Pontianak  (Antara Kalbar) - Puluhan masyarakat Adat Dayak berdemo di Kantor Kejati Kalbar, Senin, memprotes tuntutan ringan Jaksa terhadap 11 warga Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dalam kasus penambangan ilegal dan pembalakan hutan secara liar di Kabupaten Kapuas Hulu.

"Kedatangan kami di sini yakni menuntut pelaku pembalakan atau perambah hutan lindung agar dituntut hukuman seberat-beratnya," kata Ketua Bala Adat, Didi saat menyampaikan orasinya di depan Kantor Kejati Kalbar, Jalan Subarkah Pontianak.

Didi meminta pelaku baik itu warga RRT dan perusahaan yang mendatangkan warga asing itu, serta perusahaan pertambangan tersebut diadili seadil-adilnya.

Dalam pernyataan sikapnya masyarakat dan mahasiswa yang tergabung dalam Forum Bersama Peduli Lingkungan dan Kawasan Hutan itu menuntut, izin perusahaan yang menyewa mereka PT Cosmos Inti Persada dicabut, meminta ganti rugi dampak kerusakan hutan lindung yang telah dirambah.

Kemudian hukum berat pelaku atau perambah hutan lindung, penyandang dana sesuai dengan ancaman UU No. 4/2009 tentang Pertambangan, UU No. 18/ 2013 tentang Kehutanan, serta UU No.32 2009 tentang Lingkungan Hidup.

"Kami juga meminta oknum-oknum yang terlibat dalam kasus ini diproses hukum. Kejati Kalbar agar mengusut PT Navara Westindo atau perusahaan penanggungjawab tenaga kerja asing tersebut," ungkap Didi.

Sementara itu, Asintel Kejati Kalbar L Tambunan menyatakan pihaknya tidak berwenang dalam hal itu, karena mengenai penanganan kasus itu wewenang penyidik Polri.

"Terkait pernyataan sikap dari masyarakat ini, akan kami tindaklanjuti, dan kami akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan," ujarnya.

Sebelumnya, Praktisi hukum Dewi Y menyesalkan tuntutan ringan yakni 10 bulan penjara dari jaksa JPU terhadap 11 warga RRT kasus penambangan ilegal dan pembalakan hutan secara liar di Kabupaten Kapuas Hulu.

Dewi yang berprofesi sebagai pengacara di Jakarta saat menyaksikan sidang itu menyesalkan kenapa warga asing yang jelas-jelas merusak hutan di Kalbar atau Indonesia umumnya itu hanya dijerat dengan UU Pertambangan, UU Kehutanan, serta UU Lingkungan Hidup.

"Harusnya diancam tuntutan berlapis dan berat, karena bukan dua UU saja yang dilanggar, tapi bisa dilihat lebih dalam ke UU Lingkungan dan UU Keimigrasian. Mereka dituntut 10 bulan itu ringan. Tapi giliran TKI yang bekerja di luar negeri salah sedikit saja sudah dihukum berat, sehingga mau dikemanakan muka kita di mata dunia," ungkapnya.

Ia berharap Komisi Yudisial mencermati persidangan warga RRT di PN Pontianak ini, sehingga bisa menegur aparat hukum bila melenceng dari hukum yang adil.

Sidang kasus itu dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Torowa Daeli, dengan hakim anggota Sugeng Warmanto, dan Syofia Marlianti Tambunan.

Ke-11 warga RRT didampingi oleh Jimmy Dohar Pandapotan Sihombing, Herman Santoso dan Widi Syailendra, serta menggunakan penerjemah Daruma Daishi, yang juga merupakan tim penasihat hukum para terdakwa.

JPU Abdul Samad menyatakan 11 warga RRT tersebut hanya sebagai karyawan saja.

"Karena mereka menerima gaji, serta pertanggungjawaban penuhnya ada pada perusahaan sehingga penuntutan terhadap terdakwa hanya melanggar UU Pertambangan, Kehutanan, UU Lingkungan Hidup," ujarnya.


(U.A057/B/R007/R007) 29-09-2014 13:17:28

Pewarta: Andilala

Editor : Andilala


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014