Magelang (ANTARA Kalbar) - Panggilan sahur hari pertama puasa Ramadhan  berkumandang dari Masjid Almu'in di kampung itu sekitar pukul 03.00 WIB.

Selang sekitar 10 menit sekali, panggilan serupa melalui pelantang berulang terdengar.

 Perempuan bernama Nani Rohmiyati yang isteri kepala dusun setempat itu pun bangun dari peraduan, lalu bergegas menuju dapur rumah di dekat masjid itu di Dusun Wonolelo, Desa Bandongan, Kecamatan Bandongan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Pagi dini hari itu, ia menyiapkan menu sahur untuk keluarganya, berupa nasi dengan tumis "telur ceplok"  sewadah sayur kuluban, lauk kerupuk dan bakwan, serta seduhan teh hangat untuk suaminya, Pangadi dan gadis remaja mereka, Dian Panca.

Sejumlah warga mendaraskan Al Quran di masjid setempat, sedangkan lainnya terutama para pemuda, pemudi, dan sejumlah anak berkumpul di depan Sanggar Wonoseni Bandungan yang dipimpin Kadus Pangadi. Bangunan sanggar itu menempati satu ruangan di rumah kadus setempat.

Warga setempat berjumlah sekitar 400 kepala keluarga dengan sekitar 600 jiwa, sedangkan anggota sanggar kesenian berjumlah sekitar 65 orang.

Beberapa bentuk kesenian mereka antara lain musik "Madyo Pitutur" dan "Rebana", tarian "Topeng Ireng", "Soreng", dan "Tirto Kencono".

Belasan mereka memulai memainkan tabuhan musik kentung-kentung menyemarakkan waktu yang dianggapnya istimewa pada hari pertama puasa Ramadhan 1433 Hijriah.

Mereka memainkan performa tabuhan musik itu menimpali panggilan sahur dari masjid setempat.

Sebatang bambu jenis ampel sepanjang sekitar 10 meter dengan 23 lubang suara mereka tabuh bersama-sama dengan memainkan irama yang khas.


Sejumlah pemuda lainnya menabuh belasan kentung-kentung berukuran lebih kecil.

Tembang berbahasa Jawa berjudul "Ngelingke Sahur" (Mengingatkan Saat Sahur) yang inti syairnya mengajak warga bangun tidur untuk sahur pun mereka  lantunkan. Para penabuh musik pengajak sahur itu mengenakan baju lurik.

"Sahur sahur podho sahur a, wis wayah e sahur. Ngurmatana wulan Ramadhan. Wis wayah e sahur'," begitu tembang Jawa itu mereka lantunkan berulang-ulang dengan iringan alat musik lainnya berupa kendang, bende, tambur, dan drum.

Dari depan sanggar kesenian yang berhiaskan sejumlah patung, topeng kayu, dan instalasi belasan nyala lilin dengan masing-masing dibalut gedebok pisang itu, mereka kemudian prosesi jalan kaki sambil mengusung kentung-kentung ukuran panjang melewati jalan-jalan kampung setempat.

Sejumlah anak  berselempang kain sarung mengikuti prosesi itu sambil membawa beberapa obor.

Warga lainnya seakan menghias suasana dini hari di kampung itu dengan menyulut petasan di jalan beraspal Dusun Wonolelo yang masih lengang dari lalu lalang pengendara kendaraan.

Sementara warga lainnya bergerombol di berdiri di beberapa tempat di kiri dan kanan jalan kampung untuk menyaksikan prosesi pengajak sahur tersebut.

"Sedherek-sedherek, sapunika sampun jam setengah sekawan. Monggo-monggo sahur' (Saudara-saudara, saat ini pukul 03.30 WIB. Silakan sahur, red.)," demikian suara ajakan sahur yang terdengar melalui pelantang masjid setempat.

Saat sahur masyarakat setempat pada hari pertama puasa, Sabtu (21/7) itu hingga pukul 04.24 WIB atau bertepatan dengan waktu imsak. Beberapa saat sebelum tiba waktu imsak, anggota seniman sanggar itu telah tiba kembali di sanggar mereka.

Mereka masih memainkan tabuhan musik pengajak sahur dengan beberapa kali lantunan tembang pengiringnya di dalam sanggar tersebut, sebelum kemudian dilanjutkan dengan makan sahur.

Pada saat itu, Kadus Pangadi bersama isterinya, Nani Rohmiyati dan putri remajanya, Dian Panca pun menyantap bersama menu sahur di satu ruangan lainnya di rumah sederhana tersebut.

Ketua Kelompok Kesenian Sanggar Wonoseni Bandongan Slamet Witono mengatakan, secara khusus pada hari pertama puasa Ramadhan 1433 Hijriah, anggotanya mengemas panggilan sahur untuk masyarakat setempat melalui tabuhan kentung-kentung berukuran panjang. Lazimnya kentung-kentung sekitar 40 centimeter dengan satu lubang suara.

"Untuk hari pertama puasa ini, kami kemas panggilan sahur melalui tabuhan 'kentongan' (kentung-kentung, red.) oleh kawan-kawan sanggar ini," katanya.

Pangadi mengatakan, Ramadhan sebagai momentum istimewa masyarakat setempat antara lain karena di kampungnya terbangun suasana puasa. Hal itu tentunya berbeda dengan aktivitas masyarakat kampung itu pada hari-hari biasa.

"Warga tetap beraktivitas seperti biasa, ada yang bertani, berjualan, buruh, pekerja kantor. Akan tetapi, ada suasana religi yang lebih kuat ketimbang hari-hari biasa di dusun kami ini, karena ada kegiatan keagamaan yang lebih kental di masjid seperti tarawih dan tadarus, juga kultum (kuliah tujuh menit)," katanya.  

Sedangkan kelompok seniman kampung itu memang terlihat ingin membuat suasana hari pertama puasa Ramadhan 1433 Hijriah masyarakat setempat, menjadi berbeda ketimbang tahun-tahun sebelumnya, yakni melalui performa seni tabuhan kentung-kentung Wonoseni sebagai pengajak sahur.

(M029)

Pewarta: M. Hari Atmoko

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012