Jakarta (Antara Kalbar) - Bagi mereka yang tumbuh dan besar dalam kurun waktu 1984 sapai dengan 1998, film G-30-S/PKI tidak asing lagi sebagai sebuah media pembelajaran bagaimana peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia pada tahun 1965.

Menjadi agenda wajib sejak 1984 s.d. 1998 untuk diputar di Televisi Republik Indonesia setiap malam tanggal 30 September. Film itu memberikan kesan mendalam bagi generasi yang tumbuh dewasa seiring dengan periode pemutaran film itu.

Pascareformasi 1998, pemutaran film itu secara nasional dihentikan.

Sembilan belas tahun setelah penghentian pemutaran film itu, pada medio September 2017 muncul wacana untuk memutar kembali film yang banyak menuai perdebatan itu secara umum. Disertai pula imbauan agar dilakukan kegiatan nonton bareng.

Bagi kalangan yang mendukung pemutaran film yang berdurasi hampir 3,5 jam itu menilai pemutaran kembali karya Arifin C. Noer itu merupakan salah satu upaya untuk mengingatkan semua kalangan agar peristiwa serupa tak terjadi lagi.

Sementara itu, bagi kalangan yang menolak, mengatakan bahwa film tersebut tidak dapat dijadikan narasi tunggal bagi intepretasi atau bahkan rekonstruksi ulang peristiwa yang mengakibatkan gugurnya tujuh perwira TNI Angkatan Darat tersebut.

Menteri Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto menegaskan bahwa pemutaran kembali Film pengkhianatan G-30-S/PKI, dan ajakan untuk nonton bareng bagi beberapa institusi merupakan hal yang tidak perlu diperdebatkan.

Menurut dia, menonton film sejarah memang perlu bagi generasi berikutnya untuk memahami sejarah kebangsaan Indonesia secara utuh.

Ia mengaskan tak perlu malu, marah, atau kesal menonton film sejarah. Ajakan atau anjuran menonton tak perlu dipolemikkan, apalagi sampai membuat bertengkar dan berselisih.

Menurut dia, anjuran Presiden RI Joko Widodo untuk mempelajari sejarah kebangsaan dengan menyesuaikan cara penyajian agar mudah dipahami oleh generasi milenium merupakan kebijakan yang rasional.

Wiranto mengatakan bahwsa peristiwa 30 September 1965 adalah peristiwa sejarah kelam bangsa Indonesia. Masih banyak peristiwa serupa yang dialami bangsa Indonesia, seperti pemberontakan DI/TII, pemberontakan PRRI/Permesta, dan peristiwa Malari pada tahun 1974 yang semua itu adalah rangkaian fakta sejarah yang sudah berlalu," katanya.

Baginya, tidak mungkin memutar kembali jarum jam dan mengubah fakta sejarah sekehendak hati. Sejarah tersebut merupakan perjalanan bangsa yang dapat dijadikan referensi bangsa untuk menatap ke masa depan.

Ia menambahkan bahwa setiap menjelang pemilu suhu politik selalu memanas. Keadaan itu sudah berlaku sejak dahulu dan menjadi bagian dari pasang surutnya suhu politik dalam alam demokrasi.

Sementara itu, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengatakan penyelenggaraan nonton bareng (nobar) film tersebut di satuan-satuan TNI sebagai upaya untuk mengingatkan kembali sejarah.

Terkait dengan pemutaran film tersebut, Gatot mengatakan bahwa di internal TNI adalah keputusannya agar para prajurit menonton. Menurut dia, hal itu tetap dilakukan karena Presiden RI Joko Widodo tidak melarang.

Pemutaran itu dilakukan karena sejak 2008 sejarah G-30-S/PKI sudah tak dimasukkan dalam pelajaran. Gatot mengatakan bahwa pemutaran tersebut untuk mewaspadai terulangnya peristiwa kelam tersebut.

Namun, banyak kalangan juga yang mengatakan bahwa polemik yang atas film tersebut sebetulnya tak perlu terjadi.

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Zulkifli Hasan menegaskan bahwa instruksi nonton bareng film G-30-S/PKI yang dilontarkan Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo di satuan-satuan TNI tidak perlu diperdebatkan lagi.

Nobar film G-30-S/PKI dinilai penting untuk pembelajaran bagi masyarakat dan generasi muda bangsa bahwa Indonesia pernah mengalami sejarah yang kelam.

Baginya, bila ada yang ingin menonton, silakan dilakukan. Namun, bagi yang tidak sependapat, juga tidak perlu menonton film tersebut, kemudian tidak perlu diributkan.

Di samping perdebatan tentang perlu atau tidaknya pemutaran film itu, menurut Zulkifli, masih banyak permasalahan bangsa lain yang perlu ditangani.

Sementara itu, Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid menilai pemutaran film G-30-S/PKI menjelang peringatan Hari Kesaktian Pancasila agar bangsa Indonesia senantiasa taat pada Pancasila serta tidak tercabik oleh komunisme.

Hidayat melihat pelarangan terhadap komunisme di Indonesia masih berlaku dan sudah sangat jelas.

Menurut Hidayat, film G-30-S/PKI garapan Arifin C. Noer itu memiliki makna yang besar karena film tersebut mengingatkan pada tindak kekejaman yang pernah dilakukan oleh PKI terhadap bangsa Indonesia.

Politikus PKS itu juga mengaku setuju terhadap adanya wacana sejumlah pihak untuk membuat film G-30-S/PKI versi baru yang lebih sesuai dengan generasi milenial yang ada saat ini.

Namun, lanjut dia, film tersebut juga dinilai tidak boleh merusak esensi komunisme yang pernah dua kali berkhianat terhadap bangsa Indonesia.

Bagi Hidayat, film baru itu harus mampu merangkum berbagai kejahatan PKI yang pernah terjadi di Indonesia. Apalagi, PKI bukan hanya menjadi persoalan umat Islam, melainkan sudah menjadi masalah bagi bangsa Indonesia.

Nuansa Milenial Usulan untuk membuat film tentang pemberontakan G-30-S/PKI dalam format yang baru salah satunya disampaikan oleh Presiden RI Joko Widodo.

Presiden mengusulkan agar film itu dapat diperbaharui agar dapat dipahami oleh generasi muda.

Kepala Negara berpandangan menyaksikan film, apalagi mengenai sejarah, itu penting. Akan tetapi, untuk anak-anak milenial yang sekarang, tentu saja mestinya dibuatkan lagi film yang memang bisa dipahami oleh generasi saat ini.

Film versi terbaru itu dinilai penting agar generasi milenial mau juga untuk menonton film yang dirilis pada tahun 1984.

Menurut Presiden, akan lebih baik kalau ada versi yang paling baru agar lebih kekinian, bisa masuk ke generasi generasi milenial.

Menko Polhukam Wiranto menegaskan bahwa Presiden tidak ingin mengubah konten film G-30-S/PKI, tetapi ingin membuat tayangan tersebut lebih mudah dicerna oleh penonton masa kini, yakni disesuaikan cara penyajiannya.

Wiranto mengatakan bahwa Presiden sangat jernih membaca tren masyarakat saat ini. Masyarakat lalu dengan sekarang sudah berubah karena teknologi yang sudah berubah.

Menurut Wiranto, perubahan teknologi informasi dan komunikasi sehingga perilaku masyarakat untuk menonton sesuatu yang merupakan informasi juga ikut berubah pula.

Ia mengatakan bahwa Presiden bermaksud baik bahwa film-film semacam itu yang merupakan dokumen negara masa lalu biar lebih enak, lebih mudah dicerna oleh penonton masa kini itu disesuaikan cara penyajiannya, bukan diubah kontenya.

Meski mengusulkan perlu adanya film versi baru dari yang telah ada, tidak lantas kemudian alergi dengan versi tahun 1984.

Pada Sabtu (29/9) malam, Presiden menghadiri acara nonton bareng di Korem Surya Kencana, Bogor.

Presiden menonton penuh film dengan durasi sekitar 3,5 jam didampingi oleh Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan Kapolri Jenderal Pol. Tito Karnavian.

Pelajaran yang dapat dipetik dari polemik pemutaran film itu bahwa sejarah memang harus dilihat dari berbagai sisi. Namun, yang paling penting adalah bagaimana agar peristiwa serupa tak terulang lagi.

Bangsa yang maju, bukanlah bangsa yang mempersoalkan sejarahnya, melainkan lebih pada bagaimana bangsa itu bisa belajar dari sejarah untuk menghadapi tantangan pada masa kini dan masa mendatang.

Pewarta:

Editor : Admin Antarakalbar


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2017