Palu,  (ANTARA News) - Bukan sekedar janji yang diharapkan dari sejumlah politikus di DPRD Sulawesi Tengah kepada para pelaksana pemulihan pascabencana gempa, likuifaksi, tsunami di Kota Palu, Kabupaten Sigi, Donggala dan Parigi Moutong.

Hampir memasuki tiga bulan pascabencana yang menimpa daerah-daerah tersebut, pembangunan yang dilakukan untuk mengembalikan kehidupan korban bencana seperti sebelum kejadian itu menimpa, seakan belum ada kejelasan.

Yang ada justru masalah yang kompleks yang muncul berentetan pascabencana, dari mulai soal pengungsian, kondisi wilayah yang rawan bencana, rencana relokasi, hingga sarana dan prasarana yang masih belum berfungsi normal.

Banyak yang harus ditangani secara serius oleh Pemerintah Provinsi Sulteng pascabencana, di antaranya mulai dari pembangunan kembali hunian sementara bagi para korban, memastikan lokasi relokasi untuk pembangunan hunian tetap, pemulihan infastruktur dan sarana prasarana dasar, pemenuhan pelayanan kesehatan, pendidikan, serta layanan lainnya.

Di samping itu, pemerintah perlu memberdayakan korban di bidang ekonomi untuk membangun kembali atau memperbaiki taraf hidup korban bencana serta membuat perekonomian wilayah bisa kembali berputar. 

Saat gempa, tsunami dan likuifaksi banyak warga yang menderita luka-luka, patah tulang, kehilangan harta benda, kehilangan sanak saudara, kehilangan tempat tinggal dan kehilangan pekerjaan. Kondisi itu menambah beban derita bagi warga korban.

Mengatur ulang segala sarana dan prasarana wilayah serta mengembalikan masyarakat ke kehidupan normal pascabencana, bukanlah pekerjaan sederhana.

Banyak yang harus dilakukan. Tidak hanya berpangku tangan pada pemerintah pusat dan lembaga-lembaga penyantun. Tapi bagaimana berbuat.

Baca juga: Dipercepat, upaya rekonstruksi di Sulteng

Membentuk Pansus

Banyaknya masalah yang muncul dan berentetan pascabencana gempa, tsunami dan likuifaksi, membuat sejumlah elite politik di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulawesi Tengah menaruh perhatian.

Agar penanganan pascabencana tepat sasaran dan berdasar kebutuhan di masyarakat, maka DPRD Sulteng berinisiatif membentuk panitia khusus untuk pengawasan terhadap eksekutif terkait penanganan pascabencana di Sulteng, lewat rapat paripurna pada tanggal 27 November 2018.

Inisiatif itu bermula dari suara Ketua Fraksi Nasional Demokrat Muhammad Masykur. Masykur mengemukakan, pansus jangan hanya bekerja menangani aspirasi pemutihan utang sebagaimana yang berkembang, melainkan juga bekerja untuk memaksimalkan fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintah dalam penanganan pascabencana.

"Jauh lebih penting yakni fungsi-fungsi pengawasan kita pada seluruh kinerja pemerintah atasi masalah pascabencana di daerah ini," kata Masykur.

Awalnya sidang paripurna hanya membahas tentang pembentukan panitia kerja debitur, terkait banyak aspirasi dari korban di tiga daerah yang menuntut penghapusan kredit. Agenda sidang kemudian meluas.

"Jika kita hanya bentuk panja debitur, maka besok lusa aspirasi publik yang masuk soal huntara, maka kita akan bentuk lagi huntara, ada pansus huntara, sampai dengan pansus logistik. Ini inefisiensi," ujar Yahdi Basma, anggota Fraksi NasDem lainnya.

Bagi Yahdi, usulan untuk membentuk pansus tersebut perlu disahuti, karena mustahil pihak eksekutif bisa menangani sendiri tanpa fungsi pengawasan oleh DPRD.

Usul Fraksi NasDem itu mendapat apresiasi dari sejumlah anggota DPRD lain yang menghadiri paripurna, seperti Nyoman Slamet, Lukky Semen dan Bayu Montang.

Wakil Ketua DPRD Sulteng Muharram Nurdin selaku pimpinan sidang kemudian menawarkan opsi bentuk dua pansus sekaligus.

Mayoritas Anggota DPRD yang hadir menyatakan persetujuannya, disambut dengan ketuk palu pimpinan sidang pertanda telah diputuskannya dua pansus tersebut.

Merebaknya gerakan publik di Sulteng tuntut penghapusan utang adalah aspirasi orisinal yang berkembang pascabencana dari FPPH (Forum Perjuangan Pemutihan Hutang).

Namun demikian, ruang lingkup pansus tersebut dinilai terbatas terkait penanganan pascabencana di Sulawesi Tengah.

"Harusnya peran Pansus mengawal dan mengevaluasi rangkaian proses dari sejak tanggap darurat hingga nanti rekonstruksi dan pemulihan," ucap Politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Sulawesi Tengah, Andhika.

Menurut dia, hal itu penting agar publik, terutama korban mengetahui sejauh mana pemerintah daerah mengelola penanganan pascabencana di Kota Palu, Sigi, dan Donggala.

Andika, calon anggota DPR RI ini, menyebutkan ada dua isu krusial menyangkut penanganan bencana. Pertama, soal program dan uang yang digelontorkan para pihak selama proses tanggap darurat.

"Indikator pencapaian dan pemenuhan hak-hak korban siapa yang mengelola?" tanyanya.

Kedua, terkait dengan data kajian studi tata ruang yang akan menjadi sumber rujukan rekonstruksi dan rehabilitasi.

Menurut dia, dua isu itu sangat sensitif karena berkaitan soal manajemen dan dasar hukum penggunaan anggaran.

Bagi dia, setiap tahapan ini harus memiliki manual evaluasi berdasarkan regulasi kebencanaan. Sejauh ini, aspek organisasi lemah koordinasi lemah, distribusi lemah, dan data tidak punya rujukan definitif.

Sampai saat ini, menurut dia, masyarakat tidak mengetahui secara pasti berapa anggaran yang telah digelontorkan selama proses dan tahapan berlangsung, berapa biaya dari APBN, APBD, dan dana-dana hibah yang dikelola oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat.

Ia berharap pansus bisa menjadi jembatan bagi terciptanya transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi.

Dana bantuan, data, dan distribusi, harus ada pertanggungjawabannya. "Semua organisasi perangkat daerah harus dimintai pertanggungjawaban," kata Andhika.

Akademisi Universitas Tadulako Palu Dr Irwan Waris mengapresiasi elite politik yang telah membentuk pansus pengawasan eksekutif terkait penanganan pascabencana.

"Kebetulan banyak pihak yang mau membantu kita. Artinya, mungkin ada uang. Karena itu penting DPRD untuk hadir. Negara harus hadir di tengah-tengah korban untuk memulihkan kesejahteraannya," sebut Irwan.

Dia mengemukakan, DPRD tidak harus menunggu eksekutif menyajikan data dan rencana kerja penanganan pascabencana. Melainkan harus turun langsung ke lapangan melihat kondisi korban agar mengetahui dengan jelas apa yang dibutuhkan.

Sebaliknya, ia meminta pihak eksekutif juga jangan merasa diawasi dengan terbentuknya pansus.

Direktur Pusat Studi Pemilu dan Partai Politik Untad Palu itu mengatakan bila DPRD hanya menunggu, maka elite politik yang tergabung dalam pansus tersebut berpotensi dikelabui eksekutif dalam penanganan pascabencana tiga wilayah terdampak.

Karena itu kata dia, DPRD harus menjadi pemberi solusi kepada eksekutif dalam penanganan pascabencana di Sulteng bila menemui masalah.

Baca juga: Verifikasi santunan korban bencana Sulteng lebih rumit
Baca juga: DPRD Sulteng awasi penanganan pascabencana Palu Sigi Donggala

Bukan Pencitraan

Panitia khusus (pansus) DPRD Sulteng untuk pengawasan eksekutif dalam penanganan pascabencana di Palu, Sigi dan Donggala, membantah jika pansus tersebut merupakan alat pencitraan jelang Pemilu 2019.

"Jika saja bencana ini terjadi pada tanggal 28 September 2014, yakni tiga hari pascapelantikan anggota DPRD Sulteng Periode 2014-2019 maka saya memastikan, pansus pun tetap kami bentuk," ucap Ketua Pansus Pengawasan Eksekutif terkait penanganan pascabencana gempa, likuifaksi dan tsunami, Yahdi Basma.

Jawaban Ketua Pansus Yahdi Basma itu untuk menepis isu bahwa respon DPRD Sulteng membentuk pansus karena adanya momentum politik.

Pansus pengawasan itu terbentuk karena adanya tri-fungsi DPRD yang dimandati oleh undang-undang yakni legislasi, anggaran, dan pengawasan, yang dijalankan dalam kerangka representasi rakyat.

DPRD sebagai lembaga legislatif, merupakan organisasi perimbangan atas kekuasaan eksekutif sebagai unsur penyelenggara pemerintahan.

Wakil Ketua Komisi III DPRD Sulteng Muhammad Masykur menyatakan terlalu subyektif dan sempit jika pembentukan pansus pengawasan terhadap eksekutif itu dipandang sebagai bentuk pencitraan.

"Hanya orang yang merasa terganggu saja yang berpandangan seperti itu. Sebab ini persoalan besar. Bencana 28 September itu membuka mata dan telinga kita bahwa pemerintah daerah yang diberi amanah dan tanggung jawab dalam penanganan bencana belum sepenuhnya memuaskan warga korban," katanya.

Rapat paripurna DPRD Sulteng pada 27 November 2018 memastikan bahwa DPRD Sulteng fokus atas pengawasan terkait seluruh rangkaian kinerja Pemerintah Provinsi Sulteng dalam menyelenggarakan penanggulangan pascabencana.

Pengawasan itu meliputi antara lain aspek kebijakan operasional. Misalkan soal perumusan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) tiga daerah terdampak bencana dan tahapan pembangunan hunian sementara bagi korban.

Hadirnya pansus tampaknya merupakan bentuk kesadaran elite politik di DPRD Sulteng terhadap problem di masyarakat dan karena itu tetap harus diapresiasi.

Masih banyak pekerjaan rumah yang terbengkalai di lapangan yang perlu dikawal bersama terkait masih banyaknya korban yang mengungsi dan belum banyak mengalami perubahan sejak terjadi bencana.

Dukungan dan partisipasi semua pihak sangat diperlukan untuk membantu kerja Pansus Pengawasan Penyelenggaraan Penanganan Bencana 28 September di Sulteng itu.

Baca juga: Pemerintah evaluasi layanan bagi anak korban bencana Sulteng
Baca juga: 30 anak korban bencana Sulteng berhasil direunifikasi

 

Pewarta: Muhammad Hajiji
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018