Pontianak (Antara) - Yosef B Badeoda kuasa hukum Haryanto Sanusi menyatakan, proses hukum distributor larutan penyegar merek Kaki Tiga oleh Kepolisian Resor Kota Pontianak terhadap kliennya terkesan superkilat sehingga janggal.
"Akibatnya, Markas Besar Polri menurunkan tim Propam untuk menindaklanjuti laporan masyarakat terkait adanya upaya kriminalisasi bisnis dalam perang merek larutan penyegar antara Wen Ken Drug Co Ltd Singapura dengan PT Sinde Budi Sentosa produsen larutan Kaki Tiga," kata Yosef Badeoda di Pontianak, Selasa.
Yosef menjelaskan, kasus kriminalisasi terhadap kliennya tersebut berawal dari laporan Eddy Hermanto yang menjadi kuasa Tjioe Budi Yuwono, Direktur Utama PT Sinde Budi Sentosa ke Polresta Pontianak dengan tuduhan memperdagangkan dan memproduksi merek orang lain.
"Laporan itu tanpa proses panjang sebagaimana prosedur standar pengusutan sebuah kasus langsung ditindaklanjuti, sehingga dalam waktu sangat singkat, klien saya langsung ditetapkan sebagai tersangka," ungkapnya.
Yosef mengatakan, Hermanto diketahui membuat laporan polisi No. LP/1182/III/2013/Kalbar/Resta Pontianak Kota,tanggal 13 Maret 2013, kemudian pada hari yang sama, petugas kepolisian membuat berita acara pemeriksaan (BAP) terhadap pelapor.
"Ternyata pada hari yang sama polisi menerbitkan surat perintah penyidikan (SP Sidik) yang artinya sudah ada tersangka dalam perkara ini," katanya.
Atas laporan itu, pada hari yang sama Polresta Pontianak atas pelaporan pihak Budi Yuwono, polisi langsung menerbitkan surat perintah tugas melakukan penangkapan, penyitaan dan penggeledahan. "Hari itu juga gudang dan toko milik Haryanto digeledah dan seluruh barang disita," kata Yosef.
Kemudian atas laporan itu, polisi memeriksa dan meminta keterangan saksi-saksi dari pihak PT Kinocare Era Kosmetindo, pemegang lisensi produksi dan pemasaran Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga di Indonesia, pemilik toko Jamu Segar dan Toko Sinar Mutiara.
Serta saksi ahli merek dan Direktorat Merek dan Cipta, Ditjen HKI serta akademisi. "Salah satu rekomendasi saksi ahli mengatakan tidak ada tindak pidana dalam perkara ini," kata Yosef.
Yosef menyatakan, polisi tidak mempertimbangkan masukan saksi ahli itu, karena terhitung sejak 30 Maret 2012, Polresta Pontianak telah menetapkan Haryanto sebagai tersangka. "Dilihat dari rangkaian waktunya memang janggal," ujarnya.
Yosef menambahkan, berbagai kejanggalan lain yang dialami kliennya, seperti Haryanto belum pernah diminta sekalipun keterangan sebagai saksi, kedua tidak cukup waktu penyelidikan yang dilakukan oleh polisi sehingga mengabaikan azas praduga tidak bersalah bagi terlapor, ketiga sejak awal terlihat dengan jelas adanya "koordinasi" yang dilakukan antara saksi pelapor dengan penyidik yang ditunjukkan semua proses pelaporan hingga penyitaan bisa tuntas dalam satu hari.
"Ada proses yang tidak fair dan cenderung agar kasus ini bisa segera P21 atau masuk pengadilan, sehingga terkesan Haryanto Sanusi dijadikan target sebagai tersangka sulit untuk dielakkan," kata Yosef.
Sementara itu, Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Kalbar, Ajun Komisaris Besar (Pol) Mukson Munandar menyatakan, proses hukum terhadap suatu laporan tidak bisa langsung terlapor ditetapkan sebagai tersangka.
"Harusnya terlapor dipanggil atau diperiksa sebagai saksi, dan harus ada gelar perkara dulu, bukan langsung menetapkan sebagai tersangka. Kalau itu yang terjadi pasti ada kesalahan atau kekeliruan yang dilakukan oleh penyidik," ungkapnya.
Mukson menjelaskan, harusnya pihak penyidik melakukan gelar perkara atas laporan itu, sehingga bisa diketahui apakah kasus itu masuk ranah pidana atau perdata. "Kalau ranah perdata dipulangkan, kalau pidana diproses," ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Kabid Humas Polda Kalbar menyatakan, pihaknya akan mempelajari dulu kasus dugaan kriminalisasi yang ditudingkan oleh kuasa hukum Haryanto Sanusi.
(U.A057/M019)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013
"Akibatnya, Markas Besar Polri menurunkan tim Propam untuk menindaklanjuti laporan masyarakat terkait adanya upaya kriminalisasi bisnis dalam perang merek larutan penyegar antara Wen Ken Drug Co Ltd Singapura dengan PT Sinde Budi Sentosa produsen larutan Kaki Tiga," kata Yosef Badeoda di Pontianak, Selasa.
Yosef menjelaskan, kasus kriminalisasi terhadap kliennya tersebut berawal dari laporan Eddy Hermanto yang menjadi kuasa Tjioe Budi Yuwono, Direktur Utama PT Sinde Budi Sentosa ke Polresta Pontianak dengan tuduhan memperdagangkan dan memproduksi merek orang lain.
"Laporan itu tanpa proses panjang sebagaimana prosedur standar pengusutan sebuah kasus langsung ditindaklanjuti, sehingga dalam waktu sangat singkat, klien saya langsung ditetapkan sebagai tersangka," ungkapnya.
Yosef mengatakan, Hermanto diketahui membuat laporan polisi No. LP/1182/III/2013/Kalbar/Resta Pontianak Kota,tanggal 13 Maret 2013, kemudian pada hari yang sama, petugas kepolisian membuat berita acara pemeriksaan (BAP) terhadap pelapor.
"Ternyata pada hari yang sama polisi menerbitkan surat perintah penyidikan (SP Sidik) yang artinya sudah ada tersangka dalam perkara ini," katanya.
Atas laporan itu, pada hari yang sama Polresta Pontianak atas pelaporan pihak Budi Yuwono, polisi langsung menerbitkan surat perintah tugas melakukan penangkapan, penyitaan dan penggeledahan. "Hari itu juga gudang dan toko milik Haryanto digeledah dan seluruh barang disita," kata Yosef.
Kemudian atas laporan itu, polisi memeriksa dan meminta keterangan saksi-saksi dari pihak PT Kinocare Era Kosmetindo, pemegang lisensi produksi dan pemasaran Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga di Indonesia, pemilik toko Jamu Segar dan Toko Sinar Mutiara.
Serta saksi ahli merek dan Direktorat Merek dan Cipta, Ditjen HKI serta akademisi. "Salah satu rekomendasi saksi ahli mengatakan tidak ada tindak pidana dalam perkara ini," kata Yosef.
Yosef menyatakan, polisi tidak mempertimbangkan masukan saksi ahli itu, karena terhitung sejak 30 Maret 2012, Polresta Pontianak telah menetapkan Haryanto sebagai tersangka. "Dilihat dari rangkaian waktunya memang janggal," ujarnya.
Yosef menambahkan, berbagai kejanggalan lain yang dialami kliennya, seperti Haryanto belum pernah diminta sekalipun keterangan sebagai saksi, kedua tidak cukup waktu penyelidikan yang dilakukan oleh polisi sehingga mengabaikan azas praduga tidak bersalah bagi terlapor, ketiga sejak awal terlihat dengan jelas adanya "koordinasi" yang dilakukan antara saksi pelapor dengan penyidik yang ditunjukkan semua proses pelaporan hingga penyitaan bisa tuntas dalam satu hari.
"Ada proses yang tidak fair dan cenderung agar kasus ini bisa segera P21 atau masuk pengadilan, sehingga terkesan Haryanto Sanusi dijadikan target sebagai tersangka sulit untuk dielakkan," kata Yosef.
Sementara itu, Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Kalbar, Ajun Komisaris Besar (Pol) Mukson Munandar menyatakan, proses hukum terhadap suatu laporan tidak bisa langsung terlapor ditetapkan sebagai tersangka.
"Harusnya terlapor dipanggil atau diperiksa sebagai saksi, dan harus ada gelar perkara dulu, bukan langsung menetapkan sebagai tersangka. Kalau itu yang terjadi pasti ada kesalahan atau kekeliruan yang dilakukan oleh penyidik," ungkapnya.
Mukson menjelaskan, harusnya pihak penyidik melakukan gelar perkara atas laporan itu, sehingga bisa diketahui apakah kasus itu masuk ranah pidana atau perdata. "Kalau ranah perdata dipulangkan, kalau pidana diproses," ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Kabid Humas Polda Kalbar menyatakan, pihaknya akan mempelajari dulu kasus dugaan kriminalisasi yang ditudingkan oleh kuasa hukum Haryanto Sanusi.
(U.A057/M019)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013