Pontianak (Antara Kalbar) - Penerapan jurnalisme warga melalui media online atau jejaring sosial maupun radio komunitas, jika dikelola dengan baik akan efektif mendukung pemerintah mengatasi ancaman disintegrasi atau hilangnya keutuhan dan persatuan bangsa di perbatasan Indonesia dengan negara tetangga.

"Jika bicara efektivitas, saya rasa efektif, karena mereka (pelaku jurnalisme warga) adalah mereka yang langsung berada di tempat yang memiliki potensi disintegrasi bangsa," kata Direktur Lembaga Pengkajian dan Studi Arus Informasi Regional (LPS AIR) Kalbar, Deman Huri Gustira, di Pontianak, Kamis.

Setelah diskusi jurnalis bertema "Jurnalisme Warga" kerja sama USAID-Kinerja dan Jurnalis Perempuan Khatulistiwa (JPK) itu, ia mengatakan keunggulan dari jurnalisme warga adalah berada di lapisan masyarakat terpencil, dekat dengan perbatasan yang tidak terjangkau oleh media mainstream.

Mereka dapat menginformasikan situasi atau kondisi yang terjadi di perbatasan melalui media yang ada baik secara online maupun lewat radio komunitas.

Sejauh ini, kebanyakan dari pelaku jurnalisme warga tersebut menyampaikan keluhan-keluhan mengenai kondisi infrastruktur ataupun pelayanan publik di tempat tinggal mereka. Begitu pula yang disampaikan pelaku jurnalisme warga di daerah perbatasan.

"Pelaporan mengenai kondisi pelayanan publik yang ada di sana," katanya.

Saat ini, menurut dia lagi, LPS AIR sebagai mitra kerja dari USAID-Kinerja telah mengembangkan jurnalisme warga di lima daerah meliputi Kota Singkawang, Kabupaten Bengkayang, Sambas, Sekadau dan Melawi.

Dua dari lima kawasan itu, memiliki daerah perbatasan. Jurnalisme warga di sana berjalan cukup optimal. Pelaku jurnalisme warga di antaranya adalah pedagang, petani dan pelajar. "Kebanyakan dari mereka adalah pelajar," katanya lagi.

Biasanya ada inisiatif dari mereka untuk minta kamera guna memotret aktivitas di perbatasan, misalnya kegiatan perdagangan di Serian, wilayah distrik di Sarawak, Malaysia Timur.

Dari sekitar 75 warga yang dilibatkan dalam jurnalisme warga tersebut, sekitar 25 orang produktif.

Mereka mempublikasikan informasi yang didapat baik berupa tulisan maupun potret gambar, melalui media online seperti laman matakalbar.com, facebook jurnalisme warga, twitter, hingga blogger.

Namun selain itu, LPS AIR juga aktif mengelola jurnalisme warga melalui media radio komunitas. Radio komunitas ini tersebar di daerah yang berbatasan yang juga langsung bersentuhan dengan warga dari negara tetangga, Malaysia.

Ada 40 radio komunitas yang masih hidup dan tumbuh dari binaan lembaga tersebut, bahkan kini sedang ada kerja sama dengan perpustakaan daerah di 13 lokasi radio komunitas.

Lokasi yang paling dekat dengan perbatasan yakni di Kota Sambas, Kabupaten Sambas dan di Kecamatan Lanjak, Kabupaten Kapuas Hulu.

Sementara untuk radio komunitas bantuan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) untuk daerah perbatasan meliputi Paloh, Galing, Sajingan, Jagoi Babang, Entikong, Jasa, Sekura, atau sekitar 17 lokasi, saat ini memprihatinkan kondisinya, bahkan sebagian dikabarkan sudah tidak beroperasional lagi.

"Kesalahan pemerintah, memberikan peralatan tetapi ditinggalkan tanpa ada pembinaan. Kasih alat, tetapi tidak ada listrik," katanya, sembari menambahkan ada alat yang dititipkan begitu saja di kantor kecamatan tetapi tidak ada yang mengelolanya.

Pada beberapa tempat masih aktif karena dikelola pihak yang memang memiliki minat, seperti di Jasa, perbatasan Kabupaten Sintang dan di Paloh, Kabupaten Sambas. Tetapi di Sekura (Sambas) tidak berfungsi, katanya.

Radio komunitas di Kalbar, selain dibangun secara individu (orang per orang), dan ada dari bantuan Kemenkominfo, juga ada sekitar 27 radio komunitas bantuan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang kini kondisinya tidak diketahui.

"Apakah masih operasional atau tidak,dan dimana titik-titiknya, saya tidak tahu," kata aktivis yang `concern` (peduli) terhadap isu media tersebut.

Pewarta: Nurul Hayat

Editor : Nurul Hayat


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014