Cibinong (Antara Kalbar) - Untuk menghindari pembajakan biologi atau sumber daya alam hayati (biopiracy) LIPI mengajukan revisi terhadap Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 2006 dengan menambah satu syarat untuk memperketat izin peneliti asing di Indonesia.

Direktur Museum Zoologycum Bogoriense yang juga Peneliti Pusat Peneliti Biologi LIPI Prof Dr Rosichon Ubaidillan mengatakan tambahan syarat yang diajukan adalah "penelitian yang menggunakan material Indonesia tidak boleh dibawa ke luar sampai penelitian tersebut selesai dan dipatenkan".

"Saya sudah menyampaikan poin syarat tadi untuk dimasukkan dalam PP 41/2006 tentang Izin peneliti asing, ini salah satu upaya melindungi pembajakan biologi dalam kerja sama penelitian dengan pihak asing," kata Rosichon di sela-sela acara "open house" Museum Zoologycum Bogoriensi, di Cibinong Science Center, Kabupaten Bogor, Selasa.

Menurut Rosichon, selama ini perlindungan terhadap pembajakan sumber daya hayati sudah dilakukan lewat MoU antara pihak yang melakukan kerja sama. Hanya saja pelanggaran etika oleh pihak asing masih terjadi.

Hal ini pernah dialaminya pada tahun 2012, saat spesimen hewan dari Indonesia dibawa oleh peneliti asal Amerika dan mempublikasikannya tapna mencantumkan peneliti dari LIPI.

"Maka itu, izin harus diperketat, harus ditambahkan syarat penelitian kerja sama asing boleh dilakukan selama spesimen asal Indonesia yang diteliti tidak boleh dibawa keluar, sampai penelitian selesai," kata Rosichon.

Selama ini, kata Rosichon, alasan membawa spesimen ke luar Indonesia karena keterbatasan alat laboratorium. Oleh karena itu, untuk menghindarinya Pemerintah harus mencukupi ketersediaan alat penelitian agar penelitian dilakukan di dalam Indonesia.

Rosichon mengatakan, sampai saat ini banyak peneliti asing yang meminta spesimen biologi dari Indonesia. Dan beberapa material riset dari Indonesia ada yang dipatenkan di luar negeri.

"Contohnya Jahe sudah dipatenkan di Jerman, dan peneliti lokal dari Indonesia hanya mendapat gelar Phd, sementara kekayaan hayati kita dipatenkan oleh negara lain," kata Rosichon.

Rosichon menambahkan, masih lemahnya pengawasan di Indonesia membuat peneliti asing banyak yang datang untuk melakukan penelitian. Hasil penelitian yang dipatenkan memberikan keuntungan bagi pemegang paten. Sementara Indonesia sebagai pemilik keragaman hayati tidak mendapatkan apa-apa.

"Contohnya di Inggris untuk mendapatkan data dari serangga Indonesia yang dipatenkan disana kita harus membayar sampai puluhan pounsterling per spesimen. Sementara itu serangga asal negeri sendiri," katanya.

(KR-LR/Kaswir)

Pewarta: Laily Rahmawati

Editor : Nurul Hayat


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014