Jakarta (Antara Kalbar) - Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup menandatangani Konvensi Minamata yang merupakan upaya penanggulangan dampak merkuri sebagai pencemar global dan untuk tidak mengulangi tragedi kemanusian akibat pencemaran merkuri di Teluk Minamata, Jepang.

"Belajar dari tragedi pencemaran dari merkuri di Minamata, saatnya bangsa Indonesia menaruh perhatian yang sangat serius terhadap penggunaan merkuri di Indonesia," kata Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Kamis.

Penandatanganan Konvensi Minamata itu dilakukan oleh delegasi dari 121 negara di Kumamoto, Jepang.

Hal itu dilaksanakan setelah empat tahun proses negosiasi perjanjian internasional merkuri yang dimulai dengan persetujuan para menteri lingkungan sedunia di Nairobi pada 2009 untuk mengurangi dampak merkuri sebagai pencemar global.

Balthasar menjelaskan Konvensi Minamata mengatur tentang perdagangan produk merkuri dan prosesnya, pertambangan emas skala kecil, pengelolaan limbah merkuri, pendanaan penanggulangan dampak pencemaran merkuri, dan transfer teknologi.

Ia mengatakan tragedi kemanusiaan yang terjadi di Teluk Minamata akibat ketidakhati-hatian industri dan pemerintah merupakan pelajaran yang berharga dalam pengelolaan lingkungan dan kesehatan manusia.

Pencemaran metil merkuri akibat air limbah dari pabrik kimia PT Chisso telah mengubah kehidupan di Teluk Minamata. Tragedi itu terjadi akibat masyarakat mengonsumsi hasil laut yang mengandung metil merkuri yang menyebabkan penyakit Minamata akibat akumulasi metil merkuri di dalam tubuh.

"Penyakit Minamata menyerang sistem saraf yang tidak hanya menyebabkan penderitaan dan kematian korban, tetapi juga mewariskan dampak kepada anak-anak yang dilahirkan dalam keadaan cacat," jelasnya.

"Penyakit Minamata itu dapat terjadi di mana saja, termasuk di Indonesia, khususnya akibat kecerobohan manusia," lanjutnya.

Oleh karena itu, kata dia, Indonesia harus segera mengurangi bahkan menghilangkan penggunaan merkuri pada kegiatan industri, termasuk yang digunakan pada pertambangan emas skala kecil.

"Apalagi, sejak beberapa tahun terakhir, pertambangan emas skala kecil yang menggunakan merkuri semakin marak di Indonesia, seperti di Solok (Sumatera Barat), Pongkor (Jawa Barat), Sekotong (NTB), Katingan (Kalimantan Tengah)," ungkapnya.

Selain itu, kata Balthasar, Indonesia sebagai negara kepulauan sangat rawan terhadap perdagangan merkuri yang ilegal.

Menurut dia, keikutsertaan Indonesia untuk menandatangani Konvensi Minamata adalah bentuk tanggung jawab pemerintah untuk melindungi masyarakat, tidak hanya untuk generasi sekarang, namun juga untuk generasi yang akan datang.

"Selain itu, diperlukan kolaborasi dengan berbagai negara lainnya berkaitan dengan pertukaran informasi, pengalaman, teknologi dan pendanaan," katanya.

Balthasar menambahkan, di samping kerjasama dengan negara-negara lain, penanganan pencemaran akibat merkuri juga perlu melibatkan berbagai kementerian dan instansi, pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat.

"Kita tidak boleh main-main dengan bahaya merkuri. Saat ini mungkin belum terlihat dampak merkuri pada kesehatan masyarakat kita. Namun, mengingat seriusnya dampak akibat merkuri kepada kesehatan manusia maka diharapkan tragedi Minamata tidak terulang lagi," ujar Menteri Lingkungan Hidup itu.

Pewarta: Yuni Arisandy

Editor : Nurul Hayat


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013