Jakarta (ANTARA Kalbar)- Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Hajriyanto Y Thohari merasakan kehilangan atas meninggalnya  Moeslim Abdurahman yang dinilainya sebagai "petualang" intelektual yang memperkenalkan paradigma "teologi Al-ma'un".

"Sejak pulang dari Amerika Serikat setelah lulus Ph.D di bidang Antropologi dari The University of Illinois pada tahun 1990-an, Moeslim memang benar-benar menjadi petualang intelektual," kata Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Thohari di Jakarta, Sabtu.

Moeslim Abdurahman meninggal pada hari Jumat malam sekitar pukul 19.50 WIB di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

Lebih lanjut Hajriyanto mengaku sangat sedih dan sangat kehilangan dengan kepergian Mas Dr. Moeslim Abdurrahman, seorang aktivis yang luar biasa baik. Menurut Hajriyanto,terasa terlalu cepat orang yang sangat baik ini dipanggil Tuhan.

Hajriyanto menyebutkan Moeslim Abdurrahman adalah seorang putra Muhammadiyah yang sangat inklusif, yang bisa bergaul rapat dengan siapa saja. Dia tambahnya orang yang sangat terbuka, yang saking terbukanya pemikirannya sering dituding sebagai Muhammadiyah liberal.

Hajriyanto menjelaskan sejak pulang dari Amerika Serikat setelah lulus Ph.D di bidang Antropologi dari The University of Illinois pada tahun 1990-an, Moeslim memang benar-benar menjadi petualang intelektual.

"Berpindah-pindah dan meloncat-loncat dari satu bidang kegiatan ke bidang kegiatan yang lain. Bahkan juga beberapa tahun di lapangan politik, yaitu PAN," kata Hajriyanto.  

Moeslim lah yang  membimbing anak-anak muda Muhammadiyah dengan caranya sendiri yang sangat unik dan inkonvensional.

"Tidak banyak yang tahu bahwa sebetulnya Mas Moeslimlah yang berada di balik dinamika anak-anak muda Muhammadiyah yang tergabung dalam Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)," kata Hajriyanto.

Moeslim, tambahnya,  juga memperkenalkan paradigma "teologi Al-ma'un" yang mengambil inspirasi bagaimana KH Ahmad Dahlan dulu mengajarkan surat Al-Ma'un dalam Al-Qur'an.

Hajriyanto menjelaskan teologi al-Ma'un itu, singkatnya, merupakan pemahaman agama yang lebih mementingkan praksis dalam menyantuni orang-orang miskin dan kelompok yang terpinggirkan. Bukan gerakan Islam yang dengan gegap gempita lebih mementingkan upacara-upacara untuk pencitraan, seperti mementingkan seremonial-seremonial yang serba gegap gempita tapi setelah itu tidak ada bekasnya: "gone with the wind" seperti yang menjadi kecenderungan gerakan-gerakan Islam konvensional sekarang ini.

"Mengapa harus berpindah dari Surat Al-Ma'un ke surat yang lain dalam Al-Qur'an kalau isi surat Al-Ma'un yang memerintahkan menyantuni anak yatim dan orang miskin itu belum diamalkan ?," kata Hajriyanto.

Hajriyanto menjelaskan manifestasi dari keberpihakannya kepada kaum terpinggirkan tampak sekali ketika bersama-sama merintis pembentukan Majlis Buruh, Tani dan Nelayan PP Muhammadiyah periode 2000-2005.

"Dia orang yang sangat getol dan gigih baik dalam kerja-kerja intelektual maupun dalam kerja-kerja praksis memberdayakan kaum buruh, tani dan nelayan melalui gerakan Muhammadiyah," katanya.

Menurut Hajriyanto, almarhum Moeslim bukan hanya tertarik pada gerakan intelektual, melainkan juga gerakan praksis.

(J004)

Pewarta:

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012