Pontianak (Antara Kalbar) - Dewan Pimpinan Wilayah Aliansi Gerakan Reforma Agraria membantah pernyataan Kesbangpol Kabupaten Kapuas Hulu bahwa organisasi tersebut memprovokasi warga untuk menolak kebijakan pemerintah.
    Ketua AGRA Provinsi Kalimantan Barat Wahyu Setiawan dalam keterangan tertulisnya menjelaskan secara rinci organisasi tersebut, mulai dari alasan terbentuk serta pendampingan yang dilakukan di Kapuas Hulu.
     AGRA  adalah organisasi tani, nelayan dan masyarakat adat tingkat nasional yang berdiri pada tahun 2004. Pendirian AGRA sebagai organisasi tani sesuai dengan UUD 1945 Pasal 28 E poin (3) tentang kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Di Kalimantan Barat, AGRA berdiri pada tahun 2008.
    Sejak pendiriannya, AGRA konsen pada kegiatan pendampingan kaum tani, nelayan dan masyarakat adat untuk mewujudkan keadilan, terutama dalam kepemilikan, pengelolaan tanah dan sumber daya alam lainya sebagaimana dalam UUPA No 05 Tahun 1960 dan peraturan lainya.
    Pendampingan yang dilakukan oleh AGRA di beberapa desa di Kecamatan Putussibau Selatan Kabupaten Kapuas Hulu juga dilandasi visi/misi AGRA secara nasional. Secara khusus tujuan pendampingan terhadap masyarakat adat di wilayah tersebut adalah membantu masyarakat adat mendapatkan pengakuan secara hukum atas hak-haknya, terutama hak atas tanah/wilayah adat.
    Hal ini sesuai dengan peraturan hukum di Indonesia yang mengakui hak-hak masyarakat adat:
    UUD 1945 Amandemen ke-2 pasal 18 B yang menyatakan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan – kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak – hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang – undang”.
    UUPA No 5 Tahun 1960 Pasal 3, TAP MPR No IX/MPR/2001 tentang pembaruan Agraria dan pengelolaan Sumber Daya Alam, Pasal 4 poin (j),
   UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 6 Ayat 1 dan 2.
    Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 35 Tahun 2012.
    Peraturan Mentri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN No 09 Tahun 2015 tentang tata cara peentapan hak komunal atas tanah masyarakat hukum adat dan masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu.
   Atas dasar tersebut tuntutan masyarakat adat yang menjadi dampingan AGRA adalah meminta pemerintah memberikan pengakuan secara hukum atas wilayah adatnya. Tuntutan ini sesuai, karena selama ini seluruh wilayah adat mereka telah ditetapkan sebagai bagian dari kawasan konservasi TNBK. Akibatnya tidak hanya pelarangan dan pembatasan terhadap seluruh aktifitas kerja produksi masyarakat mulai dari kerja ladang bergilir, kerja emas skala kecil dan kerja berburu.  Lebih dari itu operasi penghentian paksa terkadang juga harus dihadapi masyarakat. Dampaknya masyarakat harus menanggung kerugian yang cukup besar. Seperti operasi razia besar-besaran pada akhir 2011.
    Ia melanjutkan, mengacu pada gambaran singkat diatas, maka tidak benar jika AGRA memprovokasi masyarakat melawan kebijakan pemerintah. Karena seluruh yang disampaikan AGRA kepada masyarakat adat sepenuhnya berdasarkan UU, terutama yang mengakui hak-hak masyarakat adat. Sehingga tuntutan-tuntutan yang diajukan masyarakat adat sepenunya juga dijamin oleh UU maupun peraturan turunanya dalam memperoleh keadilan dalam pengelolaan tanah dan sumberdaya alam.
    Penolakan masyarakat mengikuti sosialisasi kebangsaan yang dilakukan oleh Kesbangpol pada 24 April 2013 karena pada saat itu, masyarakat sedang fokus menyiapkan kegiatan musyawarah besar adat yang diselenggarakan pada 25-30 April 2013. Dan seluruh hasil-hasil musyawarah besar adat tersebut telah disampaikan kepada Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu dan Gubernur Kalimantan Barat pada akhir 2014 yang lalu.
    Ini menunjukan bahwa selama ini kami selalu menyampaikan secara terbuka seluruh kerja pendampingan yang kami lakukan, kata Wahyu Setiawan.
   Mengenai anggapan bahwa AGRA membentuk pengurus Adat sendiri, Ketemenggungan Tandingan dan Desa Tandingan juga tidak benar, karena sejak pertama AGRA melakukan pendampingan telah melaporkan, dan meminta izin dari temenggung, kepala adat dan pemerintah desa.
    Justru selama ini AGRA membantu memperkuat kelembagaan adat dan hukum adat agar tetap selaras dengan perkembangan zaman dan dapat menjadi pedoman hidup masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar kelembagaan adat memperkuat kerjasama dengan pemerintahan desa dalam menyiapkan diri untuk mengajukan permohonan kepada pemerintah daerah mengajukan hak komunal atas wilayah adat.
    Mengenai pungutan berupa beras dan ayam, AGRA memang mendorong masyarakat membentuk organisasi tani. Melalui organisasi tani yang dibentuk masyakat adat dapat memajukan kerja ladang gilir baliknya. Disamping itu melalui organisasi tani ini juga dapat melindungi kerja ladang dari berbagai tuduhan sebagai perusak hutan, ladang liar dll.
    Organisasi tani adalah gabungan dari kelompok-kelompok tani yang independen. Sebagai organisasi tani yang independen, maka wajar jika sumber keuangan juga berasal dari anggota. Hal ini telah mendapat persetujuan dari seluruh masyarakat yang menjadi anggota organisasi tani. Jadi adanya tuduhan bahwa organisasi tersebut melakukan pungutan beras dan uang tidak lain adalah iuran organisasi tani pada saat akan menyelenggarakan kegiatan yang telah disetujui oleh seluruh anggota dan kelembagaan adat. Sepenuhnya hasil iuran yang terkumpul hanya untuk pembiayaan organisasi tani dan bukan untuk AGRA.
   Selain itu, Wahyu juga menanggapi kalau AGRA dianggap memotori pertambangan emas.  Ia menjelaskan, jauh sebelum AGRA melakukan pendampingan diwilayah tersebut, kerja emas memang menjadi sumber penghidupan masyarakat. Tidak hanya masyarakat setempat, masyarakat dari luarpun juga menggantungkan hidupnya dari kerja emas.
    Kerja emas yang dijalankan adalah jenis pertembangan emas tradisional skala kecil, karena dikerjakan dengan alat kerja yang sangat sederhana sehingga tidak memberikan efek kerusakan lingkungan, apalagi jika dibandingkan dengan eksploitasi yang dilakukan oleh pertambangan skala besar.  
    Jauh sebelum AGRA melakukan pendampingan pula, TNBK tetap mengkategorikan kerja emas ini sebagai Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI). Sehingga tidak hanya larangan dan pembatasan yang harus dihadapi oleh masyarakat, namun operasi penghentian paksa seluruh aktifitas petambangan emas juga dilakukan oleh TNBK melalui tim gabungan yang dibentuk.
    Karena itu yang dilakukan oleh kelembagaan adat dengan memberikan surat pernyataan kerja emas adalah untuk melindungi dari tuduhan sebagai PETI dan dari ancaman operasi serta menata agar tetap tidak merusak lingkungan.
   Demikian tanggapan atas adanya tuduhan bahwa kami telah melakukan provokasi terhadap masyarakat untuk melawan negara.

Pewarta:

Editor : Teguh Imam Wibowo


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2016