Pontianak (Antara Kalbar) - Direktur Puskepi Sofyano Zakaria menyatakan Dirut Pelindo II RJ Lino seharusnya memenuhi janjinya yang akan mundur terkait ancamannya kalau pihak Bareskrim Mabes Polri terus melakukan penggeledahan di Kantor pusat Pelindo II Tanjung Priok, kasus dugaan "permaianan" pengadaan mobile crane.
"Memperdengarkan percakapan telpon antara Lino dengan Menteri Sofyan Djalil disaat sedang berlangsungnya penggeledahan oleh Bareskrim Polri, sebagai sikap yang tidak etis dan upaya mencari 'perlindungan' serta juga menggertak agar tidak melanjutkan penggeledahan. Disamping itu pembicaraan telpon yang seharusnya hanya antara Lino dan Sofyan Djalil namun diperdengarkan secara terbuka ke para wartawan, juga sebagai cara memperlihatkan adanya hubungan dekat dirut Pelindo II dengan menteri yang bersangkutan," kata Sofyano Zakaria saat dihubungi di Jakarta, Minggu.
Ia menjelaskan, hal itu secara psikologis sangat negatif dampaknya buat Sofyan Djalil mengingat dia adalah seorang menteri anggota kabinetnya Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Sebelumnya, (28/8) Bareskrim Polri yang dipimpin langsung Kabareskrim Polri Irjen (Pol Budi Waseso) melakukan penggeledahan di Kantor pusat Pelindo II Tanjung Priok Jakarta. Pihak Bareskrim Polri melakukan penyidikan terkait adanya dugaan "permainan" dalam pengadaan mobile crane dari Cina, senilai Rp45,6 miliar yang dilakukan oleh Pelindo II.
Pada saat penggeledahan dilakukan, Dirut Pelindo II RJ Lino menerima telpon dari Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Sofyan Djalil.
Lino memperdengarkan percakapan via handphone tersebut kepada para wartawan yang sedang meliput penggeledahan tersebut. Lino mempermasalahkan dan mengeluhkan penggeledahan tersebut dan melalui Sofyan Djalil, Lino mengancam akan mundur besok hari, Sabtu (29/8).
Sofyan Djalil dalam keterangannya kepada Metro TV Sabtu 29 Agustus, mengatakan ia tidak tahu kalau percakapan telpon antara dirinya dengan Lino, diperdengarkan kepada para wartawan. Ia sudah mempertanyakan itu ke Lino.
Sofyano menambahkan mempermasalahkan penggeledahan yang dilakukan Bareskrim Polri yang pada dasarnya memiliki kewenangan hukum menurut UU yang berlaku untuk melakukan penggeledahan tersebut dengan mengancam presiden untuk mundur dari jabatannya sebagai dirut Pelindo II, dapat dimaknai sebagai bentuk "ketakutan" Lino terhadap penggeledahan tersebut dan sekaligus sebagai tekanan kepada presiden agar segera mempermasalahkan dan atau menghentikan penggeledahan tersebut.
Jika penggeledahan dan atau penyidikan tersebut terbukti terhenti, maka dapat dimaknai bahwa presiden telah memenuhi permintaan dirut Pelindo II yakni "mengintervensi" penegak hukum. Ini blunder bagi pemerintah dan khususnya bagi Presiden Jokowi, katanya.
"Ancaman Lino kepada presiden untuk mundur dari jabatannya dapat pula dimaknai sebagai bentuk tekanan Lino kepada presiden, dan ini bisa memberi kesan kepada publik bahwa Lino merupakan sosok yang sangat "dekat" dan dibutuhkan presiden, untuk mewujudkan terlaksananya program Tol Laut yang jadi program andalan Jokowi," ujarnya.
Penggeledahan yang ternyata terus dituntaskan oleh Bareskrim Polri dan ternyata hingga saat ini publik mengetahui bahwa Lino tidak mundur dari jabatannya sebagai dirut Pelindo II, dapat dimahfumi bahwa Lino telah "menggertak" presiden dan juga kepada pihak Polri secara terselubung. Ini merupakan hal yang sangat tidak elok dan seharusnya pemerintah dalam hal ini menteri BUMN harus mengambil sikap tegas terhadap dirut Pelindo II tersebut agar kewibawaan presiden tidak tercoreng dengan sikap tersebut, katanya.
"Disisi lain jika ternyata terbukti bahwa penggeledahan dan penyidikan terkait dugaan permainan mobile crane Pelindo II tersebut oleh Polri ternyata tidak terbukti mampu membawa kasus tersebut ke meja hijau atau hanya mampu menyeret pejabat-pejabat "rendah" di Pelindo II, maka apa yang dilakukan Lino pada saat penggeledahan dilakukan, akan mendapat simpati dan pembenaran dari masyarakat. Ini akan menjadi tamparan keras bagi Polri dan juga terhadap pemerintah," kata Sofyano.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2015
"Memperdengarkan percakapan telpon antara Lino dengan Menteri Sofyan Djalil disaat sedang berlangsungnya penggeledahan oleh Bareskrim Polri, sebagai sikap yang tidak etis dan upaya mencari 'perlindungan' serta juga menggertak agar tidak melanjutkan penggeledahan. Disamping itu pembicaraan telpon yang seharusnya hanya antara Lino dan Sofyan Djalil namun diperdengarkan secara terbuka ke para wartawan, juga sebagai cara memperlihatkan adanya hubungan dekat dirut Pelindo II dengan menteri yang bersangkutan," kata Sofyano Zakaria saat dihubungi di Jakarta, Minggu.
Ia menjelaskan, hal itu secara psikologis sangat negatif dampaknya buat Sofyan Djalil mengingat dia adalah seorang menteri anggota kabinetnya Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Sebelumnya, (28/8) Bareskrim Polri yang dipimpin langsung Kabareskrim Polri Irjen (Pol Budi Waseso) melakukan penggeledahan di Kantor pusat Pelindo II Tanjung Priok Jakarta. Pihak Bareskrim Polri melakukan penyidikan terkait adanya dugaan "permainan" dalam pengadaan mobile crane dari Cina, senilai Rp45,6 miliar yang dilakukan oleh Pelindo II.
Pada saat penggeledahan dilakukan, Dirut Pelindo II RJ Lino menerima telpon dari Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Sofyan Djalil.
Lino memperdengarkan percakapan via handphone tersebut kepada para wartawan yang sedang meliput penggeledahan tersebut. Lino mempermasalahkan dan mengeluhkan penggeledahan tersebut dan melalui Sofyan Djalil, Lino mengancam akan mundur besok hari, Sabtu (29/8).
Sofyan Djalil dalam keterangannya kepada Metro TV Sabtu 29 Agustus, mengatakan ia tidak tahu kalau percakapan telpon antara dirinya dengan Lino, diperdengarkan kepada para wartawan. Ia sudah mempertanyakan itu ke Lino.
Sofyano menambahkan mempermasalahkan penggeledahan yang dilakukan Bareskrim Polri yang pada dasarnya memiliki kewenangan hukum menurut UU yang berlaku untuk melakukan penggeledahan tersebut dengan mengancam presiden untuk mundur dari jabatannya sebagai dirut Pelindo II, dapat dimaknai sebagai bentuk "ketakutan" Lino terhadap penggeledahan tersebut dan sekaligus sebagai tekanan kepada presiden agar segera mempermasalahkan dan atau menghentikan penggeledahan tersebut.
Jika penggeledahan dan atau penyidikan tersebut terbukti terhenti, maka dapat dimaknai bahwa presiden telah memenuhi permintaan dirut Pelindo II yakni "mengintervensi" penegak hukum. Ini blunder bagi pemerintah dan khususnya bagi Presiden Jokowi, katanya.
"Ancaman Lino kepada presiden untuk mundur dari jabatannya dapat pula dimaknai sebagai bentuk tekanan Lino kepada presiden, dan ini bisa memberi kesan kepada publik bahwa Lino merupakan sosok yang sangat "dekat" dan dibutuhkan presiden, untuk mewujudkan terlaksananya program Tol Laut yang jadi program andalan Jokowi," ujarnya.
Penggeledahan yang ternyata terus dituntaskan oleh Bareskrim Polri dan ternyata hingga saat ini publik mengetahui bahwa Lino tidak mundur dari jabatannya sebagai dirut Pelindo II, dapat dimahfumi bahwa Lino telah "menggertak" presiden dan juga kepada pihak Polri secara terselubung. Ini merupakan hal yang sangat tidak elok dan seharusnya pemerintah dalam hal ini menteri BUMN harus mengambil sikap tegas terhadap dirut Pelindo II tersebut agar kewibawaan presiden tidak tercoreng dengan sikap tersebut, katanya.
"Disisi lain jika ternyata terbukti bahwa penggeledahan dan penyidikan terkait dugaan permainan mobile crane Pelindo II tersebut oleh Polri ternyata tidak terbukti mampu membawa kasus tersebut ke meja hijau atau hanya mampu menyeret pejabat-pejabat "rendah" di Pelindo II, maka apa yang dilakukan Lino pada saat penggeledahan dilakukan, akan mendapat simpati dan pembenaran dari masyarakat. Ini akan menjadi tamparan keras bagi Polri dan juga terhadap pemerintah," kata Sofyano.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2015