Jakarta (Antara Kalbar) - Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan berjanji untuk mempermudah pemanfaatan gaharu hasil budidaya guna mendukung kebijakan rehabilitasi lahan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan.
Ketika menghadiri peringatan 100 Tahun penelitian dan pengembangan kehutanan Indonesia di Bogor, Kamis menteri menyatakan, pemanfaatan hasil hutan dari kegiatan penanaman selayaknya dibedakan dengan yang berasal dari hutan alam.
"Seharusnya pengangkutan gaharu hasil budidaya tidak boleh dipersulit," katanya.
Merujuk pemanfaatan komoditas kayu tanaman yang lebih mudah dibandingkan dengan kayu dari hutan alam, Menhut menyatakan, kemudahan yang diberikan nantinya diharapkan bisa mendorong masyarakat untuk lebih giat menanam pohon penghasil gaharu.
Hal itu, tambahnya, dipastikan akan mendukung kebijakan rehabilitasi lahan kritis yang kini dijalankan pemerintah, apalagi, potensi ekonomi dari gaharu ini cukup besar karena harganya mahal.
Gaharu banyak dimanfaatkan di negara-negara Timur Tengah dan China untuk aromaterapi dan pembuatan dupa. Harga gaharu kualitas gubal bisa mencapai Rp300 juta per kilogram.
Saat ini pemanfaatan komoditas berbau harum itu diatur melalui Peraturan Pemerintah No.8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.447/2003.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka pengangkutan gaharu harus menggunakan dokumen Surat Angkutan Tumbuhan dan Satwa sehingga mereka yang memperdagangkan gaharu juga mesti mengantongi izin sebagai pengedar tumbuhan dan satwa.
Sementara pemanfaatannya masih dibatasi kuota yang ditetapkan oleh LIPI, sebagai otoritas ilmiah konvensi internasional perdagangan tumbuhan dan satwa liar (CITES).
Gaharu saat ini memang masih dimasukan dalam Apendiks II CITES yang membuat perdagangannya mesti diatur melalui kuota, hal itu untuk mempertahankannya kelestariannya di alam karena keberadaannya di alam dinilai menghkhawatirkan.
Menhut menyatakan dengan telah ditemukannya teknologi inokulasi jamur fusarium yang bisa menghasilkan gaharu dari pohon yang ditanam, maka perlu dicarikan solusi kemudahan pemanfaatan gaharu sebagai insentif bagi mereka yang sudah melakukan penanaman.
Teknologi inokulasi penghasil gaharu tersebut dikembangkan oleh Badan Litbang kemenhut sejak tahun 1984 dan telah dipatenkan pada tahun 2012.
Mahmudin Sani, petani gaharu dari Forum Gaharu Sumatera Utara menyatakan masyarakat saat ini berbondong-bondong menanam pohon penghasil gaharu karena menjanjikan keuntungan. Dari setiap pohon berumur 7 tahun yang ditanam bisa menghasilkan gaharu senilai Rp2 juta.
"Dalam satu hektare bisa ditanam 2.000-2.500 pohon. Itu berarti potensi pendapatan petani bisa mencapai Rp4 miliar per hektare," katanya.
Kemenhut menerima pemasukan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari perdagangan tumbuhan dan satwa liar sebesar Rp4,901 miliar yang mana sebanyak Rp1,07 miliar atau 21,9 persen berasal dari perdagangan gaharu filatia sementara gaharu malacensis berkontribusi sebesar Rp659,1 juta atau 13,3 persen.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013
Ketika menghadiri peringatan 100 Tahun penelitian dan pengembangan kehutanan Indonesia di Bogor, Kamis menteri menyatakan, pemanfaatan hasil hutan dari kegiatan penanaman selayaknya dibedakan dengan yang berasal dari hutan alam.
"Seharusnya pengangkutan gaharu hasil budidaya tidak boleh dipersulit," katanya.
Merujuk pemanfaatan komoditas kayu tanaman yang lebih mudah dibandingkan dengan kayu dari hutan alam, Menhut menyatakan, kemudahan yang diberikan nantinya diharapkan bisa mendorong masyarakat untuk lebih giat menanam pohon penghasil gaharu.
Hal itu, tambahnya, dipastikan akan mendukung kebijakan rehabilitasi lahan kritis yang kini dijalankan pemerintah, apalagi, potensi ekonomi dari gaharu ini cukup besar karena harganya mahal.
Gaharu banyak dimanfaatkan di negara-negara Timur Tengah dan China untuk aromaterapi dan pembuatan dupa. Harga gaharu kualitas gubal bisa mencapai Rp300 juta per kilogram.
Saat ini pemanfaatan komoditas berbau harum itu diatur melalui Peraturan Pemerintah No.8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.447/2003.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka pengangkutan gaharu harus menggunakan dokumen Surat Angkutan Tumbuhan dan Satwa sehingga mereka yang memperdagangkan gaharu juga mesti mengantongi izin sebagai pengedar tumbuhan dan satwa.
Sementara pemanfaatannya masih dibatasi kuota yang ditetapkan oleh LIPI, sebagai otoritas ilmiah konvensi internasional perdagangan tumbuhan dan satwa liar (CITES).
Gaharu saat ini memang masih dimasukan dalam Apendiks II CITES yang membuat perdagangannya mesti diatur melalui kuota, hal itu untuk mempertahankannya kelestariannya di alam karena keberadaannya di alam dinilai menghkhawatirkan.
Menhut menyatakan dengan telah ditemukannya teknologi inokulasi jamur fusarium yang bisa menghasilkan gaharu dari pohon yang ditanam, maka perlu dicarikan solusi kemudahan pemanfaatan gaharu sebagai insentif bagi mereka yang sudah melakukan penanaman.
Teknologi inokulasi penghasil gaharu tersebut dikembangkan oleh Badan Litbang kemenhut sejak tahun 1984 dan telah dipatenkan pada tahun 2012.
Mahmudin Sani, petani gaharu dari Forum Gaharu Sumatera Utara menyatakan masyarakat saat ini berbondong-bondong menanam pohon penghasil gaharu karena menjanjikan keuntungan. Dari setiap pohon berumur 7 tahun yang ditanam bisa menghasilkan gaharu senilai Rp2 juta.
"Dalam satu hektare bisa ditanam 2.000-2.500 pohon. Itu berarti potensi pendapatan petani bisa mencapai Rp4 miliar per hektare," katanya.
Kemenhut menerima pemasukan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari perdagangan tumbuhan dan satwa liar sebesar Rp4,901 miliar yang mana sebanyak Rp1,07 miliar atau 21,9 persen berasal dari perdagangan gaharu filatia sementara gaharu malacensis berkontribusi sebesar Rp659,1 juta atau 13,3 persen.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013