Jakarta (Antara Kalbar) - Juru bicara bukan profesi sembarangan. Meski kerap dianggap sepele, tapi segudang risiko besarnya sering tidak disadari.
Terpeleset lidah sedikit saja, institusi tempatnya bekerja langsung menjadi sorotan, bahkan maksud baiknya sering juga dipertanyakan.
Risiko terburuk hingga ancaman meringkuk dalam sel pun bukan suatu yang mustahil terjadi.
Segudang risiko itulah yang ingin disampaikan Gatot S. Dewa Broto dalam buku terbarunya "The PR 2".
Pada bab-bab awal Gatot mengisahkan keapesannya ketika menghadapi "keisengan" media online pada 29 Desember 2009 yang memberitakan tentang dirinya dengan berbagai judul, mulai dari "Humas Kominfo Menyuap Wartawan", hingga "Gatot Bagi-Bagi BlackBerry".
Keisengan itu bukan berhenti sampai di situ, kegalauan Gatot S. Dewa Broto saat itu berlanjut hingga ia dipanggil KPK karena perkara yang sama itu.
Saat itu Gatot hanya pasrah, siap menanggung risiko apapun dan ia jujur mengungkapkan telah melakukan kesalahan fatal.
Kejadian itu berawal dari jumpa pers Depkominfo di akhir tahun 2008, yang atas izin Menkominfo M. Nuh dia diminta memberikan tali kasih dalam bentuk door prize HP dari para operator telekomunikasi untuk beberapa wartawan.
Acara terbilang sukses dihadiri 50 wartawan dan door prize yang dibagikan 10 HP.
Acara berlanjut pada September 2009 menjelang pergantian menteri, dan sukses juga dengan 15 HP untuk sekitar 70-an wartawan.
"Tibalah kemudian musibah itu terjadi di akhir Desember 2009. Tanpa ada perintah dari Menkominfo Tifatul dan juga tanpa izin persetujuan dari Menteri yang baru itu, saya menggelar acara yang di dalamnya ada door prize 22 HP dimana 4 di antaranya BlackBerry," katanya.
Acara jumpa pers lancar, karena hadir sekitar 152 wartawan, belum termasuk perwakilan operator yang sudah menyeponsori pemberian door prize.
Sampai kemudian, muncul berita di sejumlah media tentang "kenakalan" Gatot itu.
Beberapa hari kemudian, di awal Januari 2010 dia didatangi tim dari KPK yang memeriksa "on location" terhadap dirinya.
"Di depan tim KPK dan beberapa atasannya, saya menjelaskan secara gamblang duduk persoalannya dan menyampaikan permintaan maaf, juga kepada Menkominfo secara tertulis," katanya.
Masalah berlanjut, karena dia bisa dikenai pasal penyuapan dan gratifikasi. Dia juga harus ke KPK dimintakan klarifikasi lanjutan, karena ada pengaduan.
Beban persoalan akibat ulahnya itu harus dia tanggung sendiri, termasuk menghadapi sorotan media, tetapi di sisi lain tanggung-jawabnya sebagai Kepala Pusat Informasi dan Humas Kominfo tidak boleh ia kendorkan.
Gatot sejak awal memang menyadari benar posisinya sebagai sang juru bicara.
Jibaku
Buku The PR 2 menggambarkan bagaimana profesi juru bicara dan manis pahit perjalanannya.
Ketika satu persoalan belum usai, Gatot harus kembali berjibaku menghadapi polemik di media akibat ulah Bupati Badung yang mengancam penebangan menara BTS di daerahnya jika operator bandel.
Belum lagi terhitung ketika Februari 2010 Kominfo disorot akibat ingin menggoalkan suatu draft peraturan yang mengatur pembatasan konten internet.
Heboh RPM Konten Multi Media sangat menyita energinya karena saat itu Menkominfo sedang tidak di Indonesia.
"Saya dihajar kanan kiri oleh publik, tetapi saya berusaha untuk tetap cepat, akurat, dan sebisa mungkin cool saja," katanya.
Sampai kemudian tiba-tiba pada Maret 2010 ada surat dari KPK bahwa ia dinyatakan tidak terbukti melakukan dua kegiatan yang diduga berpotensi koruptif.
Kisahnya diperiksa KPK itu dikisahkan dengan baik dalam The PR 2 mulai halaman 250 hingga 268.
Buku yang baru saja diterbitkan oleh MBT (Media Bisnis Telematika) pada Agustus 2014 dengan judul "The PR 2, Profesi Penuh Tantangan Tapi Bisa Dinikmati" itu mengandung banyak pelajaran bagi pranata kehumasan sekaligus wartawan.
Dia hanya berpesan, bahwa berinteraksi dengan wartawan tidak sulit dan tidak harus memanjakan secara material karena memang itu dilarang secara kode etik dan peraturannya.
Dia pun sesungguhnya sebelum dan pascakejadian itu terkenal sebagai humas yang pelit dalam arti tidak suka bagi-bagi amplop, termasuk saat setiap menjelang Lebaran sekalipun.
Itulah sebabnya rekan-rekan wartawan yang dekat dengannya heran kenapa dia rela berinisiatif "bagi-bagi BlackBerry" karena tanpa itupun dia sudah sangat disenangin awak media.
Buku Kedua
Buku The PR 2 ini merupakan buku kedua dari sebelumnya dengan judul "The PR, Tantangan Public Relations Di Era Keterbukaan Informasi", yang diterbitkan Gramedia pada Januari 2014.
Dua buku ini memiliki banyak kesamaan, yakni ditulis bersamaan waktunya, diselesaikan pada Maret 2013 (sehingga jangan berharap bisa menikmati materi heboh penataan layanan 3G di sekitar Oktober 2013 ataupun saat dia meng-handle media center KTT APEC pada Oktober 2013 yang harus memutar otak mengatasi unjuk rasa sejumlah wartawan asing yang di-off kan ID Card-nya tanpa kehebohan di mata sekitar 4.000-an wartawan gara-gara yang segelintir itu melecehkan Presiden Filipina).
Dua buku itu juga diberi testimoni oleh tokoh publik yang sama, dan dengan gaya penuangan materi yang sama mulai dari penyajian, penggunaan teori ilmiah, pengungkapan kliping berita dan contoh-contoh pengalaman yang sangat berisiko yang pernah dialami.
Tapi materi isinya jelas tidak sama dengan buku sebelumnya, jadi bukan edisi revisi atau kelanjutan karena isinya lebih vulgar, lebih mengedepankan aspek strategi yang seharusnya dilakukan oleh humas saat berada di bawah tekanan.
Tidak kalah pentingnya buku ini dilengkapi ilustrasi sejumlah foto dokumentasi dan daftar tulisan yang pernah Gatot buat sejak kuliah di UGM.
Dari The PR 2 ini cukup jelas terlihat, bahwa Gatot dari "sononya" sudah mengetahui "chemistry" pers.
Dunia kewartawanan tidak asing baginya bahkan sejak baru kuliah awal semester dua di Jurusan Hubungan Internasional UGM sudah mulai menulis di koran Kedaulatan Rakyat Yogyakarta tentang masalah ancaman konflik nuklir.
Sejak saat itu dia tergolong penulis produktif masalah politik internasional di sejumlah media cetak.
Sehingga wajar jika dia memperoleh penghargaan dari Rektor UGM Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri pada Dies Natalis UGM tahun 1986 sebagai mahasiswa teladan bidang komunikasi, meski kuliahnya di HI.
Masih terkait interaksinya dengan aparat penegak hukum, dalam The PR 2, Gatot juga menuliskan kisahnya ketika dia dibuat repot Bareskrim karena harus bolak balik dipanggil polisi (halaman 439 - 457) hanya gara-gara terlalu sering berkomentar soal TV Astro.
Pemeriksaan pertama pada 4 Januari 2007, dipanggil sebagai saksi melalui surat resmi (sementara para pejabat Kominfo lainnya yang dipanggil sebagai saksi ahli).
Saking bingungnya, malam usai pemeriksaan, ia ditelepon bosnya (Menkominfo Sofyan A. Djalil), "Gatot, kenapa kamu sampai diperiksa sangat lama? Ada apa dengan kamu?"
Dia dengan runtut melaporkan pada Sofyan Djalil apa yang telah dialaminya dan juga menyebutkan bahwa dia diperiksa bukan karena anti TV Astro, tapi karena dianggap sangat mengetahui masalah izin Astro melalui berbagai potongan berita yang ditunjukkan oleh para penyidik di Bareskrim dalam proses pemeriksaan yang tetap sangat sopan.
"Dikiranya masalah Astro nggak ada kelanjutan, sampai tiba-tiba tanggal 7 Januari 2008 saya diperiksa lagi di Barekrim. Lagi-lagi hanya sebagai saksi, tapi tetap mules juga," katanya.
Berbeda dengan tahun sebelumnya, kelanjutan pemeriksaan ternyata agak menjengkelkan, karena ketika saat berada di rumah tengah malam pun dia ditelepon seorang penyidik hanya untuk menjawab pertanyaan yang sama dengan saat di ruang pemeriksaan.
Puncak kejengkelannya meski tetap harus dia tahan kesabarannya karena tidak berani "ngomel" terhadap aparat ketika tengah malam pada Februari 2009 saat persiapan karena esok sorenya harus mendampingi Menkominfo M. Nuh untuk bertugas ke Barcelona.
"Saya tetap terus di-call dan berulang esok siangnya, lama-lama karena frustasi saya off kan saja HP," katanya.
Usai pemeriksaan itu, ia tetap berhubungan baik dengan mantan penyidiknya.
"Namun saya pikir the show must go on, tidak ada yang perlu saya takuti kecuali Allah, pimpinan dan peraturan yang ada," katanya.
Melalui bukunya tersebut, Gatot ingin berbagi bahwa profesi kehumasan memang penuh risiko tapi tidak perlu ditakuti karena justru bisa dinikmati.
Itulah sebabnya, seperti buku The PR sebelumnya, dia juga membagikan trik-trik teori dan apa yang harus dilakukan jika mengalami sejumlah masalah.
Yang tidak kalah menariknya dari buku The PR 2 ini tentang persoalan investasi asing bidang telekomunikasi di Indonesia.
Berawal dari kasus ketegangan hubungan RIM BlackBerry dengan pemerintah, Gatot memaparkan betapa "gurihnya" kue bisnis telekomunikasi di mata asing.
Mereka berduyun-duyun datang dan kadang kalau perlu rambu-rambu pun ditabrak jika tidak ketahuan pemerintah.
Ketika saat ini Tim Jokowi-JK sedang getol-getolnya dengan Nawa Cita yang intinya mendorong perubahan dan kemandirian bangsa, maka buku ini perlu dibaca oleh kelompok pemikir Jokowi-JK, karena minimal bisa memperoleh gambaran cukup rinci bagaimana peta investasi telekomunikasi di Indonesia.
Secara umum buku ini sangat menarik meski tetap mengundang keheranan pembaca, bahwa di tengah kesibukkannya, Gatot masih bisa meluangkan waktu menulis sendiri buku ini dan buku sebelumnya dan dengan gaya bahasa yang tergolong "sangat berani", vulgar tetapi tetap ilmiah dan komunikatif.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014
Terpeleset lidah sedikit saja, institusi tempatnya bekerja langsung menjadi sorotan, bahkan maksud baiknya sering juga dipertanyakan.
Risiko terburuk hingga ancaman meringkuk dalam sel pun bukan suatu yang mustahil terjadi.
Segudang risiko itulah yang ingin disampaikan Gatot S. Dewa Broto dalam buku terbarunya "The PR 2".
Pada bab-bab awal Gatot mengisahkan keapesannya ketika menghadapi "keisengan" media online pada 29 Desember 2009 yang memberitakan tentang dirinya dengan berbagai judul, mulai dari "Humas Kominfo Menyuap Wartawan", hingga "Gatot Bagi-Bagi BlackBerry".
Keisengan itu bukan berhenti sampai di situ, kegalauan Gatot S. Dewa Broto saat itu berlanjut hingga ia dipanggil KPK karena perkara yang sama itu.
Saat itu Gatot hanya pasrah, siap menanggung risiko apapun dan ia jujur mengungkapkan telah melakukan kesalahan fatal.
Kejadian itu berawal dari jumpa pers Depkominfo di akhir tahun 2008, yang atas izin Menkominfo M. Nuh dia diminta memberikan tali kasih dalam bentuk door prize HP dari para operator telekomunikasi untuk beberapa wartawan.
Acara terbilang sukses dihadiri 50 wartawan dan door prize yang dibagikan 10 HP.
Acara berlanjut pada September 2009 menjelang pergantian menteri, dan sukses juga dengan 15 HP untuk sekitar 70-an wartawan.
"Tibalah kemudian musibah itu terjadi di akhir Desember 2009. Tanpa ada perintah dari Menkominfo Tifatul dan juga tanpa izin persetujuan dari Menteri yang baru itu, saya menggelar acara yang di dalamnya ada door prize 22 HP dimana 4 di antaranya BlackBerry," katanya.
Acara jumpa pers lancar, karena hadir sekitar 152 wartawan, belum termasuk perwakilan operator yang sudah menyeponsori pemberian door prize.
Sampai kemudian, muncul berita di sejumlah media tentang "kenakalan" Gatot itu.
Beberapa hari kemudian, di awal Januari 2010 dia didatangi tim dari KPK yang memeriksa "on location" terhadap dirinya.
"Di depan tim KPK dan beberapa atasannya, saya menjelaskan secara gamblang duduk persoalannya dan menyampaikan permintaan maaf, juga kepada Menkominfo secara tertulis," katanya.
Masalah berlanjut, karena dia bisa dikenai pasal penyuapan dan gratifikasi. Dia juga harus ke KPK dimintakan klarifikasi lanjutan, karena ada pengaduan.
Beban persoalan akibat ulahnya itu harus dia tanggung sendiri, termasuk menghadapi sorotan media, tetapi di sisi lain tanggung-jawabnya sebagai Kepala Pusat Informasi dan Humas Kominfo tidak boleh ia kendorkan.
Gatot sejak awal memang menyadari benar posisinya sebagai sang juru bicara.
Jibaku
Buku The PR 2 menggambarkan bagaimana profesi juru bicara dan manis pahit perjalanannya.
Ketika satu persoalan belum usai, Gatot harus kembali berjibaku menghadapi polemik di media akibat ulah Bupati Badung yang mengancam penebangan menara BTS di daerahnya jika operator bandel.
Belum lagi terhitung ketika Februari 2010 Kominfo disorot akibat ingin menggoalkan suatu draft peraturan yang mengatur pembatasan konten internet.
Heboh RPM Konten Multi Media sangat menyita energinya karena saat itu Menkominfo sedang tidak di Indonesia.
"Saya dihajar kanan kiri oleh publik, tetapi saya berusaha untuk tetap cepat, akurat, dan sebisa mungkin cool saja," katanya.
Sampai kemudian tiba-tiba pada Maret 2010 ada surat dari KPK bahwa ia dinyatakan tidak terbukti melakukan dua kegiatan yang diduga berpotensi koruptif.
Kisahnya diperiksa KPK itu dikisahkan dengan baik dalam The PR 2 mulai halaman 250 hingga 268.
Buku yang baru saja diterbitkan oleh MBT (Media Bisnis Telematika) pada Agustus 2014 dengan judul "The PR 2, Profesi Penuh Tantangan Tapi Bisa Dinikmati" itu mengandung banyak pelajaran bagi pranata kehumasan sekaligus wartawan.
Dia hanya berpesan, bahwa berinteraksi dengan wartawan tidak sulit dan tidak harus memanjakan secara material karena memang itu dilarang secara kode etik dan peraturannya.
Dia pun sesungguhnya sebelum dan pascakejadian itu terkenal sebagai humas yang pelit dalam arti tidak suka bagi-bagi amplop, termasuk saat setiap menjelang Lebaran sekalipun.
Itulah sebabnya rekan-rekan wartawan yang dekat dengannya heran kenapa dia rela berinisiatif "bagi-bagi BlackBerry" karena tanpa itupun dia sudah sangat disenangin awak media.
Buku Kedua
Buku The PR 2 ini merupakan buku kedua dari sebelumnya dengan judul "The PR, Tantangan Public Relations Di Era Keterbukaan Informasi", yang diterbitkan Gramedia pada Januari 2014.
Dua buku ini memiliki banyak kesamaan, yakni ditulis bersamaan waktunya, diselesaikan pada Maret 2013 (sehingga jangan berharap bisa menikmati materi heboh penataan layanan 3G di sekitar Oktober 2013 ataupun saat dia meng-handle media center KTT APEC pada Oktober 2013 yang harus memutar otak mengatasi unjuk rasa sejumlah wartawan asing yang di-off kan ID Card-nya tanpa kehebohan di mata sekitar 4.000-an wartawan gara-gara yang segelintir itu melecehkan Presiden Filipina).
Dua buku itu juga diberi testimoni oleh tokoh publik yang sama, dan dengan gaya penuangan materi yang sama mulai dari penyajian, penggunaan teori ilmiah, pengungkapan kliping berita dan contoh-contoh pengalaman yang sangat berisiko yang pernah dialami.
Tapi materi isinya jelas tidak sama dengan buku sebelumnya, jadi bukan edisi revisi atau kelanjutan karena isinya lebih vulgar, lebih mengedepankan aspek strategi yang seharusnya dilakukan oleh humas saat berada di bawah tekanan.
Tidak kalah pentingnya buku ini dilengkapi ilustrasi sejumlah foto dokumentasi dan daftar tulisan yang pernah Gatot buat sejak kuliah di UGM.
Dari The PR 2 ini cukup jelas terlihat, bahwa Gatot dari "sononya" sudah mengetahui "chemistry" pers.
Dunia kewartawanan tidak asing baginya bahkan sejak baru kuliah awal semester dua di Jurusan Hubungan Internasional UGM sudah mulai menulis di koran Kedaulatan Rakyat Yogyakarta tentang masalah ancaman konflik nuklir.
Sejak saat itu dia tergolong penulis produktif masalah politik internasional di sejumlah media cetak.
Sehingga wajar jika dia memperoleh penghargaan dari Rektor UGM Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri pada Dies Natalis UGM tahun 1986 sebagai mahasiswa teladan bidang komunikasi, meski kuliahnya di HI.
Masih terkait interaksinya dengan aparat penegak hukum, dalam The PR 2, Gatot juga menuliskan kisahnya ketika dia dibuat repot Bareskrim karena harus bolak balik dipanggil polisi (halaman 439 - 457) hanya gara-gara terlalu sering berkomentar soal TV Astro.
Pemeriksaan pertama pada 4 Januari 2007, dipanggil sebagai saksi melalui surat resmi (sementara para pejabat Kominfo lainnya yang dipanggil sebagai saksi ahli).
Saking bingungnya, malam usai pemeriksaan, ia ditelepon bosnya (Menkominfo Sofyan A. Djalil), "Gatot, kenapa kamu sampai diperiksa sangat lama? Ada apa dengan kamu?"
Dia dengan runtut melaporkan pada Sofyan Djalil apa yang telah dialaminya dan juga menyebutkan bahwa dia diperiksa bukan karena anti TV Astro, tapi karena dianggap sangat mengetahui masalah izin Astro melalui berbagai potongan berita yang ditunjukkan oleh para penyidik di Bareskrim dalam proses pemeriksaan yang tetap sangat sopan.
"Dikiranya masalah Astro nggak ada kelanjutan, sampai tiba-tiba tanggal 7 Januari 2008 saya diperiksa lagi di Barekrim. Lagi-lagi hanya sebagai saksi, tapi tetap mules juga," katanya.
Berbeda dengan tahun sebelumnya, kelanjutan pemeriksaan ternyata agak menjengkelkan, karena ketika saat berada di rumah tengah malam pun dia ditelepon seorang penyidik hanya untuk menjawab pertanyaan yang sama dengan saat di ruang pemeriksaan.
Puncak kejengkelannya meski tetap harus dia tahan kesabarannya karena tidak berani "ngomel" terhadap aparat ketika tengah malam pada Februari 2009 saat persiapan karena esok sorenya harus mendampingi Menkominfo M. Nuh untuk bertugas ke Barcelona.
"Saya tetap terus di-call dan berulang esok siangnya, lama-lama karena frustasi saya off kan saja HP," katanya.
Usai pemeriksaan itu, ia tetap berhubungan baik dengan mantan penyidiknya.
"Namun saya pikir the show must go on, tidak ada yang perlu saya takuti kecuali Allah, pimpinan dan peraturan yang ada," katanya.
Melalui bukunya tersebut, Gatot ingin berbagi bahwa profesi kehumasan memang penuh risiko tapi tidak perlu ditakuti karena justru bisa dinikmati.
Itulah sebabnya, seperti buku The PR sebelumnya, dia juga membagikan trik-trik teori dan apa yang harus dilakukan jika mengalami sejumlah masalah.
Yang tidak kalah menariknya dari buku The PR 2 ini tentang persoalan investasi asing bidang telekomunikasi di Indonesia.
Berawal dari kasus ketegangan hubungan RIM BlackBerry dengan pemerintah, Gatot memaparkan betapa "gurihnya" kue bisnis telekomunikasi di mata asing.
Mereka berduyun-duyun datang dan kadang kalau perlu rambu-rambu pun ditabrak jika tidak ketahuan pemerintah.
Ketika saat ini Tim Jokowi-JK sedang getol-getolnya dengan Nawa Cita yang intinya mendorong perubahan dan kemandirian bangsa, maka buku ini perlu dibaca oleh kelompok pemikir Jokowi-JK, karena minimal bisa memperoleh gambaran cukup rinci bagaimana peta investasi telekomunikasi di Indonesia.
Secara umum buku ini sangat menarik meski tetap mengundang keheranan pembaca, bahwa di tengah kesibukkannya, Gatot masih bisa meluangkan waktu menulis sendiri buku ini dan buku sebelumnya dan dengan gaya bahasa yang tergolong "sangat berani", vulgar tetapi tetap ilmiah dan komunikatif.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014