Lama mengalami kekosongan kepemimpinan, kini Keraton Tayan telah memiliki figur seorang raja yang terlahir dari keturunan ke-14. Raja baru itu anak bungsu dari Raja XIII, Gusti Ismail bergelar Panembahan Pakunegara yang mangkat 23 November 1967.

Kepemimpinan di Keraton Pakunegara Tayan sempat mengalami kekosongan selama 45 tahun. Itu karena ketika Raja XIII mangkat tidak meninggalkan wasiat menunjuk siapa penggantinya kelak di kemudian hari, ketika ia menutup usia. Otomatis setelah itu, sosok Ratu Tayan, Utin Nursinah Ismail yang tidak lain adalah istri sang raja, menjadi simbol selama hampir setengah abad lamanya.

Kini ketika usia sang Ratu telah mencapai 90 tahun, maka ditunjuk lah pemimpin baru. Dia adalah anak ke 16 atau bungsu dari keturunan Gusti Ismail dan Utin Nursinah. Nama raja baru tersebut Gusti Yusri. Dia lahir di Tayan pada 18 Agustus 1964, atau tiga tahun sebelum ayahnya mangkat.

Acara penobatan pun digelar di Keraton Pakunegara Tayan, pada Sabtu 26 Mei lalu. Ribuan warga setempat tumpah ruah menyambut raja yang terlahir kembali itu. Warga terlihat penuh suka cita. Bagi yang berusia tua tentu tahu sejarah keraton itu. Tetapi bagi yang muda-muda, tentu masih menjadi pertanyaan. Apakah benar di kota penghasil tambang bauksit itu, pernah dipimpin 13 raja sejak 1683 Masehi?
   
Pertanyaan itu terjawab ketika penobatan Raja XIV digelar. Anak ketujuh dari Gusti Ismail bergelar Panembahan Pakunegara, Gusti Ahmadi Abidin yang juga ketua panitia penobatan tersebut, mengisahkan perjalanan sejarah Keraton Pakunegara.

Dia menyebut, di Kota Kecamatan Tayan, pernah berdiri sebuah kerajaan besar dengan kekuasaan meliputi wilayah Tayan, Meliau, Toba, Sosok dan Batang Tarang, antara kurun waktu 1683 hingga 1967 Masehi.

Kerajaan Tayan merupakan perluasan dari Kerajaan Majapahit yang salah satu keturunan dan raja yang memerintah kerajaan, bernama Damar Wulan. Kemudian salah satu keturunan Damar Wulan bernama Brawijaya, datang ke Matan (Ketapang). Selanjutnya keturunan dari Brawijaya datang ke Tayan.

Kepemimpinan keraton ketika itu, secara turun temurun diwarisi anak dan cucu dari pendiri Kerajaan Pakunegara Tayan, Gusti Lekar bin Gusti Dikiri Kusuma yang berkuasa pada 1683 - 1718 Masehi.

Menurut catatan sejarah, Gusti Lekar adalah anak kedua dari Panembahan Dikiri Kusuma dari Kerajaan Matan. Gusti Lekar datang ke Tayan pada tahun 1683 dan mendirikan Kerajaan Tayan yang meliputi wilayah Tayan, Meliau, Toba, Sosok dan Batang Tarang. Maka sekaligus pula Gusti Lekar menjadi raja pertama di Tayan.

Panembahan Gusti Lekar beristrikan seorang anak kepala suku Dayak Tebang bernama Incik Periuk.

Menurut Gusti Ahmadi, raja di kerajaan Tayan merupakan keturunan dari anak cucu Panembahan Gusti Lekar dengan silsilah raja terdiri dari  Gusti Lekar bin Gusti Dikiri Kusuma (1683-1718 Masehi), Gusti Gagok bin Gusti Lekar (1718 -1751), Gusti Ramal bin Gusti Gagok (1751 - 1780), Gusti Kamarudin bin Gusti Ramal (1780 - 1812), Gusti Mekah bin Gusti Kamarudin (1812 -1825), Gusti Repa bin Gusti Kamarudin (1825 - 1828), Utin Blondo binti Gusti Repa (1828 - 1855), Gusti Inding binti Ratu Utin Blondo (1855 - 1873), Gusti  Karma binti Ratu Utin Blondo (1873 - 1880), Gusti Muhammad Ali bin Gusti Karma  (1880 - 1905), Gusti Tamdjid bin Gusti Muhammad Ali (1905 - 1929), Gusti Dja'far bin Gusti Tamdjid (1929-1944), Gusti Ismail bin Gusti Tamdjid (1944 - 1967).

Masih menurut Gusti Ahmadi, pada zaman penjajahan Jepang tahun 1929-1944, Panembahan Gusti Dja'far yakni Raja XII Tayan dan para petinggi kerajaan Tayan tewas karena mempertahankan kedaulatan dan berjuang melawan Jepang. Peristiwa itu dikenal dengan sebutan Peristiwa Mandor.

Saat itu daerah Tayan khususnya dan Kalbar umumnya kehilangan sejumlah tokoh. Maka sebagai pewaris tahta kerajaan dinobatkan Gusti Ismail adik dari Gusti Dja'far, sebagai Raja Tayan XII dengan gelar Panembahan Pakunegara. Baik Gusti Dja'far maupun Gusti Ismail merupakan anak dari Raja Tayan XI Gusti Tamdjid yang berkuasa pada 1905- 1929.

Pada masa Panembahan Gusti Ismail menjadi Raja Tayan, memasuki zaman kemerdekaan.

"Beliau mengemban tugas sebagai kepala pemerintahan swapraja, juga mengemban tugas dari pemerintah pusat sebagai Wedana Tayan yang meliputi wilayah kecamatan Tayan Hilir, Meliau, Toba, Balai dan Tayan Hulu," kata Gusti Ahmadi Abidin.

Dengan wafatnya Gusti Ismail pada 23 November 1967, praktis terjadi kekosongan kepemimpinan di Keraton Pakunegara Tayan. "Sehingga baru saat inilah kita melakukan penobatan raja berikutnya," katanya.

    
Restu ibunda  
   
Gusti Yusri yang merupakan anak bungsu Gusti Ismail, dipilih oleh ibunda Ratu Utin Nursinah Ismail untuk melanjutkan kepemimpinan dari sisa-sisa peninggalan sejarah Keraton Pakunegara. Ia dinilai ibunya layak menggantikan posisi almarhum ayahnya, meski masih ada 15 anak dari Panembahan Pakunegara lainnya.

Gusti Yusri sehari-hari bekerja dan menetap di Pontianak. Ia General Manager pada Harian Kapuas Post, dari grup Pontianak Post. Koran daerah yang berjaringan dengan Jawa Post Grup. Sebelum menjadi GM, Gusti Yusri adalah Pemimpin Redaksi pada Harian Kapuas Post. Ia juga berlatar belakang seorang wartawan tulis pada Harian Pontianak Post.

Sehingga ketika dinobatkan sebagai Raja Tayan, di antara ratusan tamu dan undangan yang hadir, berderet rekan kerja, kolega, kenalan dan handai taulan yang mengenal cukup dekat sosok Gusti Yusri yang berperawakan sedang itu.

Gusti Yusri menikahi seorang perempuan dari Kota Pontianak bernama Haryani. Pasangan itu dikaruniai lima anak yang kesemuanya putri. Kelima anaknya itu, juga tinggal bersama dengannya di Pontianak.

Prosesi penobatannya sebagai Raja XIV Tayan sekaligus pemberian gelar sebagai Panembahan Anom Paku Negara dilakukan langsung ibunda Ratu Utin Nursinah Ismail.

Ribuan orang duduk dan berdiri di bawah tenda-tenda yang dipasang mengelilingi halanan keraton. Mereka tampak antusias menyaksikan langsung penobatan tersebut.

Penobatan itu juga disaksikan sejumlah raja dan sultan dari perhimpunan kerajaan/keraton nusantara. Di antara mereka ada Ketua Umum Yayasan Raja Sultan Nusantara, Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin dari Keraton Kesultanan Palembang Darussalam, Ketua Majelis Perhimpunan Kerajaan/Keraton Nusantara Kalbar, Gusti Suryansyah, para raja, sultan, dan pangeran ratu dari 11 keraton di Kalbar, para bupati dan wali kota se-Kalbar, Sultan Bonabulu Tapanuli, Ratu Anis dari Negeri Kelantan.

Juga tampak hadir Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kalbar, Yusri Zainuddin, Wakil Kepala Polda Kalbar Kombes Pol Safaruddin, wakil Pangdam XII Tanjungpura, beberapa anggota DPR RI dan DPRD Kalbar, para pengusaha pertambangan yang beroperasi di kota Tayan dan lain sebagainya.

Sebagai raja baru, Gusti Yusri telah meminta restu ibundanya. Ia meminta restu Ratu Tayan, Hj Utin Nursinah Ismail untuk melestarikan budaya tradisi keraton Pakunegara Tayan setelah selama 45 tahun kepemimpinan di keraton tersebut kevakuman.

Ungkapan permohonan restu tersebut disampaikan Gusti Yusri Panembahan Anom Paku Negara seusai penobatannya.

Gusti Yusri menyatakan bahwa Keraton Tayan mengemban amanah mengembangkan dan melestarikan tradisi di keraton itu.

Menurut Raja yang sehari-hari disapa Yusri tersebut, penobatannya sebagai Raja Tayan XIV merupakan kehormatan sekaligus sebagai amanah. Dia menganggap penobatan itu sebagai anugerah yang tiada terhingga.

Namun dia mengakui, penobatan itu bukan berarti menghidupKan tradisi pemerintahan lokal. Tetapi sebagai revitalisasi budaya dan kearifan lokal di Tayan. Karena itu, dia meminta restu ibunda yang sudah menobatkannya sebagai Raja Tayan XIV, untuk melestarikan budaya dan nilai-nilai luruh dari keraton tersebut.

Menurut Yusri, Raja Tayan XIII mangkat pada 23 November 1967, maka praktis sejak itu tidak ada kekuasaan lokal ke kerajaan Tayan.

"Bekas Kerajaan Tayan kini hadir di nusantara, mengemban amanah mengembangkan tradisi," katanya. Keratonnya pun masih berdiri megah dengan tiang-tiang kayu belian yang kokoh menancap di tanah negeri kaya bauksit itu.

Menurut dia, dalam sejarahnya Negeri Tayan menghadapi pasang dan surut kebudayaan. Meski dalam catatan sejarah, Tayan bukanlah negeri yang kecil, tapi pada masa lampau sangat besar.

Ia menyatakan kerajaan Tayan penuh dengan nuansa gender, karena salah satu pemimpinnya adanya seorang Ratu, pada 1828 - 1855 Masehi, yakni Ratu Utin Blondo Binti Gusti Repa. Dan dalam masa kekosongan kepemimpinan selama 45 tahun, bekas Kerajaan Tayan masih memiliki simbol pemimpin seorang perempuan.

Simbol itu yakni Ratu Utin Nursinah. Dia sosok yang telah melahirkan dan merawat seorang Gusti Yusri hingga besar. Kini di usia senja, sang Ratu mengangkat Gusti Yusri menjadi raja baru bagi Keraton Pakunegara. Raja yang terlahir kembali.



Pewarta: Nurul Hayat

Editor : Nurul Hayat


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012