Surabaya (ANTARA) - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) siap melepas tim ekspedisi Destana (Desa Tangguh Bencana) yang dimulai dari Banyuwangi, Jawa Timur, mulai Jumat, 12 Juli 2019.

"Kenapa Banyuwangi. Karena kami ingin mengingatkan kepada warga bahwa di sana pada 1994 pernah terjadi gempa dan tsunami yang memakan korban lebih dari 250 orang," kata Kepala BNPB Letjen Doni Monardo di sela bertemu Gubernur Jatim di Surabaya, Kamis malam.

Baca juga: BNPB: Perlu uji kelayakan kebencanaan pemindahan ibu kota

Pertemuan keduanya dilangsungkan di ruang kerja Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa di Gedung Negara Grahadi, Jalan Gubernur Suryo sekaligus pemaparan BNPB terkait kegiatan tersebut.

Menurut Doni, pihaknya berharap masyarakat lebih waspada terhadap segala kemungkinan yang terjadi akibat gempa maupun tsunami, terlebih di daerah yang memang rawan dan berpotensi bencana alam.

"Masyarakat juga jangan sampai lupa, sebab peristiwa itu sangat mungkin berulang karena ada siklusnya, tapi kapan bencananya kita tidak tahu. Makanya perlu senantiasa waspada," ucapnya.

Baca juga: BNPB: Ekspedisi Destana Tsunami untuk perkaya literatur kebencanaan

Ekspedisi Destana 2019, kata dia, bukan hanya di Banyuwangi tapi meliputi seluruh desa yang ada di wilayah pesisir selatan Pulau Jawa yang berakhir di Provinsi Banten.

Daerah-daerah yang pernah terjadi gempa dan tsunami seperti di Pangandaran dan Banten akan menjadi prioritas dari tim ekspedisi BNPB.

Total sebanyak 5.744 desa yang ada di seluruh Indonesia rawan terhadap tsunami, dan khusus di selatan Jawa terdapat 584 desa.

"Daerah yang termasuk prioritas bukan hanya dikunjungi, tapi juga akan diberikan edukasi kepada penduduk dan sekalian memberikan pola-pola kesiapsiagaan (mitigasi), sehingga masyarakat tidak perlu takut dan khawatir, yang penting kalau ada kejadian mereka harus tahu bagaimana cara menyelamakan diri," tuturnya.

Baca juga: BNPB siapkan tiga nama pengganti Sutopo

Ia mengingatkan, jika ada gempa besar yang dirasakan oleh penduduk sekitar 30 detik, maka kurang dari tiga menit tanpa ada peringatan dari alarm atau sirine karena mungkin tidak semua desa punya fasilitas itu, mereka harus segera meninggalkan daerah yang rendah ke tempat yang tingginya sekitar 30 meter.

"Jadi gampang mengingatnya, 30 detik kurang dari 30 menit segera menuju tempat yang ketinggiannya 30 meter," katanya.

Kendati demikian, ia mengakui praktik di lapangan banyak ditemui kendala, sebab tidak semua desa memiliki bukit yang tinggi.

"Karena itu kami mengajak masyarakat untuk melihat apa yang ada di sekitar pesisir dan dapat dimanfaatkan, mengingat kecepatan air saat terjadi tsunami bisa hitungannya kurang dari 10 menit untuk mencapai permukiman penduduk," katanya.

BNPB juga melibatkan semua pihak termasuk para ulama, tokoh masyarakat dan budayawan untuk menggali potensi-potensi daerah, sebab setiap daerah tidak sama, sehingga pendekatan-pendekatan ini diharapkan efektif serta membuat masyarakat sadar.

Baca juga: BNPB selenggarakan Ekspedisi Desa Tangguh Bencana Tsunami

Pewarta: Fiqih Arfani
Editor: Eddy K Sinoel
Copyright © ANTARA 2019