Sedikitnya 5.000 mahasiswa Indonesia terjerat praktik kuliah kerja tidak proporsional di China dan Taiwan. Jumlah tersebut sebagaimana temuan Satuan Tugas Anti-Kerja Paksa Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Kawasan Asia-Oseania.
 
"Satgas yang beranggotakan perwakilan mahasiswa Indonesia di China, Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang ini telah memverifikasi para mahasiswa yang menjalani program ini selama empat bulan, sejak Februari 2019," kata Koordinator PPI Asia-Oseania Galant Albarok kepada Antara di Tianjin, Minggu.
 
Satgas menemukan adanya sistem yang terorganisir dalam proses perekrutan calon mahasiswa di Indonesia hingga penempatan di negara tujuan dengan memperlakukan mahasiswa Indonesia semena-mena.
 
Menurut dia, kasus di China dan Taiwan itu terjadi pada saat antuasisme kuliah ke luar negeri begitu tinggi dengan adanya pihak yang tidak bertanggung jawab dan menyesatkan calon mahasiswa.
 
"Kami mengimbau para mahasiswa Indonesia untuk lebih berhati-hati dalam menentukan program kuliah ke luar negeri," katanya di sela-sela kegiatan Simposium PPI Kawasan Asia-Oseania 2019 di Tianjin itu.
 
Ia mengungkapkan kasus kuliah kerja di China disalurkan oleh salah satu agen di Surabaya yang menyasar para lulusan SMA dengan iming-iming kuliah sambil kerja.
 
Agen tersebut membantu pengurusan seluruh dokumen para korban untuk ditempatkan di salah satu kota di wilayah selatan China dengan bekal visa “study working”.
 
"Setibanya di sana, ada pihak yang menjemput dan membawa para korban ke sebuah kampus, namun para calon diminta untuk menyerahkan sejumlah uang dengan alasan untuk biaya visa dan akomodasi. Setelah itu mereka dibawa ke sebuah pabrik," kata Galant.
 
Selama kerja kuliah, para korban diminta untuk bekerja selama lima hari dan kuliah selama dua hari.
 
Diadakan absensi pula setiap hari dan pemotongan gaji bila tidak hadir dan diwajibkan untuk kerja lembur hingga pukul 02.00.
 
Ia menyebutkan gaji setiap bulan berjumlah 500–1.000 RMB (sekitar Rp1–2 juta) dipotong uang kuliah 700 RMB (Rp1,4 juta).
 
"Mereka hidup di pabrik secara tidak layak dan mendapat sejumlah perlakuan kasar dalam keadaan paspor ditahan pihak pabrik," ujarnya.
 
Pihaknya juga menyesalkan kasus serupa yang terjadi di Taiwan karena hingga kini belum ada langkah konkret yang diambil oleh pihak pemerintah Indonesia.
 
PPI Kawasan Asia-Oseania mendesak Pemerintah Indonesia untuk melakukan kunjungan langsung ke universitas dan mahasiswa yang saat ini sedang menjalankan program itu.
 
"Hal ini penting untuk mengetahui legalitas universitas dan program karena menurut temuan tim Satgas, ijazah dari universitas ini tidak diakui keabsahannya," kata Galant.
 
Lebih lanjut temuan tim Satgas mendapati fakta bahwa agen pendidikan sangat aktif untuk mempromosikan kuliah di luar negeri dengan iming-iming dapat memberikan beasiswa kepada calon mahasiswa ataupun tawaran kerja dan kuliah dengan beban kuliah ringan sehingga bisa sekaligus menabung.
 
PPI Kawasan Asia-Oseania melihat program ini bisa saling menguntungkan bagi pihak mahasiswa Indonesia yang ingin kuliah ke luar negeri dan negara penerima.
 
“Merasakan tingginya antusiasme mahasiswa Indonesia untuk kuliah di luar negeri tanpa membebani orang tua, sangat disayangkan bisa terjadi kasus seperti ini," katanya.
 
Oleh sebab itu dalam simposium di Tianjin PPI Asia-Oseania mendesak pemerintah Indonesia memverifikasi agen-agen pendidikan yang memberangkatan mahasiswa ke luar negeri, khususnya ke daerah Asia Timur. 
 

Pewarta: M. Irfan Ilmie

Editor : Teguh Imam Wibowo


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2019