Pontianak (Antara Kalbar) - Kalangan anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat meminta oknum penyidik kepolisian yang melakukan kriminalisasi terhadap Haryanto Sanusi, distributor Larutan Cap Kaki Tiga di Pontianak, agar ditindak tegas.
Anggota Komisi Hukum DPR RI Taslim Chanigo mengatakan, para petugas kepolisian yang terbukti melanggar dalam proses penyidikan harus diberikan sanksi keras.
"Pimpinan kepolisian harus memberikan sanksi yang berat kepada oknum penegak hukum yang melakukan kriminalisasi terhadap distributor Larutan Cap Kaki Tiga di Pontianak," kata politikus PKS yang dihubungi di Pontianak, Senin.
Menurut dia, selain sanksi organisasi kepolisian, diperlukan juga sanksi melalui pengadilan umum atau masyarakat karena adanya tindakan pidana.
Senada dengan Taslim, anggota Komisi Hukum DPR RI Syarifuddin Suding juga meminta agar penyidik kepolisian yang diduga telah melakukan kriminalisasi terhadap kasus Cap Kaki Tiga di Pontianak dihukum berat. "Harus ada tindakan tegas dari Divisi Propam jika ditemukan unsur-unsur kelalaian dalam penyidikan," tegasnya.
Dia menandaskan tindakan tegas, seperti hukuman penundaan kenaikan pangkat, bisa diberikan supaya jadi pembelajaran bagi kepolisian agar dalam bertugas tidak berdasarkan pesanan ataupun tekanan dari pihak tertentu. "Ini jadi pembelajaran supaya penyidik dalam bertugas tidak berdasarkan pesanan sehingga terjadi kriminalisasi," ujar dia.
Sebelumnya, Mabes Polri menurunkan tim Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) ke Polres Pontianak yang menyidik Haryanto Sanusi, pekan lalu. Penyidikan ini karena adanya kejanggalan penanganan kasus hukum yang menimpa Haryanto yang saat itu ditangani Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polresta Pontianak Komisaris (Pol) Puji Prayitno dan sebagai Kepala Polresta Pontianak Komisaris Besar (Pol) Muharrom Riyadi.
Kuasa hukum Haryanto Sanusi, Yosef B Badeoda, menjelaskan, kasus kriminalisasi terhadap kliennya berawal dari laporan Eddy Hermanto yang menjadi kuasa Tjioe Budi Yuwono, Direktur Utama PT Sinde Budi Sentosa ke Polresta Pontianak dengan tuduhan memperdagangkan dan memproduksi merek orang lain.
"Laporan itu tanpa proses semestinya. dalam waktu sangat singkat, klien saya langsung ditetapkan sebagai tersangka," jelas dia.
Menurut Yosef, Hermanto diketahui membuat laporan polisi No.LP/1182/III/2013/Kalbar/Resta Pontianak Kota, tanggal 13 Maret 2012, kemudian pada hari yang sama, petugas kepolisian membuat berita acara pemeriksaan (BAP) terhadap pelapor.
"Ternyata pada hari yang sama polisi menerbitkan surat perintah penyidikan (SP Sidik) yang artinya sudah ada tersangka dalam perkara ini," tukasnya.
Pengamat hukum Boyamin Saiman menambahkan, sanksi yang bisa diberikan pada penyidik dan Kapolresta tidak hanya sanksi penundaan kenaikan jabatan saja. "Harusnya termasuk tidak boleh lagi bertugas dibidang serse (Penyidik Kriminal) karena terbukti salahgunakan kewenangan," tegas dia.
Pasalnya, tindakan penyidik itu menyangkut nasib seseorang jadi tersangka dan ditahan. "Kalau urusan bisnis mestinya perdata atau niaga dimana polisi tidak bisa masuk tangani perkaranya," tandas dia.
Oleh karena itu, sanksinya lebih berat. Jika pimpinan Polresta bisa dicopot jabatannya dan otomatis tidak bisa ikut jenjang pendidikan lanjutan termasuk Sespim maupun Sespati.
"Kalau lihat kasusnya, Kapolrestanya harusnya kena, dipending rencana ikut pendidikan," katanya.
Dia menegaskan, dalam banyak kasus bisnis, sudah bukan rahasia lagi polisi akan masuk karena ada pesanan dari pihak tertentu.
"Itu selalu melibatkan uang. Kalau soal beking, sudah rahasia umum polisi bekingi pengusaha yang nakal trus korbannya pengusaha baik," tegas dia.
Taslim menambahkan sebagai penegak hukum, kepolisian seharusnya tidak melakukan pelanggaran kriminalisasi kepada pihak lain dikarenakan mereka merupakan penegak hukum yang semestinya menegakkan hukum dan bukannya melanggar hukum.
Apabila terdapat pelanggaran hukum yang dilakukan pihak kepolisian maka sanksi harus ditegakkan sehingga mendapatkan keadilan bagi seluruh masyarakat.
"Bahkan oknum kepolisian ini dapat diadili dalam pengadilan umum, namun melalui proses pengadilan militer atau kepolisian terlebih dahulu," ujarnya.
Dia melanjutkan pelanggaran yang dilakukan penegak hukum ini merupakan pelanggaran kode etik yang harus ditangani dengan serius oleh pihak kepolisian. Sanksinya bisa berupa penurunan pangkat atau bisa saja dicopot dari jabatannya. Sanksi internal dari pihak kepolisian harus tegas dan keras kepada pelaku kriminalisasi ini supaya tidak akan terjadi kejadian ini dikemudian hari.
"Kepolisian selaku penegak hukum seharusnya menegakkan hukum dan bukannya melanggar hukum dan dibutuhkan sanksi yang berat terhadapnya," ujar dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013
Anggota Komisi Hukum DPR RI Taslim Chanigo mengatakan, para petugas kepolisian yang terbukti melanggar dalam proses penyidikan harus diberikan sanksi keras.
"Pimpinan kepolisian harus memberikan sanksi yang berat kepada oknum penegak hukum yang melakukan kriminalisasi terhadap distributor Larutan Cap Kaki Tiga di Pontianak," kata politikus PKS yang dihubungi di Pontianak, Senin.
Menurut dia, selain sanksi organisasi kepolisian, diperlukan juga sanksi melalui pengadilan umum atau masyarakat karena adanya tindakan pidana.
Senada dengan Taslim, anggota Komisi Hukum DPR RI Syarifuddin Suding juga meminta agar penyidik kepolisian yang diduga telah melakukan kriminalisasi terhadap kasus Cap Kaki Tiga di Pontianak dihukum berat. "Harus ada tindakan tegas dari Divisi Propam jika ditemukan unsur-unsur kelalaian dalam penyidikan," tegasnya.
Dia menandaskan tindakan tegas, seperti hukuman penundaan kenaikan pangkat, bisa diberikan supaya jadi pembelajaran bagi kepolisian agar dalam bertugas tidak berdasarkan pesanan ataupun tekanan dari pihak tertentu. "Ini jadi pembelajaran supaya penyidik dalam bertugas tidak berdasarkan pesanan sehingga terjadi kriminalisasi," ujar dia.
Sebelumnya, Mabes Polri menurunkan tim Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) ke Polres Pontianak yang menyidik Haryanto Sanusi, pekan lalu. Penyidikan ini karena adanya kejanggalan penanganan kasus hukum yang menimpa Haryanto yang saat itu ditangani Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polresta Pontianak Komisaris (Pol) Puji Prayitno dan sebagai Kepala Polresta Pontianak Komisaris Besar (Pol) Muharrom Riyadi.
Kuasa hukum Haryanto Sanusi, Yosef B Badeoda, menjelaskan, kasus kriminalisasi terhadap kliennya berawal dari laporan Eddy Hermanto yang menjadi kuasa Tjioe Budi Yuwono, Direktur Utama PT Sinde Budi Sentosa ke Polresta Pontianak dengan tuduhan memperdagangkan dan memproduksi merek orang lain.
"Laporan itu tanpa proses semestinya. dalam waktu sangat singkat, klien saya langsung ditetapkan sebagai tersangka," jelas dia.
Menurut Yosef, Hermanto diketahui membuat laporan polisi No.LP/1182/III/2013/Kalbar/Resta Pontianak Kota, tanggal 13 Maret 2012, kemudian pada hari yang sama, petugas kepolisian membuat berita acara pemeriksaan (BAP) terhadap pelapor.
"Ternyata pada hari yang sama polisi menerbitkan surat perintah penyidikan (SP Sidik) yang artinya sudah ada tersangka dalam perkara ini," tukasnya.
Pengamat hukum Boyamin Saiman menambahkan, sanksi yang bisa diberikan pada penyidik dan Kapolresta tidak hanya sanksi penundaan kenaikan jabatan saja. "Harusnya termasuk tidak boleh lagi bertugas dibidang serse (Penyidik Kriminal) karena terbukti salahgunakan kewenangan," tegas dia.
Pasalnya, tindakan penyidik itu menyangkut nasib seseorang jadi tersangka dan ditahan. "Kalau urusan bisnis mestinya perdata atau niaga dimana polisi tidak bisa masuk tangani perkaranya," tandas dia.
Oleh karena itu, sanksinya lebih berat. Jika pimpinan Polresta bisa dicopot jabatannya dan otomatis tidak bisa ikut jenjang pendidikan lanjutan termasuk Sespim maupun Sespati.
"Kalau lihat kasusnya, Kapolrestanya harusnya kena, dipending rencana ikut pendidikan," katanya.
Dia menegaskan, dalam banyak kasus bisnis, sudah bukan rahasia lagi polisi akan masuk karena ada pesanan dari pihak tertentu.
"Itu selalu melibatkan uang. Kalau soal beking, sudah rahasia umum polisi bekingi pengusaha yang nakal trus korbannya pengusaha baik," tegas dia.
Taslim menambahkan sebagai penegak hukum, kepolisian seharusnya tidak melakukan pelanggaran kriminalisasi kepada pihak lain dikarenakan mereka merupakan penegak hukum yang semestinya menegakkan hukum dan bukannya melanggar hukum.
Apabila terdapat pelanggaran hukum yang dilakukan pihak kepolisian maka sanksi harus ditegakkan sehingga mendapatkan keadilan bagi seluruh masyarakat.
"Bahkan oknum kepolisian ini dapat diadili dalam pengadilan umum, namun melalui proses pengadilan militer atau kepolisian terlebih dahulu," ujarnya.
Dia melanjutkan pelanggaran yang dilakukan penegak hukum ini merupakan pelanggaran kode etik yang harus ditangani dengan serius oleh pihak kepolisian. Sanksinya bisa berupa penurunan pangkat atau bisa saja dicopot dari jabatannya. Sanksi internal dari pihak kepolisian harus tegas dan keras kepada pelaku kriminalisasi ini supaya tidak akan terjadi kejadian ini dikemudian hari.
"Kepolisian selaku penegak hukum seharusnya menegakkan hukum dan bukannya melanggar hukum dan dibutuhkan sanksi yang berat terhadapnya," ujar dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013