Jakarta (Antara Kalbar) - Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) memperkirakan harga jual produk tekstil naik sekitar 15 persen setelah tarif tenaga listrik untuk industri kembali naik per 1 Juli 2014.
Ketua Umum API Ade Sudrajat Usman saat dihubungi dari Jakarta, Jumat, mengatakan sejumlah perusahaan tekstil sudah mengeluhkan tentang beban produksi yang akan naik, dan berbagai risikonya terhadap daya saing produk hingga rencana pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Listrik itu lebih dari 20 persen porsinya dari total biaya produksi industri tekstil. Harga produk akhir bisa naik lagi 15 persen," kata Ade.
Dia mengatakan pemerintah tidak memperhatikan dampak terhadap daya saing produk tekstil akibat kenaikan tarif listrik ini. Ade membandingkan, beban listrik yang harus ditanggung pengusaha tekstil kini sekitar Rp1.100 per kwh, sedangkan di negara lain di Asia Tenggara, seperti di Vietnam, --jika dikonversi ke rupiah--, harga listrik hanya sekitar Rp700 per kwh.
"Bahkan di Malaysia, listrik untuk industri malah diturunkan dari Rp1.100 per kwh menjadi Rp1.000 per kwh," ujar dia.
Maka itu, dia mengaku khawatir produk tekstil domestik akan semakin tergerus oleh produk impor karena harga jual yang tidak kompetitif, dibanding produk dari negara lain.
"Bagaimana kita mau bersaing dengan produk impor, kalau beban listrik kita naik terus," ujar dia.
Selain kenaikan harga jual, dan melemahnya daya saing, Ade mengungkapkan sejak kenaikan tarif listrik per 1 Mei 2014 untuk beberapa golongan pelanggan, sejumlah perusahaan tekstil telah melakukan kebijakan PHK, untuk mengurangi biaya produksi.
Menurut Ade, jumlah tenaga kerja yang terkena PHK mencapai ribuan orang. Namun, Ade menolak menjelaskan secara detail berapa jumlah tenaga kerja yang telah terkena PHK dan upaya perusahaan tersebut untuk menjaga pasar.
"Setelah listrik naik 1 Juli nanti, PHK akan terus terjadi. Gimana tidak mau PHK, beban produksi naik terus, saingan dari impor juga naik," ujar dia.
Pemerintah telah mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menaikkan tarif listrik enam golongan pelanggan per 1 Juli 2014.
Golongan pelanggan industri I3 nonterbuka akan mengalami kenaikan 11,57 persen setiap dua bulan. Kemudian, golongan lainnya yakni penerangan jalan umum P3 10,69 persen setiap dua bulan, dan pemerintah P2 (di atas 200 kVA) naik 5,36 persen setiap dua bulan.
Selain itu, golongan pelanggan rumah tangga R1 (1.300 VA) dengan kenaikan 11,36 persen setiap dua bulan, rumah tangga R1 (2.200 VA) naik 10,43 persen setiap dua bulan, dan rumah tangga R2 (3.500-5.500 VA) naik 5,7 persen setiap dua bulan.
Kenaikan tarif akan diberlakukan dengan besaran 5,36 hingga 11,57 persen setiap dua bulan sekali tergantung jenis pelanggan.
Setelah 1 Juli, keenam golongan pelanggan tersebut akan kembali dikenakan kenaikan tarif listrik pada 1 September dan terakhir 1 November 2014.
(I029/A. Salim)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014
Ketua Umum API Ade Sudrajat Usman saat dihubungi dari Jakarta, Jumat, mengatakan sejumlah perusahaan tekstil sudah mengeluhkan tentang beban produksi yang akan naik, dan berbagai risikonya terhadap daya saing produk hingga rencana pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Listrik itu lebih dari 20 persen porsinya dari total biaya produksi industri tekstil. Harga produk akhir bisa naik lagi 15 persen," kata Ade.
Dia mengatakan pemerintah tidak memperhatikan dampak terhadap daya saing produk tekstil akibat kenaikan tarif listrik ini. Ade membandingkan, beban listrik yang harus ditanggung pengusaha tekstil kini sekitar Rp1.100 per kwh, sedangkan di negara lain di Asia Tenggara, seperti di Vietnam, --jika dikonversi ke rupiah--, harga listrik hanya sekitar Rp700 per kwh.
"Bahkan di Malaysia, listrik untuk industri malah diturunkan dari Rp1.100 per kwh menjadi Rp1.000 per kwh," ujar dia.
Maka itu, dia mengaku khawatir produk tekstil domestik akan semakin tergerus oleh produk impor karena harga jual yang tidak kompetitif, dibanding produk dari negara lain.
"Bagaimana kita mau bersaing dengan produk impor, kalau beban listrik kita naik terus," ujar dia.
Selain kenaikan harga jual, dan melemahnya daya saing, Ade mengungkapkan sejak kenaikan tarif listrik per 1 Mei 2014 untuk beberapa golongan pelanggan, sejumlah perusahaan tekstil telah melakukan kebijakan PHK, untuk mengurangi biaya produksi.
Menurut Ade, jumlah tenaga kerja yang terkena PHK mencapai ribuan orang. Namun, Ade menolak menjelaskan secara detail berapa jumlah tenaga kerja yang telah terkena PHK dan upaya perusahaan tersebut untuk menjaga pasar.
"Setelah listrik naik 1 Juli nanti, PHK akan terus terjadi. Gimana tidak mau PHK, beban produksi naik terus, saingan dari impor juga naik," ujar dia.
Pemerintah telah mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menaikkan tarif listrik enam golongan pelanggan per 1 Juli 2014.
Golongan pelanggan industri I3 nonterbuka akan mengalami kenaikan 11,57 persen setiap dua bulan. Kemudian, golongan lainnya yakni penerangan jalan umum P3 10,69 persen setiap dua bulan, dan pemerintah P2 (di atas 200 kVA) naik 5,36 persen setiap dua bulan.
Selain itu, golongan pelanggan rumah tangga R1 (1.300 VA) dengan kenaikan 11,36 persen setiap dua bulan, rumah tangga R1 (2.200 VA) naik 10,43 persen setiap dua bulan, dan rumah tangga R2 (3.500-5.500 VA) naik 5,7 persen setiap dua bulan.
Kenaikan tarif akan diberlakukan dengan besaran 5,36 hingga 11,57 persen setiap dua bulan sekali tergantung jenis pelanggan.
Setelah 1 Juli, keenam golongan pelanggan tersebut akan kembali dikenakan kenaikan tarif listrik pada 1 September dan terakhir 1 November 2014.
(I029/A. Salim)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014