Jakarta (Antara Kalbar) - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto menolak pemilihan kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
"Inilah salah satu indikasi dan fakta yang biasa disebut dalam nomenklatur sosiologi sebagai korupsi demokrasi," kata Bambang di Jakarta, Rabu.
Bambang mengatakan demokrasi langsung seperti dijamin dalam konstitusi di mana rakyat menjadi subjek utama dalam memilih kepala daerahnya telah didelegitimasi secara inkonstitusional untuk kepentingan sempit kekuasaan.
Dia menambahkan ada dampak yang sangat besar dari sekadar implikasi masalah pilkada yang selama ini terjadi karena potensial terjadi rekayasa kekuasaan oleh elit penguasa yang berpijak pada kepentingan lobi politik dan bersifat transaksional serta tidak sepenuhnya mewakili kepentingan rakyat.
Pendiri Indonesian Corruption Watch (ICW) ini juga mengajak rakyat Indonesia untuk menyimak seluruh proses pembuatan atau Revisi UU Pemilukada dan mengidentifikasi siapa saja yang punya sikap dan pandangan tegas maupun tersamar mendukung tidak dipenuhinya hak rakyat untuk memilih langsung.
Ia mengaitkan hal ini dengan hasil survei Lingkaran Survei Indonesia yang menjelaskan bahwa hampir seluruh konsituen partai setuju pilkada secara langsung.
"Jika demikian perlu diajukan pertanyaan kritis, para anggota dewan yang merumuskan revisi Pemilukada bertindak untuk kepentingan siapa?" katanya.
Sebelumnya, sebanyak lima dari sembilan fraksi di Komisi II DPR RI mengubah usul terkait sistem pilkada secara langsung menjadi melalui DPRD.
Padahal sebelumnya seluruh fraksi di DPR telah menyetujui pelaksanaan pilkada secara langsung, yang hal tersebut bertentangan dengan usul pemerintah melalui Kemendagri.
Namun, ketika pemerintah mulai melunak dengan menyetujui pilkada secara langsung, justru DPR berbalik arah dengan menginginkan pilkada melalui DPRD.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014
"Inilah salah satu indikasi dan fakta yang biasa disebut dalam nomenklatur sosiologi sebagai korupsi demokrasi," kata Bambang di Jakarta, Rabu.
Bambang mengatakan demokrasi langsung seperti dijamin dalam konstitusi di mana rakyat menjadi subjek utama dalam memilih kepala daerahnya telah didelegitimasi secara inkonstitusional untuk kepentingan sempit kekuasaan.
Dia menambahkan ada dampak yang sangat besar dari sekadar implikasi masalah pilkada yang selama ini terjadi karena potensial terjadi rekayasa kekuasaan oleh elit penguasa yang berpijak pada kepentingan lobi politik dan bersifat transaksional serta tidak sepenuhnya mewakili kepentingan rakyat.
Pendiri Indonesian Corruption Watch (ICW) ini juga mengajak rakyat Indonesia untuk menyimak seluruh proses pembuatan atau Revisi UU Pemilukada dan mengidentifikasi siapa saja yang punya sikap dan pandangan tegas maupun tersamar mendukung tidak dipenuhinya hak rakyat untuk memilih langsung.
Ia mengaitkan hal ini dengan hasil survei Lingkaran Survei Indonesia yang menjelaskan bahwa hampir seluruh konsituen partai setuju pilkada secara langsung.
"Jika demikian perlu diajukan pertanyaan kritis, para anggota dewan yang merumuskan revisi Pemilukada bertindak untuk kepentingan siapa?" katanya.
Sebelumnya, sebanyak lima dari sembilan fraksi di Komisi II DPR RI mengubah usul terkait sistem pilkada secara langsung menjadi melalui DPRD.
Padahal sebelumnya seluruh fraksi di DPR telah menyetujui pelaksanaan pilkada secara langsung, yang hal tersebut bertentangan dengan usul pemerintah melalui Kemendagri.
Namun, ketika pemerintah mulai melunak dengan menyetujui pilkada secara langsung, justru DPR berbalik arah dengan menginginkan pilkada melalui DPRD.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014