Jakarta (Antara) - Sosiolog Universitas Nasional (Unas) Nia Elvina, M.Si menegaskan bahwa pemimpin Indonesia masa depan harus punya "grand design" untuk mengeliminasi ketimpangan.
"Baik itu ketimpangan ekonomi, sosial dan politik," katanya di Jakarta, Jumat.
Mengulas tentang kepemimpinan pasca-Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ia menyatakan bahwa wujud dari upaya dimaksud adalah berupa keberpihakan yang sungguh-sungguh kepada kelas bawah, seperti petani dan nelayan.
Dikemukakannya bahwa dengan banyaknya peristiwa banjir dan tanah longsor serta gagalnya panen dari petani serta nelayan tidak bisa melaut, pemimpin pasca-SBY harus bisa memikirkan ulang strategi pembangunan Indonesia.
Terbukti, kata dia, pendekatan pembangunan selama ini yang sangat berpihak kepada para pemodal besar atau kelas atas, semakin membuat ketimpangan sosial, ekonomi dan politik semakin tinggi.
Jika dikaji, kata dia, banjir, tanah longsor, dan dampaknya pada gagalnya panen petani, ini merupakan dampak dari diberikannya lisensi yang besar-besaran kepada kaum bermodal ini untuk mengekploitasi hutan secara besar-besaran.
"Di satu sisi mereka menikmati keuntungan yang besar, namun di sisi lain masyarakat kelas bawah, yang menanggung akibat dari ketamakan mereka," kata anggota Kelompok Studi Perdesaan Universitas Indonesia (UI) itu.
Menurut dia, kajian lingkungan tidak pernah dilakukan secara sungguh-sungguh.
Ia juga menyorot terjadi manipulasi data antara para pemilik modal dengan para birokrat yang mengeluarkan lisensi.
"Saya kira kepemimpinan pasca-SBY, harus 'consern' terlebih dahulu memperbaiki ketimpangan struktur yang masih sangat tajam di negara kita ini," kata Sekretarris Program Sosiologi Unas itu.
Disebutkannya bahwa calon presiden (Capres) yang muncul saat ini dinilai masih sangat terjebak pada isu-isu mikro.
Menurut dia, Presiden AS Barack Obama dalam pidato tahunan saja masih berusaha dan berkomitmen penuh untuk mengurangi ketimpangan sosial, ekonomi dan politik di negaranya.
"Artinya, negeri 'Paman Sam' itu masih bergelut pada strategi meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Atau dengan kata lain bagaimana mengurangi kemiskinan," demikian Nia Elvina.
(E.S. Syafei)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014
"Baik itu ketimpangan ekonomi, sosial dan politik," katanya di Jakarta, Jumat.
Mengulas tentang kepemimpinan pasca-Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ia menyatakan bahwa wujud dari upaya dimaksud adalah berupa keberpihakan yang sungguh-sungguh kepada kelas bawah, seperti petani dan nelayan.
Dikemukakannya bahwa dengan banyaknya peristiwa banjir dan tanah longsor serta gagalnya panen dari petani serta nelayan tidak bisa melaut, pemimpin pasca-SBY harus bisa memikirkan ulang strategi pembangunan Indonesia.
Terbukti, kata dia, pendekatan pembangunan selama ini yang sangat berpihak kepada para pemodal besar atau kelas atas, semakin membuat ketimpangan sosial, ekonomi dan politik semakin tinggi.
Jika dikaji, kata dia, banjir, tanah longsor, dan dampaknya pada gagalnya panen petani, ini merupakan dampak dari diberikannya lisensi yang besar-besaran kepada kaum bermodal ini untuk mengekploitasi hutan secara besar-besaran.
"Di satu sisi mereka menikmati keuntungan yang besar, namun di sisi lain masyarakat kelas bawah, yang menanggung akibat dari ketamakan mereka," kata anggota Kelompok Studi Perdesaan Universitas Indonesia (UI) itu.
Menurut dia, kajian lingkungan tidak pernah dilakukan secara sungguh-sungguh.
Ia juga menyorot terjadi manipulasi data antara para pemilik modal dengan para birokrat yang mengeluarkan lisensi.
"Saya kira kepemimpinan pasca-SBY, harus 'consern' terlebih dahulu memperbaiki ketimpangan struktur yang masih sangat tajam di negara kita ini," kata Sekretarris Program Sosiologi Unas itu.
Disebutkannya bahwa calon presiden (Capres) yang muncul saat ini dinilai masih sangat terjebak pada isu-isu mikro.
Menurut dia, Presiden AS Barack Obama dalam pidato tahunan saja masih berusaha dan berkomitmen penuh untuk mengurangi ketimpangan sosial, ekonomi dan politik di negaranya.
"Artinya, negeri 'Paman Sam' itu masih bergelut pada strategi meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Atau dengan kata lain bagaimana mengurangi kemiskinan," demikian Nia Elvina.
(E.S. Syafei)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014