Sepanjang 3 kilometer di garis pantai Desa Pasir, Kecamatan Mempawah Hilir, Kabupaten Mempawah yang dulunya pantai berlumpur dan terdampak abrasi kini telah berubah hijau ditumbuhi aneka jenis tanaman mangrove.

Bahkan kawasan yang digarap sejak 2011 silam yang dikenal Mempawah Mangrove Park (MMP) kini menjadi satu di antara pusat destinasi ekowisata yang wajib dikunjungi dan digemari masyarakat, baik lokal maupun luar daerah Mempawah dan bahkan wisatawan mancanegara.

Raja Fajar Azansyah merupakan satu di antara sosok sentral yang dibantu beberapa temannya di balik hadirnya kawasan ekowisata MMP tersebut. Hingga kini ada 45 hektare mangrove yang sudah ditanam di Desa Pasir dan 4 hektare di antaranya untuk kawasan ekowisata MMP.
Jembatan warna - warni di MMP. ANTARA /HO-Raja Fajar Azansyah


Melalui kegiatan Mempawah Mangrove Conservation (MMC) dan adanya MMP, Fajar dan rekannya terus berkampanye "save mangrove" dan mencari relawan. Pada periode tahun 2012 - 2015 pihaknya selalu masuk dari sekolah ke sekolah, seperti "sales" berkampanye dan "menjual" isu lingkungan terutama abrasi wilayah pesisir Kabupaten Mempawah. Pihaknya merangkul anak muda untuk ikut terlibat dalam percepatan pengembangan MMP.

"Alhamdulillah tidak butuh waktu lama dan berkat kerja keras dan dukungan tim, apa yang dikerjakan boleh dikatakan berhasil. Sekarang kami tidak perlu lagi mendatangi sekolah. Malah sebaliknya mereka yang datang ke MMP untuk melihat, belajar dan memahami manfaat dari keberadaan hutan mangrove," ujar pria lulusan Magister Kebijakan Publik Universitas Tanjungpura Pontianak. 

Ia menceritakan bahwa sejak awal berdiri, memang cemoohan dan pandangan negatif terhadap dirinya begitu banyak datang. Bahkan apa yang dilakukan dianggap kegiatan yang tidak bermanfaat.
 
Fasilitas kano di MMP. ANTARA (Raja Fajar Azansyah)


Namun seiring waktu, apa yang ia kerjakan dalam rangka melestarikan lingkungan dengan tindakan positif, meskipun banyak tantangan, tetap dilakukan. Dengan dibantu beberapa pihak dan komunitas peduli lingkungan di Kalimantan Barat, pelan tapi pasti konservasi mangrove berjalan baik.

"Alhasil dari usaha dan kemajuan keras yang dianggap gila, berbalik 360 derajat mendapat apresiasi dari berbagai pihak. Tepat pada 23 Agustus 2016 lalu, MMP resmi telah dibuka untuk umum," jelas ayah dari dua anak tersebut.

Lokasi MMP sangat strategis karena tidak jauh dari jalan raya dan hal itu menjadi satu di antara keunggulan ekowisata tersebut. Dari pusat Kota Mempawah hanya sekitar 4 kilometer saja. Tepat berdampingan taman makam pahlawan, pengunjung akan menemukan jalan setapak dan mengantarkan menuju area konservasi mangrove tersebut.
 
Wahan bermain anak di MMP. ANTARA (Raja Fajar Azansyah)


Lorong yang terbuat dari kayu dan sebagian nya juga ada bambu dengan lebar kisaran satu meter, membelah hutan mangrove dengan track sekitar 500 meter. Saat ini bagi pengunjung yang ingin masuk ke MMP hanya dikenakan harga tiket masuk (HTM) Rp5.000 untuk umum dan Rp3.000 untuk mahasiswa dan pelajar.

Di dalam area MMP sendiri, sejumlah fasilitas yang dapat dinikmati seperti spot untuk berfoto dan berselfie ria, ada tower yang bisa menyaksikan dari atas kawasan magrove. Fasilitas tempat ibadah, toilet dan lainnya juga ada. Pengunjung juga bisa melihat hewan yang berada di kawasan mangrove seperti kepiting dan aneka burung.

Selain menikmati suasana dan segarnya udara di MMP, pengunjung disajikan juga pemandangan laut yang menakjubkan. Garis pantai daerah mangrove tersebut berhadapan dengan Pulau Kabung, sehingga menambah suasana lebih menarik. Bahkan ketika sore hari dari sejumlah steiger yang tersedia pengunjung bisa menikmati sunset.
 
Pemandagan hutan magrove dari menara yang ada di MMP. ANTARA (Raja Fajar Azansyah)

 
Kemudian pengunjung tidak hanya dapat menikmati kesegaran udara di wilayah hutan mangrove dan menikmati spot- spot foto namun mereka jika mau bisa menanam mangrove. Pokdarwis setempat akan menemani pengunjung untuk menanam dan menjelaskan apa saja yang ada di hutan mangrove.

Dampak lingkungan dengan hadirnya MMP menjadikan pesisir Desa Pasir hutan mangrove kini semakin asri, daratan mulai terbentuk kembali. Sehingga biota laut ataupun burung kembali hadir. MMP menjadi alternatif hutan kota karena jaraknya dekat dengan Kota Mempawah serta bermanfaat juga bagi nelayan.

"Dampak secara ekonomi atau masyarakat saat ini memberikan telah memberikan dampak yang luas walaupun belum banyak namun sudah dapat dirasakan masyarakat sekitar di antaranya kawan - kawan nelayan membawa wisatawan berkunjung ke Pulau Penibung, para penjual ada yang tetap dan harian. Ke depan kita lagi kembangkan tempat kuliner bersama pemerintah kabupaten," kata pria yang saat ini juga sebagi Kabid Pariwisata dan Kebudayaan Disporapar Kabupaten Mempawah.
Lorong warna - warni di MMP. ANTARA (Raja Fajar Azansyah)

Terkait aktivitas kunjungan, tercatat setiap bulan nya mencapai ribuan. Ke depan pihaknya bukan sekedar menghadirkan ekowisata yang menyediakan spot foto namun lebih mengedepankan edukasi. MMP hadir untuk tempat belajar, penelitian dan berdiskusi tentang lingkungan terutama mangrove.

Dikatakan Fajar bahwa MMP mungkin tidak sama dengan keindahan hutan mangrove di tempat lain. Akan tetapi kami memiliki semangat konservasi yang tidak dimiliki tempat lainnya.

MMC dan MMP selama ini menjadi pelopor dan terus berkampanye save mangrove secara intensif. Ke depan, sarana terus akan ditingkatkan dan dikembangkan tanpa mengesampingkan nilai edukasi dan konservasi yang selama ini menjadi konsep pengembangan MMP. Tantangan ke depan menyatukan desa dan MMP agar dapat bekerjasama melalui Bumdes agar MMP menjadi ekowisata berkelanjutan dan terus melakukan perbaikan dan pembangunan.

"Untuk kegiatan konservasi banyak pihak membantu, relawan dari berbagai kalangan dan juga pemerintah desa masyarakat Desa Pasir sudah mulai terlibat," kata dia.
 

Pewarta: Dedi

Editor : Admin Antarakalbar


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2019