Namun, saya yakin Indonesia tidak akan seperti Suriah, Afganistan dan Pakistan, asalkan masyarakat melalui sistem demokrasi saat ini mampu mencegah kelompok garis keras dan radikal menang dalam pemilu mendatang."
Gianyar, Bali (ANTARA News) - Beberapa pengamat asing berbicara mengenai Indonesia saat ini dalam "Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2018" yang digelar di Gianyar, Bali, Sabtu.

Pengamat asing itu adalah Sidney Jones, pakar dan peneliti terorisme di Asia Tenggara, Ross Tapsel, seorang dosen Australian National University (ANU) dan Vasuki Shastry, wartawan ekonomi India sekaligus pengamat ekonomi Indonesia dan Singapura.

"Demokrasi di Indonesia telah tumbuh dan berkembang baik setelah reformasi politik dimana ada kebebasan dalam mendirikan partai politik dan kebebasan pers," kata Sidney Jones, dalam sesi diskusi yang digelar UWRF 2018 dengan judul "Indonesia, Outside In".

Sidney mengatakan, dalam perkembangannya, sistem demokrasi Indonesia juga telah melangkah ke pemilihan langsung presiden, gubernur, bupati hingga wali kota.

"Partisipasi masyarakat dalam pemilu dan pilkada relatif tinggi, walaupun di banyak daerah, pemilih kurang kenal dengan calon wakil rakyatnya, tapi kenal calon presidennya, namun mereka merasa punya kewajiban untuk ikut mencoblos," katanya.

"Indonesia dalam hal ini menjadi contoh sistem yang baik di kawasan Asean, dan juga negara yang mayoritas muslim. Islam dan non muslim bisa berjalan berdampingan. Indonesia lebih baik dari Singapura dan Malaysia, bahkan lebih baik dari Mesir dan Turki dalam penerapan demokrasi," kata Sidney lagi.

Namun, demokrasi dan kebebasan pers membuka peluang munculnya kelompok garis keras dan radikal. Banyak teroris internasional merekrut warga Indonesia untuk menjadi teroris.

Banyak aksi teror di Indonesia dan kelompok garis keras terus berkembang dan menguat, hal itu terlihat dalam Pilkada DKI Jakarta tahun 2017.

"Namun, saya yakin Indonesia tidak akan seperti Suriah, Afganistan dan Pakistan, asalkan masyarakat melalui sistem demokrasi saat ini mampu mencegah kelompok garis keras dan radikal menang dalam pemilu mendatang," ujar Sidney.

Sementara itu, dosen ANU Ross Tapsel mengatakan, reformasi politik dan kebebasan pers telah menyebabkan pemilik media massa di Indonesia cenderung oligarki dan memegang kekuasaan dan pengaruh yang lebih besar.

Ia menilai bahwa dalam 10 tahun terakhir terjadinya konglomerasi di industri media akibat adanya digitalisasi produk media.

"Para pemilik media menjadi lebih kaya dan memiliki kekuatan politik lebih besar dari sebelumnya," ujarnya.

"Media massa telah membantu terciptanya identitas nasional. Televisi menjadi simbol sistem ototitarian, dan internet membantu terciptanya demokrasi," tambah Tapsel.

Sedangkan wartawan ekonomi India Vasuki Shastry, sekaligus pengamat ekonomi Indonesia, memuji Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan sekitar 17.000 pulau mampu melewati masa kegelapan pada saat krisis ekonomi-politik tahun 1998.

"Namun dalam waktu 10 tahun, ekonomi Indonesia mampu bangkit. Tahun 2008, ketika krisis ekonomi dunia dan negara Amerika, Eropa, Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi negatif, Indonesia justruh mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi di atas lima persen," katanya.

"Akhirnya Indonesia terpilih sebagai salah satu anggota G20 bersama dengan negara-negara maju di dunia. Presiden Jokowi juga mampu melanjutkan pembangunan ekonomi dan banyak membangun infrastruktur ekonomi yang selama ini menjadi kelemahan ekonomi Indonesia," ujar Vasuki.

Pewarta: Adi Lazuardi
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018