Sintang (Antaranews Kalbar) - Puluhan pengurus dan anggota Persatuan Pekerja Penambang Emas Kabupaten Sintang mendatangi Pendopo Bupati untuk menyampaikan tuntutannya pada Pemkab setempat, Selasa.
    Kedatangan puluhan pekerja PETI ini diterima langsung oleh Bupati Sintang Jarot Winarno.
    "Jumat lalu saya sudah bertemu Kapolda dan Gubernur Kalbar.  Gubernur dengan tegas minta cepat memproses WPR. Kapolda tegas menyatakan silahkan improvisasi dalam mengatasi masalah ini tapi  penegakan hukum tetap jalan. Kalau kita naik pesawat, kita akan melihat banyak spot tanah yang putih bekas PETI," kata Jarot.
    Di sungai juga banyak titik sumber air baku oleh PDAM sementara kadar merkuri di Sungai Melawi dan Sungai Kapuas sudah di atas ambang batas aman.
    Air sungai ini disedot oleh PDAM kemudian dialirkan kepada 40 ribu konsumen PDAM di Sintang. Saat ini Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sedang mengembangkan sianida basah untuk menggantikan merkuri karena lebih murah dan efektif tidak berbahaya.
    Dikatakan Jarot, izin Pertambangan Rakyat sudah menjadi kewenangan Gubernur bukan Bupati.
    "Berdasarkan Perda RTER, maka WPR sebenarnya hanya boleh di  Sepauk dan Ketungau Hulu. Tapi saya akan bantu dengan kebijakan Bupati Sintang agar WPR boleh di Kecamatan Sintang dan daerah lainnya," ujar dia    Ia juga akan memberikan toleransi di sungai jika tidak menggunakan merkuri dan ada alat pengolahan khusus.
    "Di sungai harus zero merkuri, tidak ada manipulasi lingkungan dengan menggunakan alat berat, tidak menyentuh titik air baku PDAM, betul-betul untuk bertahan hidup, mempertahankan konsep Sintang Lestari dan lingkungan dijaga, pembatasan jumlah mesin yang beroperasi dan hanya untuk mencari makan. Harus ada izin kepala desa," kata dia.
    Kemudian, boleh menambang tanpa merusak lingkungan, tidak dekat dengan fasilitas umum. Tidak membuat tebing longsor. "Solusi ini akan kita bawa ke Kapolda dan Gubernur," tegas Jarot.
    Dedi Wahyudi, dari WWF Sintang menjelaskan penyelamatan lingkungan dengan tetap memperhatikan masalah ekonomi. "Dalam konsep Sintang lestari harus ada keseimbangan antara aktivitas ekonomi, ekologi dan sosial budaya. Artinya pengembangan ekonomi berbasis lingkungan. Faktanya budaya kita pun dihancurkan oleh PETI. Kami juga menyimpulkan bahwa aktivitas PETI menurunkan kualitas baku air dengan kekeruhan yang mempengaruhi biotik sungai," ujar Dedi Wahyudi.
    Ia mengakui memang tidak berwenang untuk menghentikan PETI tapi terus mendorong agar membantu peralihan kerja. "WPR perlu melihat tata ruang yang ada," kata Dedi Wahyudi.
    Rayendra dari Sintang Fishing Club mengatakan sudah banyak penelitian tentang kualitas air Sungai Melawi dan Kapuas, bahwa percampuran berbagai materi akibat PETI bisa menyebabkan penyakit kanker dan ginjal karena di konsumsi terus menerus.
    "Pertama yang menerima dampak adalah masyarakat pesisir. Tanjung di sungai juga berkurang. Kami selalu melakukan evaluasi atas kualitas air sungai Melawi dan Kapuas. WPR harus melalui kajian dan AMDAL. WPR harus ada kajian mendalam Apa yang kita lakukan melalui PETI tidak aman dan ada 8 Undang-Undang yang dilanggar. PETI tidak hanya persoalan merkuri tetapi lumpur yang berdampak. PETI memberikan dampak negatif yang besar. Bagi saya PETI di sungai tidak boleh ditoleransi lagi," kata Rayendra.
    Asmidi, Ketua Persatuan Pekerja Penambang Emas Kabupaten Sintang menegaskan, pihaknya menuntut solusi karena menyangkut masa depan para pekerja penambang emas dan keluarga.
    "Sampai sekarang belum ada solusi dari masalah ini. Kami juga belum ada pekerjaan lain. Sementara WPR butuh proses. Sedangkan kami tidak mampu menunggu proses WPR. Mekanisme yang di tuntut kami siap ikuti seperti zero merkuri kami siap," kata Asmidi.
    Keramai, salah satu pekerja PETI menyampaikan kalau dihentikan aktivitas PETI, pekerja akan berontak karena masalah hidup pekerja.
    "Kami minta diberi petunjuk untuk bisa bekerja selama proses WPR.  Kami warga negara dan punya hak atas tanah kami. Saat ini ada ribuan orang menunggu hasil dialog ini. Untuk berhenti bekerja rasanya berat sekali," ujar dia.
    Keramai mengaku sudah tidak bekerja beberapa hari. "Kami tidak pernah menerima surat kesepakatan Forkompinda kemarin. Kami hanya lihat melalui media sosial. Tetapi kami patuh dan menghentikan pekerjaan ini. Kami hanya minta kami izinkan bekerja selama proses pengurusan WPR. Kami belum pernah mendengar ada kasus penyakit karena merkuri, " keluh Keramai.
 

Pewarta: Tantra

Editor : Teguh Imam Wibowo


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2018