Jumlah konflik memiliki korelasi dengan beroperasinya perusahaan perkebunan sawit skala besar
Pekanbaru  (ANTARA News) - LSM Scale Up meminta pemerintah membentuk unit khusus menangani resolusi konflik agraria, karena kasus sengketa lahan di Provinsi Riau selama tiga tahun terakhir terus meningkat mencapai 283.277 hektare.  

"Luas keseluruhan lahan yang menjadi sengketa antara masyarakat, perusahaan dan negara selama tiga tahun terakhir adalah 283.277 hektare," kata Direktur Scale Up, M Rawa El Amady dalam pernyataan pers yang diterima Antara di Pekanbaru, Jumat. 

Ia menjelaskan jumlah total konflik lahan di Riau selama periode 2016-2018 adalah 185 kasus. Dari jumlah tersebut, sudah 122 kasus dapat ditangani pemerintah dan 63 kasus belum ditangani. 

Bengkalis adalah kabupaten yang memiliki luas lahan konflik paling tinggi mencapai 83.121 Ha, menyusul Kabupaten Siak (70.320), Pelalawan (52.091), Inhil (44.732) dan Kampar (36.016 ha).

"Jumlah konflik memiliki korelasi kuat antara luas lahan hutan dan beroperasinya perusahaan perkebunan sawit skala besar di daerah tersebut," katanya.

Skema yang ditawarkan oleh Scale Up terkait bentuk kerja Unit Resolusi Konflik Daerah (URKD), adalah lembaga itu bertanggung jawab secara langsung kepada bupati/wali kota, diangkat melalui surat keputusan khusus dan sifat kelembagaannya bersifat Ad hoc.

URKD akan memberikan kajian, penilaian konflik dan layanan mediasi kepada pemerintah kabupaten. 

Unit itu mengkoordinasikan kegiatan resolusi konflik lintas sektor, ke tingkat provinsi hingga nasional. Keanggotaan badan ini bersifat multi pemangku kebijakan (penta helix model) seperti perwakilan masyakat, perusahaan, lembaga keuangan dan pasar, institusi penegak hukum, LSM, media dan akademisi. 

"Fungsi efektif dari sistem terkait tersebut akan memungkinkan tingkat nasional dan provinsi untuk meminta penilaian konflik dan layanan mediasi dari mediator berbasis kabupaten, sedangkan tingkat kabupaten bisa meminta dan menerima bantuan dari tingkat provinsi atau nasional," katanya. 

URKD dinilai penting karena karakteristik konflik agraria bermacam-macam yang terjadi di sektor kehutanan dan perkebunan.

Konflik di sektor kehutanan disebabkan oleh beberapa variabel, di mana tumpang tindih perizinan menjadi yang paling banyak dan tercatat ada 24 kasus.

Kemudian ada akibat tanah adat atau ulayat dan non-ulayat, akses kelola, ganti rugi, alih fungsi, tapal batas, dan okupasi.

Sedangkan karakteristik konflik di sektor perkebunan memiliki dimensi yang sedikit berbeda dibanding permasalahan di sektor kehutanan.

Faktor-faktor yang menjadi penyebab konflik perkebunan antara lain akibat izin bermasalah, penyerobotan lahan, Koperasi Kredit Primer Anggota/ KKPA, perambahan hutan, pencemaran lingkungan, tumpang tindih, ganti rugi, tenaga kerja, dan tanah ulayat.


Baca juga: Pemerintah agar tegas soal moratorium kebun sawit
Baca juga: Perkebunan sawit Riau terluas di Indonesia

Pewarta: Febrianto Budi Anggoro
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019