Jakarta (Antara Kalbar) - Komite Aksi Jaminan Sosial mengusulkan kepada pemerintah agar "provider" rumah sakit/klinik Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan harus ditambah kerja samanya dengan pihak swasta.
"Khusus untuk pekerja swasta yang membayar iuran, mestinya tidak hanya menggunakan 'provider' rumah sakit umum daerah (RSUD), Puskesmas, dan rumah sakit pemerintah saja," kata Sekjen Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) Said Iqbal di Jakarta, Jumat.
Ia menjelaskan bahwa termasuk yang dituntut pekerja swasta kepada BPJS Kesehatan adalah adanya regulasi yang mengatur koordinasi manfaat antara asuransi kesehatan komersial/swasta dengan BPJS Kesehatan.
Hal itu, katanya, berkenaan dengan "upgrade" manfaat dan perluasan "provider" RS/klinik karena iuran jaminan kesehatan (Jamkes) pekerja swasta yang dibayarkan pengusaha nilainya sudah di atas iuran BPJS Kesehatan 4,5 persen.
Said Iqbal mengatakan bahwa ketika semua permasalahan itu disampaikan KAJS kepada direktur utama dan direksi BPJS Kesehatan pada rapat 15 Januari 2014, mereka mengatakan siap untuk membuat regulasi koordinasi manfaat "upgrade" manfaat dan "provider" bagi pekerja swasta yang pengusahanya sudah membayar iuran Jamkes di atas 4,5 persen.
Malahan, katanya, Dirut juga berjanji akan memastikan janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa tidak boleh ada lagi RS/klinik menolak orang miskin berobat.
Atas penjelasan itu, kata dia, KAJS memberi waktu sampai akhir Januari bahwa masalah ini selesai.
Menurut Said Iqbal yang juga Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), KAJS meminta kesungguhan pemerintah dalam menjalankan program jaminan kesehatan seluruh rakyat melalui BPJS Kesehatan tidak sebatas "lip service" saja.
Karena faktanya, kata dia, di lapangan masih banyak orang miskin yang ditolak berobat di RS/klinik, di mana mayoritas peserta JPK Jamsostek tidak bisa berobat di RS/Klinik biasanya, dan pasien BPJS kesehatan dibatasi obatnya.
Untuk itu, KAJS mendesak Presiden SBY memenuhi ucapannya di Istana Bogor pada 31 Desember 2013 yang mengatakan per 1 Jan 2014 tidak boleh ada lagi orang miskin yang ditolak berobat
di RS.
Tetapi faktanya, kata dia, masih ada 10,3 juta orang miskin tidak masuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan tidak juga dicakup Jamkesda.
Karena itu, kata dia, Presiden SBY harus menambah anggaran PBI menjadi 96,7 juta-100,8 juta orang miskin.
Dalam memperjuangkan aspirasinya, katanya, pada 12 Februari mendatang, sebanyak lebih dari 50 ribu buruh KAJS akan aksi di istana dan kantor gubernur di seluruh Indonesia.
Selain itu, juga akan melakukan gugatan warga negara (citizen law suit) agar 100,8 juta orang miskin tercakup PBI, demikian Said Iqbal.
(Zita Meirina)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014
"Khusus untuk pekerja swasta yang membayar iuran, mestinya tidak hanya menggunakan 'provider' rumah sakit umum daerah (RSUD), Puskesmas, dan rumah sakit pemerintah saja," kata Sekjen Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) Said Iqbal di Jakarta, Jumat.
Ia menjelaskan bahwa termasuk yang dituntut pekerja swasta kepada BPJS Kesehatan adalah adanya regulasi yang mengatur koordinasi manfaat antara asuransi kesehatan komersial/swasta dengan BPJS Kesehatan.
Hal itu, katanya, berkenaan dengan "upgrade" manfaat dan perluasan "provider" RS/klinik karena iuran jaminan kesehatan (Jamkes) pekerja swasta yang dibayarkan pengusaha nilainya sudah di atas iuran BPJS Kesehatan 4,5 persen.
Said Iqbal mengatakan bahwa ketika semua permasalahan itu disampaikan KAJS kepada direktur utama dan direksi BPJS Kesehatan pada rapat 15 Januari 2014, mereka mengatakan siap untuk membuat regulasi koordinasi manfaat "upgrade" manfaat dan "provider" bagi pekerja swasta yang pengusahanya sudah membayar iuran Jamkes di atas 4,5 persen.
Malahan, katanya, Dirut juga berjanji akan memastikan janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa tidak boleh ada lagi RS/klinik menolak orang miskin berobat.
Atas penjelasan itu, kata dia, KAJS memberi waktu sampai akhir Januari bahwa masalah ini selesai.
Menurut Said Iqbal yang juga Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), KAJS meminta kesungguhan pemerintah dalam menjalankan program jaminan kesehatan seluruh rakyat melalui BPJS Kesehatan tidak sebatas "lip service" saja.
Karena faktanya, kata dia, di lapangan masih banyak orang miskin yang ditolak berobat di RS/klinik, di mana mayoritas peserta JPK Jamsostek tidak bisa berobat di RS/Klinik biasanya, dan pasien BPJS kesehatan dibatasi obatnya.
Untuk itu, KAJS mendesak Presiden SBY memenuhi ucapannya di Istana Bogor pada 31 Desember 2013 yang mengatakan per 1 Jan 2014 tidak boleh ada lagi orang miskin yang ditolak berobat
di RS.
Tetapi faktanya, kata dia, masih ada 10,3 juta orang miskin tidak masuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan tidak juga dicakup Jamkesda.
Karena itu, kata dia, Presiden SBY harus menambah anggaran PBI menjadi 96,7 juta-100,8 juta orang miskin.
Dalam memperjuangkan aspirasinya, katanya, pada 12 Februari mendatang, sebanyak lebih dari 50 ribu buruh KAJS akan aksi di istana dan kantor gubernur di seluruh Indonesia.
Selain itu, juga akan melakukan gugatan warga negara (citizen law suit) agar 100,8 juta orang miskin tercakup PBI, demikian Said Iqbal.
(Zita Meirina)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014