalasi sampah, cara ini diharapkan lebih efektif dalam mengurangi produksi sampah di masa depan. ***4***

Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2018