Bangkok (Antara/AFP) - Kudeta militer di Thailand yang diumumkan oleh kepala angkatan bersenjata negara tersebut pada Kamis lalu memicu kecaman dari sejumlah negara dan organisasi internasional.
Junta yang dipimpin oleh Jenderal Prayut Chan-ocha membatalkan sejumlah undang-undang, melarang perkumpulan yang dihadiri lebih dari lima orang, dan memerintahkan sejumlah pemimpin partai yang berseteru untuk melapor kepada pihak militer pada pukul 10.00 WIB, Jumat.
Tindakan militer tersebut kemudian dikecam sejumlah negara besar seperti Amerika Serikat, Prancis, dan Uni Eropa.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry mengatakan bahwa kudeta militer tidak dapat dibenarkan dan akan membawa "dampak negatif" terhadap hubungan Washington-Bangkok.
Dia mendesak Thailand untuk menggelar "pemilu dini yang mencerminkan kehendak rakyat. Di sisi lain, Pentagon mengatakan sedang meninjau kembali kerja sama militer dengan sekutu di Asia Tenggaranya itu.
Sementara itu Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon "sangat prihatin" terhadap kudeta. Dia mendesak dikembalikannya "kekuasaan demokratis sipil berdasarkan konstitusi".
Krisis politik di Thailand sebenarnya sudah dimulai sejak 2006 lalu saat pihak militer menggulingkan mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra dari jabatannya. Sejak saat itu, dua kubu politik yang diwakili oleh keluarga Shinawatra di satu sisi bertarung berebut kekuasaan dengan blok pendukung keluarga raja yang dekat dengan militer.
Sejumlah pengamat menilai krisis di Thailand sebagai pertarungan untuk memutuskan siapa yang akan memimpin negara tersebut ketika kekuasaan Raja Bhumibol Adulyadej yang sudah berusia 86 tahun berakhir.
Selama beberapa bulan terakhir, pendukung keluarga raja melakukan serangkaian demonstrasi untuk menjatuhkan pemerintahan yang terpilih secara demokratis dan dipimpin oleh saudara perempuan Thaksin, Yingluck Shinawatra.
Yingluck sendiri dipaksa mengundurkan diri dari jabatannya pada awal bulan ini oleh keputusan pengadilan atas dugaan kelalaian dalam kebijakan subsidi petani.
Sebagian pengamat mengkhawatirkan krisis akan terus berlanjut setelah kudeta terbaru.
"Kudeta bukan merupakan solusi untuk mengakhiri krisis. Tindakan mereka menunjukkan bahwa militer tidak pernah belajar dari peristiwa 2006 (saat Thaksin digulingkan)," kata pengamat dari Universitas Tokyo, Pavin Chachavalpongpun.
Sejak tahun 1932, sudah 19 kali pihak militer melakukan interupsi terhadap perkembangan demokrasi di Thailand dengan kudeta.
Prayut belum memberi indikasi soal kapan militer akan menyerahkan kembali kekuasaan ke tangan sipil.
Di sisi lain, kelompok pro-Thaksin bernama "kaos merah" juga belum memberi reaksi terhadap kudeta.
Sejumlah pemimpin "kaos merah" mengatakan bahwa penggulingan pemerintahan akan memicu perang saudara, namun sampai saat ini belum ada laporan mengenai kerusuhan sosial.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014
Junta yang dipimpin oleh Jenderal Prayut Chan-ocha membatalkan sejumlah undang-undang, melarang perkumpulan yang dihadiri lebih dari lima orang, dan memerintahkan sejumlah pemimpin partai yang berseteru untuk melapor kepada pihak militer pada pukul 10.00 WIB, Jumat.
Tindakan militer tersebut kemudian dikecam sejumlah negara besar seperti Amerika Serikat, Prancis, dan Uni Eropa.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry mengatakan bahwa kudeta militer tidak dapat dibenarkan dan akan membawa "dampak negatif" terhadap hubungan Washington-Bangkok.
Dia mendesak Thailand untuk menggelar "pemilu dini yang mencerminkan kehendak rakyat. Di sisi lain, Pentagon mengatakan sedang meninjau kembali kerja sama militer dengan sekutu di Asia Tenggaranya itu.
Sementara itu Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon "sangat prihatin" terhadap kudeta. Dia mendesak dikembalikannya "kekuasaan demokratis sipil berdasarkan konstitusi".
Krisis politik di Thailand sebenarnya sudah dimulai sejak 2006 lalu saat pihak militer menggulingkan mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra dari jabatannya. Sejak saat itu, dua kubu politik yang diwakili oleh keluarga Shinawatra di satu sisi bertarung berebut kekuasaan dengan blok pendukung keluarga raja yang dekat dengan militer.
Sejumlah pengamat menilai krisis di Thailand sebagai pertarungan untuk memutuskan siapa yang akan memimpin negara tersebut ketika kekuasaan Raja Bhumibol Adulyadej yang sudah berusia 86 tahun berakhir.
Selama beberapa bulan terakhir, pendukung keluarga raja melakukan serangkaian demonstrasi untuk menjatuhkan pemerintahan yang terpilih secara demokratis dan dipimpin oleh saudara perempuan Thaksin, Yingluck Shinawatra.
Yingluck sendiri dipaksa mengundurkan diri dari jabatannya pada awal bulan ini oleh keputusan pengadilan atas dugaan kelalaian dalam kebijakan subsidi petani.
Sebagian pengamat mengkhawatirkan krisis akan terus berlanjut setelah kudeta terbaru.
"Kudeta bukan merupakan solusi untuk mengakhiri krisis. Tindakan mereka menunjukkan bahwa militer tidak pernah belajar dari peristiwa 2006 (saat Thaksin digulingkan)," kata pengamat dari Universitas Tokyo, Pavin Chachavalpongpun.
Sejak tahun 1932, sudah 19 kali pihak militer melakukan interupsi terhadap perkembangan demokrasi di Thailand dengan kudeta.
Prayut belum memberi indikasi soal kapan militer akan menyerahkan kembali kekuasaan ke tangan sipil.
Di sisi lain, kelompok pro-Thaksin bernama "kaos merah" juga belum memberi reaksi terhadap kudeta.
Sejumlah pemimpin "kaos merah" mengatakan bahwa penggulingan pemerintahan akan memicu perang saudara, namun sampai saat ini belum ada laporan mengenai kerusuhan sosial.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014