Jakarta (Antara Kalbar) - Koalisi merah putih menginisiasi rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Upaya tersebut dilakukan karena pemilu langsung rawan dengan biaya politik tinggi sehingga mekanisme melalui pemungutan suara atau vooting di DPRD akan menghemat pengeluaran calon serta mencegah terjadinya transaksi politik.
Namun, pengamat politik dari Universitas Indonesia Ari Junaedi, mengatakan mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD rawan terjadinya transaksi politik kepada segelintir elit politik.
Ia mengungkapkan pemilihan langsung oleh rakyat selama ini sudah memberi kebebasan demokrasi bagi rakyat secara langsung untuk memilih kepala daerahnya tetapi hak itu dirampas lagi dan diberikan kepada segelintir elit politik di dewan.
"Sangat membahayakan bagi kelangsungan demokrasi kita jika pilkada dikembalikan ke DPRD. Bukankah cerita buruk tentang pemilihan kepala daerah lewat DPRD masih kita ingat ? Tinggal menyediakan dana besar untuk separuh lebih satu suara maka calon kepala daerah yang memiliki sokongan dana besar pasti akan menang di Pilkada lewat DPRD," kata dia.
Ia mengatakan anggota dewan juga rawan menjadi kepanjangan pemodal yang punya "interest" menguasai konsensi tambang sedangkan kepala daerah yang terpilih, juga rentan menjadi mesin anjungan tunai mandiri (ATM) dari anggota dewan yang memilihnya.
Menurut pengajar Program Pascasarjana Universitas Diponegoro (Undip) ini, jika anggota DPR masih mempunyai nurani dan keberpihakkan kepada demokrasi maka urungkan saja mengembalikan pilkada kepada DPRD.
"Saya yakin pilkada melalui DPRD justru akan membuka peluang besar terjadinya manipulasi suara rakyat. Calon yang dipilih hanya sesuai selera partai, bukan berdasar keinginan mayoritas pemilih," kata dia
Jangan harap lewat pemilihan di DPRD nantinya mampu menghasilkan pemimpin seperti Ridwan Kamil di Bandung, Abdulah Aswar Anas di Banyuwangi, Bima Arya di Bogor, Tri Rismaharini di Surabaya, Jokowi-Ahok di Jakarta.
"Justru nanti yang menang adalah pemodal besar yang jelas punya agenda ingin mengembalikan pengeluaran politik selama pemilihan dengan menjarah habis-habisan potensi ekonomi daerah yang dipimpinnya. Kalau mau membenahi undang-undang pilkada, sebaiknya atur lebih rinci dana kampanye," ujar dia.
Ia mengatakan pendanaan kampanye di Pilkada harus ada batasnya serta diaudit oleh akuntan publik.
Transparansi dan akuntabilitas harus menjadi agenda semangat reformasi. Bukan kembali ke belakang dengan melanggengkan korupsi.
"Makna pemilihan langsung sebagai pestanya rakyat menjadi hilang. Kesempatan pengusaha kecil untuk menikmati pesta demokrasi seperti membuat baliho, usaha sablon kaos bahka usaha makanan menjadi hilang karena semuanya dirampas menjadi hak anggota dewan," ujar dia.
Selama proses rekrutmen anggota DPRD belum dibenahi oleh partai politik maka jangan harap memiliki anggota Dewan yang mumpuni.
"Baru di lantik saja menjadi anggota DPRD, banyak anggota Dewan menggadaikan Surat Keputusan (SK) Pengangkatan karena terlilit hutang selama kampanye. Bagaimana nanti jika mereka memiliki kewenangan memilih calon kepala daerah?," kata dia.
Lima Alasan
Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin mengungkapkan ada lima alasan menolak RUU Pilkada yang materi muatannya hendak menghapus Pemilihan langsung oleh rakyat.
Pertama, ia mengatakan secara historis pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat sesungguhnya menjadi original intent dari perumusan amendemen UUD 1945. Hampir seluruh Fraksi pada saat itu pada prinsipnya setuju dan memang memaksudkan pemilihan gubernur, bupati, walikota dilaksanakan secara langsung oleh rakyat.
"Bahwa kemudian pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyatakan "Gubernur, Bupati, dan Walikota ... dipilih secara demokratis" dan bukan dipilih langsung oleh rakyat sebetulnya disebabkan sedikitnya karena beberapa alasan. Diantara karena pembahasan tentang Pemerintahan Daerah kadung dibahas lebih awal daripada pembahasan tentang Pemilu," ujar dia.
Pada saat itu, BAB VI tentang Pemerintahan Daerah dibahas pada Perubahan Kedua tahun 2000, sedangkan BAB VIIB tentang Pemilihan Umum dibahas pada Perubahan Ketiga tahun 2001. Pada saat pembahasan tentang Pemerintahan Daerah, belum muncul perdebatan mendalam tentang Pemilu.
Selain daripada itu, lanjutnya, perumus amendemen UUD 1945 ingin menghormati adanya keragaman politik ditiap-tiap daerah yang memang tidak seragam. Ada daerah yang memiliki kekhususan dan keistimewaan tertentu, seperti Yogyakarta, misalnya, yang Gubernurnya berasal dari ngarso dalem. Oleh sebab itu, Badan Pekerja MPR yang merumuskan amendemen UUD 1945 bersepakat untuk mengatur teknis pilkada di dalam UU.
"Nah, maksud dari perumus amendemen UUD 1945 ini tidak boleh dilupakan. Mestinya, perlu dipahami juga original intent-nya. Seperti apa suasana kebatinan, latar belakang, maksud, dan tujuan lahirnya teks atau pasal itu," kata dia.
Kedua, jika pilkada langsung dinilai memakan biaya yang sangat mahal, maka permasalahan ini sebetulnya bisa diatasi dengan memperbaiki aturan. Contoh, Pilkada dilaksanakan secara serentak agar pemda provinsi bisa patungan dengan pemda kabupaten/kota dalam membiayai Pilkada.
"Jumlah TPS bisa dikurangi dengan cara mengatur jumlah pemilih di tiap TPS maksimal 800 orang seperti penyelenggaraan Pilpres. Dengan jumlah TPS yang sedikit maka jumlah anggota KPPS juga bisa dikurangi. Lalu tidak boleh lagi ada duplikasi anggaran Pilkada. Anggaran melalui instansi pemerintah harus di stop. Semua dipusatkan ke penyelenggara Pemilu. Beberapa contoh itu akan bisa menekan pembiayaan Pemilukada secara signifikan," kata dia .
Ketiga, jika pilkada langsung dianggap selalu memunculkan konflik, maka hal itu bisa diminimalisir dengan cara melakukan pengetatan rekrutmen dan seleksi penyelenggara Pemilu
Sebab, banyak konflik terjadi diakibatkan oleh rendahnya kualitas KPUD dan pengawas Pemilu didaerah, sehingga kebijakan yang dibuatnya dinilai diskriminatif, tidak adil, tidak transparan, dan seterusnya.
"Pada saat yang sama juga perlu dilakukan pendidikan politik yang lebih masif kepada masyarakat," kata dia.
Keempat, jika pilkada langsung dinilai memunculkan praktik "money politic", maka perlu diingat bahwa salah satu pertimbangan penyelenggaraan pilkada oleh DPRD diubah menjadi pemilihan langsung oleh rakyat adalah karena pada saat pemilihan oleh DPRD selalu diwarnai money politic.
"Money politic juga bisa diminimalisir jika aturan kampanye diubah. Misal, metode kampanye "dalam bentuk lain" dihapuskan. Bentuk kampanye itulah yang sering dimanfaatkan parpol atau calon untuk melakukan money politic dengan cara memberikan 'ini dan itu' kepada pemilih," ujar dia.
Kelima, jika dikatakan kepala daerah hasil pilkada langsung banyak yang tersangkut kasus korupsi, hal itu tidak benar.
Ia mengatakan banyaknya kepala daerah yang ditangkap itu lantaran sejak diberlakukannya Pemilukada, aturan tentang korupsi sudah semakin ketat.
"Kita juga sudah punya KPK. Andai saja saat pemilihan oleh DPRD aturan tentang soal korupsi sudah ketat dan telah ada KPK, maka boleh jadi jumlah kepala daerah yang masuk penjara jumlahnya lebih banyak lagi," ujar dia.